Jika sudah begini, maka tidak heran jika para Abu yang berkarakter keras dan memiliki keberanian besar, ada yang menjadi penebar teror di masyarakat. Ahirnya, terorisme bukan saja melawan hegemoni dunia yang dianggap tidak adil bagi umat Islam, mereka pun lalu mencoba membela dengan kemampuannya dengan membuat bom dan diledakkan pada komuntias yang dianggap ‘kafirin’. Mereka senang karena itu dianggap perang suci dan atas nama agama. Apalagi mereka pun berbekal dalil ayat-ayat suci dan dalil teori pengetahuan teknik merakit bom. Jadilah upaya mereka cukup membuat ketakutan di masyarakat.
Jadi ungkapan Abu memang asli bahasa Arab karenanya banyak berada di Arabia. Kini Abu pun banyak dipakai di Indonsia. Mereka yang berkunyah Abu banyak yang baik, ada yang santun ada yang luas pengetauannya bahkan ada yang menjadi ulama panutan dan akrab dengan siapa saja. Tapi sebagaimana juga di Arabia pada zaman Nabi Muhammad saw, ada Abu Bakar, ada Abu Hurairah dan lain-lain. Mereka menjadi pemimpin dan perawi hadits yang kita ikuti ajarannya hingga kini. Tapi jangan lupa ada pula Abu Jahal sebagai ‘terorist’ bagi umat Islam dan Rasulullah saw yang begitu menampakkan kebencian. Padahal Abu Jahal itu sendiri adalah saudara Rasululalh saw.
Rupanya, Abu Jahal dari dulu hingga kini genarasinya masih saja bertebaran di mana-mana. Ternyata sesama saudara bisa saling bermusuhan. Penyebabnya sama dari dulu hingga kini. Dulu Abu Jahal tidak suka kepada Nabi Muhammad saw karena menjadi Rasul yang mengajarkan kedamaian. Dan Abu Jahalpun punya ajaran ‘kebencian’. Dan sekarang, ajaran itu bertahan hingga kini, mirip sekali dengan Para “Abu” modern yang menjadi "polisi agama." Menyalahkan sana-sini dan mencari-cari kesalahan lalu “menilang” nama baiknya.
Semuanya berargumen berdasarkan anggapan bahwa orang lain agamanya lemah, lemot dan sebagainya. Tentu mereka berbuat karena merasa memiliki “lisensi” dalil atas kemauan mereka. Kerap pula mengeluarkan kata-kata “kasar” kepada golongan di luarnya. Anehnya itu semua berkaitan dengan ajaran agama. Bukan ajaran ekonomi, sosial, politik atau urusan yang lebih penting dalam memenuhi hajat hidup kemanusiaan di dunia sebagai tanaman akherat.
Saya, Anda dan siapa saja yang telah mempunyai anak juga disebut ‘Abu’. Sebagaimana ada ‘Abu’ menjadi juru masak, ada pula Abu juru rusak bahkan ada ‘Abu’ yang menjadi juru teror. Jadi benarlah tidak sembarang ‘Abu’ yang bisa membawa kedamaian, ketentraman, atau kerusakan. Ah…. ‘Abu’ hanyalah sebuah nama. Wallahu a’lam.
salam Kompasiana
Kurt
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H