Ajakan memasang poster serentak secara online dengan hashtag #farmasiskecewa dan #pray4farmasis yang ditujukan kepada insan farmasi di Indonesia bergema sejak hari Jum'at (17.07.2020) kemarin diberagam media sosial, mulai dari instagram maupun facebook hingga twitter.Â
Tidak jelas siapa yang memulai lebih dulu hingga tagar itu akhirnya tidak berhasil menggiring orang -- orang yang berlatar belakang pendidikan farmasi untuk mengikuti seruan yang sangat  terkesan konyol dan bodoh.Â
Imbauan yang sepertinya berlatar belakang atas dikeluarkannya RUU Kefarmasian dari Prolegnas 2020 ini juga dimintakan oleh penggiatnya agar me "mention" beberapa pesohor dan  lembaga agar (mungkin) ikut membacanya, setidaknya ada DPRRI, Jokowi, Najwa Shihab, Master Corbuzier dan  PPIAI yang disebut -- sebut untuk disertakan dan dipaksa melihat atau  menengok kegelisahan  mereka.Â
Adalah  hal yang sangat  kekanak -- kanakan ketika sebuah rencana atau  ajakan tapi tidak berdasarkan kepada fakta yang realita,  jika ajakan itu memang berdasar kepada dibuangnya UU Kefarmasian dari Prolegnas 2020. Â
Baca juga : Media Sosial, Standar Kecantikan dan Peran Farmasis
Sedikit melihat kebelakang, RUU Kefarmasian memang masuk menjadi 50 daftar RUU pada Prolegnas, namun pada perjalanannya RUU yang ditunggu -- tunggu untuk disahkan menjadi Undang Undang ini akhirnya kembali mangkrak dan dibuang dari Program Legislasi Nasional tahun 2020. RUU Kefarmasian tidak sendiri dihapus dari Prolegnas,Â
Ketua Badan Legislatif DPR menyebut ada 16 RUU yang dilepas dari Prolegnas tahun 2020 (nasional.kontan.co.id 03.07.2020). Yang mesti masyarakat Farmasi ketahui adalah pada saat DPR RI mengumumkan dicabutnya 16 RUU (yang didalamnya termasuk RUU Kefarmasian) dari Prolegnas 2020, orang atau pejabat dari kefarmasian yang memberikan komentar hanyalah Sekretaris Jenderal Ikatan Apoteker Indonesia, yakni Noffendri. Dikutip dari Majalah Farmasetika (02.07.2020), saat dihubungi lewat telepon Noffendri hanya bertutur "menurut pak Melki, RUU Kefarmasian bukan dibatalkan, tapi diundur ke 2021".Â
Lebih dari itu Noffendri pun dengan santainya mengatakan "hal ini merupakan kesempatan berharga untuk mematangkan konsep RUU Kefarmasian ..." Selain Noffendri tidak ada lagi petinggi Kefarmasian yang memberikan komentar hingga hari ini, termasuk Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia.
![sumber facebook](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/07/19/apotek-5f13e211097f361b470f3003.jpeg?t=o&v=770)
Jika ditarik pada mention yang ada tertulis nama Jokowi, DPRRI, Najwa Shihab, Deddy Corbuzer dan PPIAI maka selayaknya kekecewaan itu ditujukan dan disampaikan kepada Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PPIAI).Â
Baca juga : Sedikit Tulisan di Hari Farmasis Sedunia
Alasan mengapa kekecewaan harus dan layak ditujukan kepada PPIAI karena sebenarnya DPR RI sebagai pembuat UU sudah membuka pintu dengan memasukan RUU Kefarmasian kedalam skala prioritas menjadi UU hanya saja kemudian dalam perjalanannya menjadi dicabut dari Prolegnas 2020.Â
Kita semua tidak tahu apa kerja PPIAI sehingga akhirnya RUU yang ditunggu - tunggu ini batal menjadi UU.Â
Membayangkan begitu dinginnya sikap Noffendri cs yang menjabat SekJen di Ikatan Apoteker Indonesia setelah mengetahui RUU Kefarmasian dicabut dan sikap diam dari Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia bukan tidak mungkin sebenarnya tidak ada kerja dan upaya apapun dari PPIAI untuk mempertahankan agar RUU ini tetap dalam Prolegnas 2020.Â
Kalo semua mau melihat kepada www.iai.id yang digunakan sebagai "kantor berita" Ikatan Apoteker Indonesia maka disana tidak satupun ada berita atau hal -- hal lain yang terkait dengan RUU Kefarmasian. Ini bisa disimpulkan bahwa memang benar PPIAI tidak peduli sama sekali dengan perjalanan RUU Kefarmasian di DPR RI.Â
Mention kepada pesohor -- pesohor dinegeri ini menjadi tidak berguna kalau pihak yang sangat terkait justru bersikap masa bodoh. Mengutip Republika.co.id (03.07.2020), disebutkan ada dua pertimbangan mengapa RUU dikeluarkan dari Prolegnas.Â
Yang pertama, karena secara pembahasan dan progres pembahasannya tidak menunjukan indikasi akan dituntaskan sampai Oktober 2020.Â
Dari sini saja bisa ditanyakan kepada PPIAI apa yang mereka lakukan dan kerjakan selama masa itu terhadap RUU Kefarmasian sehingga akhirnya peluang RUU Kefarmasian menjadi UU Kefarmasian menjadi hilang.Â
Semua Farmasis boleh dikata tidak pernah mendengar atau membaca berita terkait kegiatan PPIAI terhadap perjalanan RUU Kefarmasian. Kini, nasi sudah menjadi bubur.Â
Baca juga : Farmasis Menghadapi SDGs di Era Millenium
Dari penampakan Noffendri cs yang tidak ada terlihat rasa kecewa jelas mengisyaratkan bahwa tidak ada kerja dan upaya dari PPIAI agar RUU Kefarmasian tetap berada di Prolegnas 2020, belakangan yang terlihat  mereka justru lebih memilih sibuk memamerkan dukungan dari pimpinan -- pimpinan daerah IAI untuk keberlangsungan jabatan dan posisi mereka di PPIAI terkait adanya  konflik dengan PD Jawa Tengah dan PD Jawa Timur daripada membahas tentang RUU Kefarmasian.Â
Untung saja banyak sekali Farmasis yang memiliki nalar yang masih berfungsi sehingga mereka mau bertanya sebenarnya kepada siapa #farmasiskecewa ?
Sampai sini tentu menjadi jelas dan terang kepada siapa seharusnya kekecewaan itu disandarkan. Lagi -- lagi sikap dingin Noffendri cs dan tidak adanya suara keberatan dari PPIAI terhadap batalnya RUU tetap di Prolegnas 2020 dapat menjadi ukuran bagaimana sebenarnya kerja -- kerja PPIAI terhadap permasalahan ini.Â
Akhirnya kedepan, PPIAI lah yang semestinya kita dorong dan paksa untuk mau memperlihatkan kerja nyatanya dalam persoalan RUU Kefarmasian bukan malah sibuk dan gembira memposting surat -- surat dukungan yang akhirnya kita semua tahu sedang ada konflik antara PPIAI dan PDIAI Jawa Tengah dan PDIAI Jawa Timur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI