Mohon tunggu...
Kadiman Kusmayanto
Kadiman Kusmayanto Mohon Tunggu... -

I listen, I learn and I change. Mendengar itu buat saya adalah langkah awal dalam proses belajar yang saya tindaklanjuti dengan upaya melakukan perubahan untuk menggapai cita. Bukan hanya indra pendengaran yang diperlukan untuk menjadi pendengar. Diperlukan indra penglihatan, gerak tubuh bersahabat dan raut muka serta senyum hangat. Gaul !

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

ABG -- Asli Indonesia

12 November 2009   11:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:22 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sejak awal terjadinya revolusi industri yang ditandai dengan invensi dan penggunaan mesin uap sebagai penggerak mula (prime mover) telah dirasakan pentingnya kerjasama harmonis antara kaum akademik (A = Academics), para pebisnis (B = Business) dan penentu kebijakan alias pemerintah (G = Government).  Sejak itu mulailah The Triple Helix dengan trio ABG menjadi tema sentral mulai dari ranah konsep sampai pada realisasi dalam keseharian. Kata helix diambil dari kata dalam bahasa Inggris yang menjelaskan bentuk geometri berupa rantai spiral berbentuk dua maupun tiga dimensi.  Pemilihan kata helix dalam trio ABG adalah inspirasi dari keharmonisan dalam The Double Helix Deoxyribo Nucleic Acid (DNA). Kita paham bahwa DNA adalah komponen dasar dan utama hampir setiap makhluk hidup. Wujud fisik dari DNA ini geometri tiga dimensi berupa helix kembar yang secara harmonis terhubung satu dengan yang lain dan membawa informasi genetika orisinil makhluk hidup. Trio ABG dipercaya akan memberi dampak positif jika dapat diarahkan membentuk sebuah trio helix yang menggambarkan keserasian masing-masing helix A, B dengan G, yaitu terajut (inter-twined) membentuk sebuah jejaring kuat.

Belajar Dari Anak Baru Gede

Sehari-hari kita lebih mengenal istilah ABG sebagai akronim dari Anak Baru Gede yaitu anak-anak dalam masa akil-balik (adolescent) yaitu yang berada pada masa transisi dari status anak-anak ke orang dewasa. Dalam perspektif psikologi individu dan organisasi, masa transisi ini selalu menjadi fokus pengamatan yang membutuhkan pengawalan ketat. Bahkan dalam strategi dan kiat mengelola masa perubahan (change management) diingatkan bahwa ini adalah perioda yang kritis karena berifat labil. Kondisi yang lama (the old comfort zone) belum lagi sepenuhnya ditinggalkan. Disisi lain, kondisi yang baru (the promised new comfort zone) belum dipahami apalagi dirasakan lebih nyaman ketimbang kondisi yang akan dan sedang ditinggalkan.

Banyak ciri khas bahkan sikap ABG yang menarik perhatian, diantaranya adalah

a. Lebih suka disebut orang dewasa muda ketimbang anak besar.

b. Tidak mudah diberitahu atau menerima usulan, kritik dan perintah dari generasi yang lebih tua termasuk dari or-tu.

c. Tampil beda bahkan tak jarang jadi trend-setter, eg pamer puser, celana mlorot

d. Berkelompok dan kompak

e. Senantiasa berbagi dan bertukar harta benda dengan sesama

Jangan cepat loncat pada kesimpulan bahwa keunikan kaum ABG itu lebih berpotensi bikin pusing ketimbang memberi manfaat. Apalagi jika kita memasukkan faktor generasi penerus dalam penilaian.

Dalam konteks The Triple Helix (THC),perilaku esa dari kaum ABG banyak memberi pelajaran. Tengok misalnya sifat berbagi dengan seksama. Ini yang dalam konsep manajemen organisasi modern dikenal dengan istilah resource sharing. Tanpa ada sikap ini, tidak akan terjadi pertukaran informasi diantara masing-masing helix. Lebih lanjut, cita rajut THC bagaikan jauh panggang dari api. Tanpa sifat ini akan tetap berdiri kokoh tembok-tembok tinggi yang ujung-ujungnya bukan membentuk THC melainkan tiga komponen A, B dan G yang saling eksklusif. Begitu juga dengan sikap berkelompok dan kompak. Bukankah kedua hal ini yang menjadi ruh dari kerja-tim (team work)? Idem ditto dengan keutamaan ABG tampil beda. Ini yang menjadi kernel atau inti dari ekonomi kreatif  (the creative economy) yang juga menjadi buzz-word dalam THC.

Untuk bagian selanjutnya isitilah ABG tidak akan lagi dipakai sebagai sigkatan Anak Baru Gede melainkan ha nya untuk ABG, The Triple Helix.

Panser karya ABG Indonesia

Pengganjal Dan Sandungan Rajutan ABG

Selintas, bagian diatas sudah secara tidak langsung memberi gambaran faktor-faktor yang berpotensi mengganjal dan menjadi sandungan dalam upaya menggapai cita keterajutan (inter-twined) A, B dan G membentuk sebuah THC yang serasi, yaitu tidak kompak, idividualis, tak mau berbagi dan biasa-bisa saja alias sekedar ikut arus.

Mari kita fokus pada menengok relasi komponen A dengan B. Sudah menjadi rahasia umum, khususnya di Indonesia bahwa jurang pemisah antara habitat A sangatlah lebar dengan kaum B. Tak jarang kita mendengar kaum B mengatakan bahwa mereka tak bisa berharap banyak dari kaum A karena hasil karya mereka baik lulusan maupun hasil riset masih belum siap pakai. Menara Gading adalah isitilah sinis yang diberika pada habitat A. Menara gading ini berkonotasi mahal, tak tepat guna dan hanya bagus untuk pajangan.  Disisi lain, kaum A berdalih, mana mungkin mereka bisa menghasilkan lulusan dan karya yang siap guna jika dunia bisnis tak bisa mereka pahami, terlalu matre  (short term profit oriented) dan tidak menilai habitat A sebagai prospek investasi yang lukratif. Jika kondisi ini didiamkan saja dan hanya mengandalkan waktu untuk memperbaikinya niscaya jurang ini akan semakin lebar dan dalam mengingat tak adanya upaya menghilangkan pengganjal dan sandungan sinergi A dengan B. G berpeluang menjadi mak-comblang dalam perjodohan A dengan B. Bagaimana bisa?

Tentu banyak jalan menuju Roma. Salah satu peran yang dapat dilakukan G sebagai aktor adalah memberikan insentif bagi pelaku A yang bertekad memasukkan kebutuhan kaum B dalam proses menghasilkan lulusan siap guna maupun dalam melakukan riset berorientasi pasar. Link & Match adalah salah satu kiat. Pada komunitas B, G juga dapat melakukan tarikan dan dorongan agar membuka pintu untuk masuknya kelompok A ke habitatnya sehingga saling kenal bisa dilakukan dengan mulus. Iming-iming keringanan dan insentif pajak adalah pemanis (sweetener) yang menjadi favorit pelaku B. G bisa mengatakan bahwa pemanis diberikan bagi kelompok B yang meberi dukungan dan membuka peluang kemitraan dengan kaum A. Tax Incentives terbukti dibanyak negara maju menjadi aji pamungkas bagi G dalam mengupayakan sinergi A dengan B.

Komunitas A wajib berkontribusi pada kajian kebijakan publik baik melakukan kajian dan gugatan terhadap kebijakan publik yang telah ada sampai pada membuat rekomendasi dan peer pressure terhadap  penetapan kebijakan publik oleh pihak G baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah yang menjadi pemicu bergulirnya bola salju sinergi ABG.

Korupsi baik dalam wujud pencurian harta negara sampai bentuk kecurangan yang merugikan bukan semata terjadi di habitat G. Tanpa partisipasi aktif B, kaum G akan powerless dalam melakukan korupsi. Terbebaskah elit A dari perangkap korupsi? Tidak ! Bibit-bibit koruptor dicetak dalam habitat A. Pembiaran perilaku negatif seperti menyontek dalam pendidikan, plagiat dalam karya akademik sampai guru yang suka berbohong dan membolos adalah asal muasal menjamurnya kejahatan kerah putih (the white-collar crime) -- korupsi. Korupsi adalah faktor super kuat sebagai pengganjal dan sandungan dalam upaya dan cita merajut ABG menjadi lokomotif pertumbuhan.

ABG Intrinsik Dalam C

Dalam uraian diatas, baik saat mengupas A, B maupun G kita tidak sama sekali membahas peran dan manfaat ABG bagi masyarakat, rakyat atau komunitas (community, C). Jelas sekali bahwa ketiga kaum A, B dan G adalah bagian tidak terpisahkan dari komunitas. Dengan demikian THC atau ABG adalah intrinsik atau secara alamiah (naturally belonging) merupakan bagian dari komunitas. Lebih jauh lagi, keserasian ABG dalam menghasilkan inovasi produk atau proses akan berdampak positif terhadap komunitas baik pada upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, juga pada misi penciptaan lapangan kerja baru dan tidak kalah pentingnya adalah penggapaian cita pengentasan komunitas dari kubangan kemiskinan.  Singkat kata, tidak relevan memaksakan unsur C menjadi the fourth helix dalam jejaring ABG dengan tujuan membentuk jejaring C-ABG, ABG-C ataupun ABCG. Dengan perkataan lain, ABG sudah terkandung secara natural dibungkus oleh C. Dalam matematika, ABG itu sub-set dari C.

ABG : Studi Kasus Batik dan Jamu

Mari kita telusuri kisah sukses terajutnya ABG ditanah air dan khas Indonesia. Dari sekian banyak contoh, mari amil batik dan jamu sebagai dua kisah sukses.

Batik adalah kekayaan turun temurun anak negeri dalam membentuk corak dan memberi warna pada kain melalui titik-titik yang dihasilkan oleh alat khusus bernama canting dengan media cair malam (atau lilin). Kata batik bermuasal dari titik yang menjadi ciri khasnya. Dalam matematika, kita kenal bahwa kumpulan titik akan membentuk garis bahkan pola. Pola ini dihasilkan melalui karya seni yang tidak jarang bernuansa ritual dan tradisi yang kemudian mengkristal menjadi budaya. Keterajutan ABG telah sukses menjadikan batik sebagai: Kekayaan khas Indonesia yang diakui dunia, Menjadi citra nasional bahkan dijadikan citra lokal, Peluang bisnis yang prospektif, Karya seni yang membuka peluang fusi seni tradisional dengan kontemporer, dan menjadi trend setter di beberapa world fashion show. Batik, khususnya batik tulis dan batik cap adalah Indonesia. Memang dengan besarnya pasar batik di tanah air, telah membanjir kain-kain bermotif batik. Ini bukan batik !

Jika de jure atau de facto orang Indonesia berpakaian batik sekali saja dalam satu minggu maka citra, peluang bisnis dan seni batik akan meroket.

Jamu juga merupakan warisan leluhur dan sekaligus titipan anak cucu. Jampi yang kita kenal sebagai kiat dan doa untuk sembuh dari sakit dan juga agar tetap sehat (oesodho dalam Bahasa Jawa kuno) sudah menjadi kebiasaan bahkan tradisi kita, generasi demi generasi. Jampi dan oesodho ini yang menjadi dua kata asal dari terbentuknya kata jamu. Jamu sudah melekat pada anak negeri. Walau pangsa pasar jamu menaik secara signifikan didalam negeri bahkan juga menunjukkan kenaikan yang kasat mata dalam ukuran ekspor dalam beberapa tahun terakhir ini namun porsinya terlalu kecil bila dibandingkan dengan obat yang berbasis bahan kimia murni. Kuat upaya kaum A, B mapun G dalam melakukan paduan jamu dengan obat. Obat-alami atau salah kaprah dengan sebutan obat-herbal adalah contoh nyata.

Sekiranya pemerintah (G) memberikan encouragement agar dokter dan paramedik di PusKesMas mengeluarkan resep dan memberikan jamu dan obat-nabati dalam menangani penyakit-penyakit yang banyak dialami masyarakat yaitu Pusing, Keseleo dan Masuk-angin maka betapa besarnya peluang bisnis dan tantangan riset yang diciptakan. Namun jangan iseng dan jail membuat plesetan bahwa Puskesmas itu identik dengan pusing, keseleo dan masuk-angin.  Puskesmas itu andalan kita dalam meuwujudkan masyarakat Indonesia yang sehat. ABG kompak -- Indonesia berjaya dengan batik dan jamu !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun