Mohon tunggu...
Sanad
Sanad Mohon Tunggu... Mahasiswa/Pelajar -

Penulis Cerita Pendek

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Apanya yang "Good" dari "Goodbye"

4 Maret 2017   15:15 Diperbarui: 5 Maret 2017   04:00 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Islutrasi Perceraian dalam Rumah Tangga (http://lensakaltara.com/)

Tepat pukul sebelas malam suara sirine itu mendekat, cahaya biru berputar-putar di halaman kafe, dan beberapa petugas masuk ke dalam ruangan lalu meringkus mereka dengan paksa.

Lima orang gadis menjerit. Salah satu dari mereka jatuh terkapar karena gagal menaiki palfon untuk bersembunyi, dan beberapa perempuan lain berbekal pengalaman dan jam terbang tinggi, coba melobi salah satu komandan mereka untuk tetap tinggal lalu bersenang-senang dan membiarkan mereka tak diringkus, namun gagal.

"Tolong ikut kami ke kantor," kata salah satu petugas menarik-narik bajunya.

"Aku bukan pengunjung kafe ini, Pak," katanya memohon kepada petugas itu agar dilepaskan.

"Ya, nanti jelaskan semua itu di kantor," jawab petugas acuh dan masih menarik-narik bajunya.

"Aku mencari istriku, Pak!" tambahnya memelas, dengan leher baju yang hampir koyak ditarik oleh petugas.

"Semua orang di sini juga mencari istri," kata petugas itu dengan tetap tak melepas kerak bajunya, "Istrimu sudah ada di kantor!" petugas itu menyeretnya ke sebuah pick-up yang terparkir di halaman. Di sana sudah berkumpul beberapa lelaki hidung belang yang akan bersamanya di kantor polisi.

Beruntung ia hanya di tahan semalam, dan diperbolehkan pulang setelah dijemput oleh istrinya yang datang setelah mendapat telepon dari kantor polisi di pagi buta.

Atun yang bosan dengan pertengkaran-pertengkaran kecil di rumah tangganya itu pun memiliki alasan untuk menempatkan sebuah kopor berisi baju, celana, dan celana dalam di atas meja. Dan dengan wajah masih mengkerut, tak mengeluarkan sepatah kata pun, tanpa kehadiran kopi dan kue lapis di pagi hari itu, sebagaimana hari sebelumnya, ia memiliki alasan untuk mendakwa suaminya main serong, dan mengeluarkan kalimat aji pumpung untuk mengakhiri hubungan mereka.

"Sebaiknya, kita bercerai saja!"

~~~~

Pertengkaran mereka timbul karena kecurigaan Iwan pada Atun yang berselingkuh. Beberapa kali ia coba untuk menangkap Atun, dan ingin membuktikan bahwa perkiraannya tidak meleset. Namun, kali itu ialah yang harus mengangkat topi dan memanggul kopor berisi baju, celana, dan celana dalamnya yang sudah disiapkan oleh Atun di atas meja.

Kecurigaan itu bermula saat Iwan merasa ada yang aneh pada Atun yang suka senyum-senyum sendiri mempermainkan telepon genggamnya. Dan untuk Iwan, sudah kesekian kalinya Atun menyembunyikan alasan perilaku yang membuat dahi dan jantung Iwan serasa kompak untuk melontarkan tuduhan selingkuh padanya, semakin membuat Iwan berkeinginan untuk membuktikan tuduhan-tuduhannya itu, lalu menyeret Atun ke depan pengadilan untuk bercerai.

Namun, kecurigaan itu layu sekarang, mereka memang akan segera bercerai di bulan depan, di depan pengadilan tentunya. Tapi bagi Iwan, berbeda bagi Atun, perceraian bukanlah yang terpenting, bukti bahwa istrinya itu berselingkuh adalah yang paling diinginkannya. Dan lebih buruk bahwa sekarang Atunlah yang meminta perceraian itu terjadi.

Kejadian itu semakin menyulut emosinya ketika berjalan lesu meninggalkan rumahnya yang perlahan hilang di belakang. Ia membayangkan Atun begitu senang dengan kemenangannya, lalu sebentar lagi, sesaat setelah ia benar-benar menghilang dari pandangan Atun, lelaki selingkuhan istrinya itu akan datang ke rumah mereka untuk mencumbui istrinya.

"Kampret!" gumamnya dalam hati menahan panas di dada dengan tangan terkepal penuh amarah.

~~~~

Sepasang suami-istri dan seorang balita yang digendong berjalan menyusul lalu meninggalkan Iwan yang berjalan pelan di belakang mereka. Sepasang suami-istri itu begitu sempurna di mata Iwan, sebagaimana ia dan Atun selalu membicarakan perkara anak untuk keluarga kecil mereka, dalam khayalannya itu ia kembali mengingat bagaimana dulu ia merajut cinta dengan Atun dalam pertemuan yang ganjil beberapa tahun silam.

Atun bekerja sebagai pelayan di kafe yang kemudian menyeret Iwan dan beberapa lelaki hidung belang lain, ke kantor polisi. Iwan hadir sebagai seorang pelanggan setia, meski kafe itu memiliki pelayanan untuk hal-hal lain, namun bagi Iwan, seharian menemani Atun dengan hanya menatapnya saja sudah membuat hati lelaki itu mengembang seperti roti. Awalnya Iwan mengira Atun adalah perempuan pengasih di tempat itu, dan dengan lagak sedikit gairah ia menawarkan sejumlah uang pada Atun. Atun yang kemudian begitu kesal pada lelaki itu menampar Iwan berkali-kali karena sudah kurang ajar kepadanya.

"Aku bukan perempuan jalang!" kata Atun dalam ingatan Iwan.

Beberapa jam setelah kejadian itu, Atun berbaik hati meminta maaf dan mengobati luka gores pecahan kaca akibat pukulan Atun di kepala Iwan dengan botol minuman. Entah kenapa cinta timbul bertepatan dengan darah yang mengucur dari kepalanya. dan perlahan namun pasti ia bisa menetapkan pilihan hatinya itu kepada Atun.

Puncaknya adalah ketika Iwan dengan tanpa basa-basi mendatangi Atun yang sedang bekerja pukul dua pagi, lalu menyatakan cinta kepadanya. Dengan senyum lirih, dan pipi yang memerah, Iwan tak perlu mendapat penjelasan bahwa ia telah dicintai oleh perempuan itu, karena sudah tergambar dari lesung pipinya yang timbul setelah kalimat terakhir diucapkan oleh Iwan.

"Maukah kau menikah denganku?" kata Iwan yang bersambut baik kepada Atun.

~~~~

Hari sebelumnya, tepat pukul sepuluh malam ia keluar menuju kafe untuk menenangkan dirinya dari bayang-bayang perselingkuhan istrinya dengan lelaki lain. Ia berpamitan untuk keluar kota dan akan kembali besok siang untuk sebuah pekerjaan mendadak. Berharap dengan menjebak Atun seperti itu, ia akan mendapatkan bukti bahwa istrinya itu benar-benar bermain api dengan lelaki lain.

Namun sayang, suara sirine itu lebih cepat dari rencana untuk membuktikan kelakuan gelap istrinya. Seorang petugas datang bersama seorang perempuan berdaster dan tanpa make-up, itu Atun. Dengan wajah geram dan amarah yang memuncak, ia tak menyangka bahwa suaminya begitu tega memperlakukannya demikian, setelah ia mati-matian memperjuangkan hubungan mereka hingga bertahun-tahun lamanya.

Dan atas hal yang tidak termaafkan itulah, kata-kata Atun terlontar, "Sebaiknya, kita bercerai saja!"

~~~~

Iwan yang masih mengambang dalam khayalan tentang kejadian yang menimpanya itu memperlambat laju kakinya, lalu mampir di salah satu warung kopi yang berdiri di jalan yang menghubungkan dua desa, desanya dan desa tetangga.

Salah seorang yang dikenal Iwan berada di sana, lelaki yang istrinya sedang hamil tua dan siap menunggu kelahiran anak pertama mereka. Dalam keadaan yang sama, lelaki itu menyapa Iwan.

"Hey!" katanya sambil mengangkat tangan, "Mau ke mana?"

"Keluar kota!" jawab Iwan datar masih belum bisa meredam emosi di hatinya.

"Oh, iya begitulah pekerjaan," sambung temannya dengan senyum yang merekah.

"Oh ya!" kata Iwan menyambung percakapan, "Bagaimana kabar istrimu?"

"Beberapa minggu lagi bakal lahiran!" katanya penuh semangat.

Mereka berdua terdiam sejenak, beberapa lelaki seusia Iwan dan yang lebih tua sibuk bermain domino dan catur, dan seorang nenek yang membuatkan Iwan kopi datang meletakkan kopi itu di depan Iwan yang duduk sambil menyulut kreteknya.

"Oh ya!" kata lelaki yang duduk di samping Iwan itu, "Bagaimana kabar istrimu?"

"Baik!" kata Iwan lirih menghembuskan asap kretek ke langit-langit warung, "Sekarang pasti ia akan lebih baik lagi."

"Itu pasti!" jawab lelaki itu membuat Iwan terbatuk menelan asap di mulutnya.

"Maksudmu?" Iwan memperbaiki posisi duduknya, sambil masih terus terbatuk-batuk.

"Dasar, kau tidak tahu ya?" kata lelaki itu semakin membuat Iwan penasaran, dan berpikir bahwa itu adalah bocoran perselingkuhan istrinya.

Mereka berdua kembali terdiam sejenak sebelum lelaki di sampingnya meneruskan kata-katanya.

"Seminggu lalu, ia sama-sama dengan kami ke dokter, mungkin kamu sedang di kantor," kata lelaki itu sambil menyeruput kopi hitamnya.

"Lalu?" tanya Iwan semakin penasaran.

"Istrimu hamil, dan dokter sudah kasih gambar hasil rekaman anakmu di telepon genggam istrimu," kata lelaki itu sambil kembali menyeruput kopinya.

Keduanya kembali terdiam, dan Iwan mulai merasa cemas atas sikapnya kepada Atun. Ia menunduk lalu mulai mengucurkan air mata.

"Pasti istrimu sedang senyam-senyum sendiri atau cengingisan, melihat gambar anak kalian di dalam teleponnya itu, seperti istriku," sambung lelaki di sebelahnya sambil tertawa kecil.

Dalam keadaan tertunduk, dengan mata yang basah, ingatan Iwan jauh menerobos masa sebelum menikah dengan Atun, dan mengingat-ingat lagi pesan ayahnya.

"Nak, sebelum menikah coba kau cari dulu apanya yang good dari goodbye."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun