Aku melihatmu melayangkan kaki ke tubuhku yang tergolek disimpang jalan itu. Aku yakin aku sudah mati ketika kau melempar sekali lagi parang yang ada ditanganmu itu ke arahku, barangkali tepat dileherku. Tapi, aku bingung kenapa kau masih belum yakin kalau aku sudah mati, kemudian menendang-nendang mayatku serupa ingin menyuruhku bangun lagi, dan berduel denganmu lagi. Aku juga mengikuti langkah kakimu ketika kau dengan nafas terengal menyeret tubuhku kedalam semak belukar. Tubuhku sesekali tertahan pada ranting-ranting kecil yang kering, yang kemudian kau tarik dengan sekuat tenaga karena hari keburu pagi. Dan kulihat ranting-ranting itu mengaruk tubuhku serta menikam luka-luka yang telah kau buat disana.
Tubuhku yang malang. Apakah kau tersiksa? Coba kulihat, lalat-lalat serta ngengat itu mendekati dirimu serupa makanan lezat. Mereka saling berebut pada luka-luka yang masih mengucurkan darah, pada beberapa benang putih urat-urat kecil yang menyeruak karena terkait oleh dahan semak. Apakah kau merasakannya? Aneh! Bukankah kita adalah satu bagian antara tubuh dan jiwa. Tapi kenapa aku tidak merasakan apa-apa? Tapi kenapa aku tidak merasa ngilu? Tapi kenapa aku tidak..
****
"Tidak, dia tidak mungkin mati" salah seorang perempuan didalam rumah petak itu berseru pada sekian banyak manusia yang memenuhi tiap sudut rumah.
"Suamiku pasti masih hidup!" sambungnya lagi dengan suara terbata dalam pelukan seorang perempuan lain. "Tolong, tolong, temukan dia, temukan suamiku!"
Tentu saja. Orang-orang yang mencari Tukiman sejak dua hari lalu itu segera bergegas meninggalkan rumah Tukiman, tempat orang-orang berkumpul , berbagi informasi, atau sekedar memberi kabar pada istri-istri mereka  tentang perkembangan hilangnya Tukiman sejak dua malam yang lalu.
Mereka segera berkumpul kembali diluar rumah Tukiman. Beberapa orang menyarankan agar mereka menyebar hingga ke desa tetangga. Yang lain memberi usul agar mereka mencari dihutan-hutan belantara yang membatasi satu kampung dengan kampung lain, mungkin ia tersesat, hingga tak tau jalan pulang.
"Kan dia sudah tua. Pikun sih, enggak. Tapi lelaki tua yang masih berkebun sering kali melalui jalan yang salah kalau hendak pulang" salah satu suara itu keluar dari kerumanan orang-orang yang hendak mencari Tukiman.
"Tapi hutan-hutan disanakan angker-angker. Kalau jalan sendiri atau berdua, bisa-bisa kita juga ikut hilang atau dimakan dedemit, atau binatang buas. Ihh..! Ada Kalong wewenya juga"
"Atau jangan-jangan Tukiman dibawa sama Kalong wewe. Terus dia disembunyikan entah dipohon besar mana"
"Tidak mungkin. Dia itu sakti, setan salah-salah yang mendekat bakal kena gamparan dia. Kan kalian tahu itu!"