Mohon tunggu...
Sanad
Sanad Mohon Tunggu... Mahasiswa/Pelajar -

Penulis Cerita Pendek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Monolog

29 Mei 2018   18:49 Diperbarui: 29 Mei 2018   19:07 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I

Setelah kematian pamanya dua minggu yang lalu, anak itu memang suka sekali duduk berlama-lama memandangi akuarium yang berisi seekor kura-kura sekarat di dalamnya. Aku sendiri sebagai ibunya sampai terheran-heran dibuatnya. Mula-mula ia hanya memandangi akuarium itu dengan tatapan kosong, seperti sebuah patung yang menatap bisu pada suasana kota disekitarnya. 

Setiap pagi, kira-kira pukul lima dini hari, ia akan bangun dari tidurnya dengan langkah teratur (tanpa membereskan penampilannya) dan menuju akuarium yang berada dipojok ruang tamu. Berlama-lama disana hingga matahari menyengat dinding rumah kami pukul enam pagi, atau lebih tepatnya setelah aku atau ayahnya membuyarkan seluruh lamunannya dengan perintah membersihkan diri dan bersiap dengan sekolah paginya.

Pernah suatu kali, di malam hari setelah ia tertidur pulas, kami --maksudnya aku dan suamiku- coba menghentikan keanehan anak kami itu dengan memindahkan akuarium tua itu ke belakang rumah. Di sana ada sebuah kolam yang dibuat oleh mendiang kakeknya sebelum ia mendapatkan akuarium baru di umurnya yang kelima. Kura-kura sekarat -yang entah kapan ajal bakal menjemputnya- itu kami pisahkan dengan akuarium tempatnya biasa bersembunyi dari dunia yang ganas. Kami biarkan kura-kura itu berenang kesana kemari di dalam kolam tua yang sudah terjerang air. Dan betapa senangnya binatang amfibi itu, ia berenang seperti sedang menari disebuah pesta kostum.

Di luar kebahagiaan si kura-kura itu, kami memang bermaksud untuk mencari tahu seberapa besar reaksi anak semata wayang kami itu. Siapa tahu dari sana kami bisa menemukan solusi untuk membuatnya meninggalkan kebiasaan anehnya yang seringkali mengganggu pikiran di kepala kami.

Paginya, seperti yang sudah bisa diduga, pukul lima dini hari ia bangun dari tidurnya, dengan penampilan berantakan, menuju tempatnya biasa melewati waktu-waktu dimana matahari merangkak keluar dari perut bumi dan mulai memanjati langit. Di luar dugaan kami, ia tidak mempermasalahkan kura-kura yang tiba-tiba lenyap dari pelupuk matanya, dan hanya duduk dengan tenang di sofa menghadap ke arah dimana akuarium itu dulunya berada. Dan terus melamun seoalh semua baik-baik saja.

Aku menggeleng keheranan, suamiku juga.

II

Apakah percakapan ini rahasia? Baiklah!

Aku sebenarnya tidak selalu sependapat dengan istriku, dalam hal apapun. Termasuk soal Helena, putri sematang wayangnya. Kau pasti bingung bukan? Kenapa aku menyebut Helena putri-semata-wayang-istriku dan bukan putri semata wayangku? Biar ku ceritakan, asalkan aku bisa diyakinkan bahwa percakapan ini adalah percakapan rahasia.

Dahulu, sejak masih bekerja sebagai jurnalis. Aku seringkali meninggalkan istriku sendiri di rumah, tanpa siapa-siapa. Waktu itu Helena belum lahir, dan tentu saja belum ada dikandungan. Aku sering bepergian untuk waktu yang tidak singkat. Bisa dibilang, satu atau dua minggu berada diluar kota, berpindah dari satu kota ke kota yang lainnya, dan seterusnya. 

Selebihnya, atau setelah dua minggu tadi aku akan berada dirumah sebagai tukang ketik yang menghabiskan malam hingga dini hari dengan berbagai naskah berita yang dikejar deadline. Hampir tidak ada waktu bagiku untuk menikmati nyenyak tidur yang bergelimang lendir dipipi kiri dan kanan sebagaimana kebanyakan orang yang sering ku temui. Karena aku hanya bisa tidur setidaknya satu atau dua jam, sebelum kemudian bangun lagi, lalu merampungkan naskah dan bersiap pergi ke kantor.

Bisa dibayangkan bukan betapa sibuknya aku sebagai seorang suami?

Waktuku terkuras hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa memang, karena aku tidak pernah punya apa-apa setelah menikahi istriku beberapa tahun sebelumnya. Dan untuk menebus dosa-dosa itu, aku --dan juga mungkin semua suami di dunia ini- harus bekerja keras membayar janji memberikan rasa aman dan nyaman pada istriku sebagaimana kalimat itu pernah ku katakan di depan penghulu dan orang banyak dihari pernikahan kami.   

Hingga, suatu kali di malam yang begitu melelahkan, istriku datang mengajakku bertamu ke (maaf!) selangkangannya. Dan aku mengiyakan saja, toh itu tanggung jawabku untuk membuatnya tetap terjaga emosinya. Perihal ini, aku pernah mempelajari dan juga kadang berdiskusi dengan sesama jurnalis. Bahwa setiap perempuan yang jarang sekali dikunjungi akan merasakan perubahan kondisi emosi. Entahlah apa maksud dari yang disebut dengan perubahan kondisi emosi. Tidak ada penjelasan detailnya, karena kami --yang berdiskusi waktu itu- hanyalah sekumpulan jurnalistik, dan bukan ahli Seksologi. 

Namun sesuatu yang ganjil terjadi dalam satu bulan setelah malam melelahkan itu. Istriku hamil, dan dengan begitu sumringahnya ia memperlihatkannya padaku lewat sebuah benda kecil yang memanjang seperti pengukur suhu yang entahlah apa namanya itu, aku lupa.

Awalnya aku hanya terdiam, sambil memikirkan segala kemungkinan-kemungkinan lain didepan semua perkara yang baru saja terjadi. Sebelum akhirnya, akupun ikut-ikutan sumringah, memancarkan senyum --tanda aku bahagia- di depan matanya. Namun ada sesuatu yang ku khawatirkan didalam hatiku.

Suatu kali, jauh sebelum istriku mengandung Helena dirahimnya. Aku pernah menemui seorang dokter untuk memeriksakan tekanan darahku karena aku sering merasakan pening setiap kali ditengah pekerjaan. Kata dokter itu aku sedang dalam kondisi stress dan mendekati depresi. Tuntutan kerja menjadi faktor utamanya, dan bla-bla-bla-bla.. hingga semua percakapan itu berakhir pada satu perkara penting, yang lebih penting dari penyakit stress dan depresi ringan yang ku alami.

Aku mandul, kata dokter itu sambil dibacanya kertas putih yang memuat hasil diagnosa seluruh keadaan tubuhku.

Aku tidak pernah memberitahukan istriku soal perkara itu, meskipun Sang dokter-pun telah memberikan saran agar aku berterus terang padanya. Surat yang diberikan dokter itu telah kubakar habis jauh dari rumah selama perjalan pulang. Aku kalut, kaget bercampur amarah pada diriku sendiri. Hingga aku kemudian sadar, bahwa aku terlalu mencintai istriku, dan aku takut ia akan meninggalkanku setelah mengetahui itu semua.

Dan sebab itu, dihari dimana ia menunjukan padaku kalau ia tengah hamil, aku tetap tidak bisa meluapkan emosiku dan kemudian berterus terang, meskipun aku tahu, bayi yang ada diperutnya, atau manusia yang kemudian bernama Helena itu bukanlah benih dari diriku, lebih tepatnya dia bukan anakku.

O, ya! Soal keanehan Helena setiap pukul lima dini hari, dipojok ruang tamu, dan kura-kura sekarat yang selalu diperkarakan istriku sebagai penyebab semuanya.

Aku tidak peduli, karena dia bukan anakku. Dan persetan dengan kura-kura itu.     

 

III

Mereka tiba-tiba jadi gila.

Mula-mula mama, setiap pagi aku menemukannya bersama baba tengah berada diruang tamu. Sambil memandang ke arah sofa yang kosong melompong. Kemudian mama menggeleng sambil di ikuti baba --yang juga menggeleng. Lalu mereka saling menatap dalam tanda tanya dikepala mereka masing-masing.

Yang ku tahu mama memang terlihat aneh semenjak kematian paman Jodi, orang yang selalu disebutnya sebagai saudara tertua ayah --meskipun aku tahu semua itu tipu muslihat belaka.

Mama jadi sering menatap kearah kura-kura di dalam akuarium pemberian paman Jodi sebagai hadiah ulang tahunku yang kelima. Entahlah apa yang ada dipikirannya, semua hal yang berhubungan dengan paman Jodi pasti akan membuatnya jadi aneh.

Lalu papa, terakhir ku lihat tanpa sengaja membuang kresek dibelakang rumah dengan cara diam-diam. Bukan perkara apakah itu salah atau tidak, melainkan hal itu nampak sekali tidak masuk akal, terlebih dibagian belakang rumah terdapat sebuah tulisan: Di larang membuang sampah di tempat ini.

Setelah ku selidiki (karena tanpa sepengetahuan papa aku mengambil kresek yang sudah ia buang itu) dan ternyata sampah yang terbuang itu adalah sebuah boneka dari jerami tertulis nama seseorang disana. Nama itu: Jodi.

Dengan tusukan jarum disekujur badan boneka itu.

 

Semua itu bermula dihadapan sebuah cermin. Yang konon (karena peninggalan masa Hindia-Belanda) ia memiliki kekuatan sihir untuk mengungkap apa saja yang diresahkan, juga dirahasiakan oleh setiap wajah yang ada dihadapannya.    

 

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun