Mohon tunggu...
Kusumastuti Rahmawati
Kusumastuti Rahmawati Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang abdi negara dan penikmat seni

Saya tertarik pada dunia kepenulisan dan senang berbagi info lewat media tulisan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kebebasan di Balik "Penjara" Masker

20 Mei 2022   07:00 Diperbarui: 20 Mei 2022   10:49 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Sebagai pengendara motor roda dua, saya sudah akrab dengan masker sejak lama. Tanpa masker, tak bisa saya bayangkan berapa banyak asap knalpot yang telah saya hirup. Masker juga melindungi wajah saya dari paparan sinar ultraviolet yang berlebih. Namun demikian, pemakaian masker saya terbatas hanya pada saat naik motor hingga tiba masa pandemi COVID-19.

Pada saat kasus pertama virus Corona diumumkan di Indonesia pada bulan Maret 2020, masker tiba-tiba hilang di pasaran. Kalaupun ada harganya selangit. 

Saya tidak terlalu terpengaruh dengan kondisi itu karena koleksi masker kain saya sudah cukup untuk pemakaian darurat. Tapi ternyata pemakaian masker selanjutnya diwajibkan di semua tempat dan di setiap aktifitas. Ini untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Di situ saya mulai memperbanyak koleksi masker kain.

Saya rasa setiap orang tahu bagaimana rasanya beradaptasi untuk memakai masker di kondisi New Normal. Orang-orang yang setiap hari bebas menghirup udara tanpa halangan apapun, kini harus terbiasa merasakan 'sedikit hambatan' di hidung saat bernafas akibat masker. 

Nafas jadi engap. Hidung seperti terpenjara. Apalagi setelah kita beraktifitas fisik lebih banyak seperti berjalan jauh atau berlari mengejar kendaraan umum. Bernapas tiba-tiba jadi sulit dan ribet. Lain lagi masalahnya bagi orang berkacamata seperti saya. Selain rasa engap yang muncul, masker seringkali menimbulkan embun di kedua lensa. Ini sangat mengganggu pandangan.

Berbagai keluhan yang muncul dari pemakaian masker mendorong para produsennya untuk melakukan berbagai inovasi. Dari masker buff, masker kain, masker N95, masker K95, masker duckbill, hingga masker elektrik. Yang terakhir disebut adalah yang paling istimewa karena dilengkapi dengan kipas elektrik untuk memperlancar sirkulasi udara di dalam masker. 

Tapi yang juara bagi saya adalah yang paling nyaman, efektif, dan terjangkau. Pilihan saya jatuh pada masker duckbill. Seperti namanya, masker wajah ini mengadopsi bentuk mulut bebek sehingga terdapat sedikit rongga di depan lubang hidung. Hal ini mencegah munculnya rasa sesak napas saat dipakai. Dan hebatnya, saat memakai masker ini, jarang muncul embun di kacamata saya.

Lama-lama, masker menjadi bagian dari fesyen. Saya pun melengkapi masker saya dengan berbagai model dan warna. Produsen baju ramai-ramai membuat masker kain yang senada dengan bajunya. Masker medis yang awalnya naik daun lama-lama ditinggalkan karena tidak nyaman dan kurang modis. Posisinya digeser oleh masker lain yang lebih keren seperti N95, KN95, dan duckbill.

Dua tahun setelah pandemi dan rajin memakai masker, saya menemukan banyak kebebasan tersembunyi di balik salah satu protokol kesehatan ini. Berikut adalah beberapa kebebasan yang sebelumnya tidak saya sadari dari pemakaian masker.

  • Bebas Bau Mulut

    Saat sedang berpuasa, nafas seseorang cenderung kurang sedap. Ini karena berkurangnya produksi saliva (air liur) di mulut. Air liur sebenarnya adalah antiseptic alami yang bisa mencegah berkembang biaknya kuman penyebab bau mulut. Hal itu sering membuat saya merasa kurang percaya diri untuk mengobrol dengan seseorang.

    Setelah memakai masker, saya bisa tetap percaya diri untuk berbicara dengan orang lain meskipun sedang berpuasa. Masker juga membebaskan kita dari ketidaknyamanan mengobrol disebabkan bau mulut yang kurang sedap dari salah satu lawan bicara, meskipun sedang tidak puasa.

  • Bebas Tertular Virus Tertentu

    Saya baru saja melihat sebuah stand up komedi di youtube. Siraman cahaya panggung tempat komika tampil memancar dari berbagai sudut. Sepertinya kamera ada di depan panggung sebelah bawah. Dari posisi pengambilan gambar itu, terlihat jelas di layar adanya 'hujan lokal' yang terjadi di udara sekitar mikrofon setiap kali sang komika bicara. Saya heran betapa banyaknya cipratan ludah yang bisa timbul akibat seseorang berbicara.

    Tetesan dan partikel-partikel kecil yang terlontar dari mulut seseorang sangat beresiko mengandung berbagai macam kuman penyakit. Itulah kenapa kita sering tertular penyakit setelah berbicara dengan orang yang sakit. Hal ini juga merupakan salah satu mata rantai teratas dari penularan virus Corona. Setelah terbiasa memakai masker, saya merasa lebih aman dan terlindungi ketika harus berbicara dengan seseorang yang terdeteksi sedang sakit flu. Sebab ada saja orang yang tidak mau memakai masker meskipun sedang sakit flu atau batuk.

  • Bebas Asap Rokok

    Suatu siang saya masuk ke sebuah ruangan di kantor untuk koordinasi data. Di sudut ruangan duduk seorang pegawai yang sedang asyik merokok. Ruangan ber-AC, dan hanya satu jendela di belakangnya yang sedikit dibuka untuk sirkulasi asap. Tentu saja itu bukan ruangan yang tepat untuk merokok. Sebagai orang yang anti asap rokok, saya sudah siap-siap merasa tak nyaman. Tapi ternyata yang saya khawatirkan tidak terjadi. Berkat masker yang saya pakai, saya bisa bertahan lebih lama di ruangan itu untuk menyelesaikan koordinasi data. Polusi dari asap rokok yang memasuki paru-paru jadi berkurang karena terhalang masker yang saya pakai. Ini sangat penting di negeri yang warganya bebas merokok kapan pun dan di mana pun ini.

  • Bebas Salting Gara-gara Biji Cabai

    Orang sering mengalami salah tingkah ketika terlambat menyadari bahwa di giginya terdapat sisa makanan yang terselip. Padahal dia sudah berbicara dan tertawa dengan banyak orang. Apalagi sisa makanan itu berupa biji cabai atau kulit cabai dengan warnanya yang terang mencolok. Hal itu pasti menimbulkan kesan jorok dan konyol pada pelakunya. Dengan masker, hal-hal yang mengganggu seperti itu bisa diatasi dengan mudah. Setelah makan, segera pasang masker. Setelah berjumpa dengan cermin, masker baru dibuka dan kita bisa periksa penampilan kita.

  • Bebas Menentukan Siapa yang Boleh Melihat Wajah

    Bagi para wanita, sejujurnya masker bisa menjadi 'senjata' prefentif dari gangguan lelaki. Terutama untuk mereka yang dianugerahi paras cantik dan menarik. Bagi seorang wanita berwajah menawan, terkadang sulit untuk bisa melewati sekumpulan lelaki dengan aman dan nyaman. Apalagi jika sedang berjalan sendirian di tempat yang sepi. Para pria iseng tidak bisa membiarkan wanita cantik lewat begitu saja tanpa digoda. Masih untung jika gangguan yang diterima hanya diberi siulan atau ucapan jahil. Yang berbahaya adalah gangguan bersifat fisik. Jika sudah begini resikonya, para perempuan bisa menjadikan masker sebagai senjata ampuh untuk melindungi diri. Alih-alih pamer kecantikan yang berujung malapetaka, lebih baik menutupi wajah dengan masker hingga situasi aman kembali.

  • Bebas Tidur Mangap di Tempat Umum

    Siapa yang sering tidur dengan mulut mangap? Semua orang tidak bisa mengontrol wajah saat sedang tertidur. Beberapa orang merasa malu karena tertidur dengan posisi mulut terbuka pada saat naik kendaraan umum. Saya sendiri pernah mengalaminya di KRL. Begitu bangun saya merasa semua upaya pencitraan diri yang saya lakukan sejak pertama kali masuk kereta sia-sia belaka. Tidur dengan mulut mangap itu menurut saya sangat tidak elegan. Tapi kalau kita memakai masker, maka insiden memalukan seperti ini tidak perlu kita alami karena mulut kita tertutup masker.

Alhamdulillah, pelan namun pasti, pandemi COVID-19 mulai mereda. Puncaknya pada tanggal 17 Mei 2022 lalu, saat Presiden Jokowi mengumumkan pelonggaran pemakaian masker. 

Masyarakat yang sedang beraktifitas di luar ruangan diperbolehkan untuk tidak menggunakan masker. Namun hal ini dikecualikan bagi para lansia dan orang dengan komorbid. Selain itu, pemerintah tak lagi mewajibkan tes swab PCR dan antigen bagi mereka yang hendak bepergian baik di dalam maupun luar negeri apabila sudah divaksinasi COVID-19 lengkap.

Meskipun masker sudah tidak sepenuhnya diwajibkan, sepertinya saya termasuk golongan orang-orang yang setia bermasker ketika bepergian. Saya terlanjur merasakan banyak manfaat dari salah satu protokol kesehatan ini. Saya seperti menemukan beberapa kebebasan di balik 'penjara' masker.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun