Akhir Februari lalu, tak sedikit kaum milenial yang setia mengantre untuk menonton film 'Dilan 1991' di berbagai bioskop. Film yang diadaptasi dari novel karya Pidi Baiq itu telah menjadi salah satu film terlaris di Indonesia dengan penjualan 3,1 juta dalam lima hari penayangan pertama. Sebelumnya, 'Dilan 1990' juga sudah menduduki posisi kedua film terlaris sepanjang masa dengan jumlah penonton lebih dari 5 juta di 2017, persis di bawah 'Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 1' yang mendapatkan jumlah penonton sebanyak 6,8 juta pada 2016.
Apa yang menjadi kesuksesan film yang disutradarai Fajar Bustomi ini dilihat dari perspektif pembaca buku?
Jawabannya bisa beragam. Menariknya, beberapa hari silam hal ini jadi pembahasan kami di KumpulBaca. Pembahasan itu luas tentang film adaptasi novel, termasuk Dilan. Beberapa orang menilai kesuksesan Dilan tidak lepas dari keterwakilan gambar dalam film yang mirip dengan cerita di dalam novel Pidi Baiq. Hasilnya, penonton merasa film tersebut tidak mengkhianati novel yang ceritanya sudah lebih dahulu mereka sukai.
Tetapi ada juga film atau lebih tepatnya series seperti '13 Reasons Why' yang ternyata lebih bagus dari versi novelnya, menurut salah seorang di antara kami. Itu karena series tersebut menyediakan perspektif tambahan yang melengkapi bayangan pembaca buku itu.
Namun haruskan film adaptasi mirip dengan novelnya?Â
Side A: Tidak Harus!
Perspekif ini umumnya muncul di kalangan penulis maupun pembuat film. Film punya bentuk yang berbeda dengan karya seni tulis. Bentuk yang berbeda itu akhirnya berdampak pada cara penyuguhan yang berbeda. Penonton film dibatasi durasi dan angle pengambilan gambar, bahkan juga teknologi. Itulah sebabnya banyak adegan yang terasa tidak seindah atau secanggih bayangan pembaca novel misalnya ketika membaca novel sci-fi seperti 'Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh'.
Novel Harry Potter, Â misalnya, akan sangat sulit untuk diwujudkan seluruh isinya ke layar lebar mengingat ketebalan bukunya yang mencapai ribuan halaman. Selain karena detail yang diberikan JK Rowling sangat rinci, pembuat film juga akan kesulitan dengan durasi, biaya produksi dan pemasaran film apabila mengikuti seluruh alur film. Jika semuanya tak diperhatikan dengan seimbang, film akan sangat membosankan dan berpotensi gagal di pasaran. Bagaimana pun, film adalah sebuah industri.Â
Sementara, buku memberikan setiap pembaca kebebasan mengimajinasikan adegan. Karena durasinya yang tidak terbatas, pembaca bisa melihat seluruh isi cerita, adegan atau percakapan dalam sebuah buku.
Oleh karena itu, penonton yang duduk di kursi penonton film adaptasi harus 'mengosongkan gelas' harapannya jika tak ingin merasa kecewa berlebihan.
Side B: Harus Sama!
Argumen ini umumnya datang dari perspektif pembaca. Pembaca yang sudah membaca novel suatu cerita dan menyukai karya itu akan berharap imajinasi mereka divalidasi dengan baik oleh sutradara. Mereka masih memaafkan kurangnya detail isi cerita, tetapi tak akan memaklumi perbedaan alur cerita sama sekali.Â
Beberapa penonton 'Maze Runner: The Scorch Trials' mengaku pada saya sangat kecewa dengan film yang mereka tonton karena isinya sama sekali berbeda dengan cerita di dalam novel, begitu juga saya yang kecewa menonton 'Filosofi Kopi' karena pengembangan ceritanya terasa seperti FTV.
Jika saya boleh menarik kesimpulan, keduanya tidak salah asalkan penulis dan pembuat film sudah duduk bersama dan alur sudah mendapatkan izin dari penulis aslinya. Sementara bijaknya, pembuat film mawas diri bahwa tak sedikit orang yang ingin menonton film adaptasi mereka karena pembaca atau penggemar karya si penulis asli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H