Mohon tunggu...
Muhamad Kurtubi
Muhamad Kurtubi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengajar di pendidikan nonformal, Ketua PKBM Edukasi Jakarta

Menulis itu mudah yang susah mempraktekannya. Mempraktekkan itu mudah kalau sudah banyak menulis... Jadi sering-seringlah menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bukan Sembarang "Abu"

9 Agustus 2010   14:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:11 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya tadi mendengar kabar KH. Abu Bakar Ba'asir (ABB) ditangkap lagi oleh polisi yang sudah kesekian kalinya. Ini mengudang banyak tanda tanya besar, bukan saja pendukung Islam model Kyai Abu ini, tetapi juga oleh para pengamat lainnya. Di artikel ini saya tidak akan menjawab apakah ABB ini terlibat teroris atau tidak, tetapi Anda akan saya ajak mendiskusikan masalah kecil seputar nama-nama Arab di Indonesia yang berawalan Abu ada yang menjadi menjadi terorist, pluralis, juru masak, juru rusak dan juru-juru lainnya.

Abu diartikan sisa pembakaran. Hasil dari pembakaran kayu atau hasil pembakaran mayat di krematorium. Namun bahasa Arab mengartikan abu adalah ‘ayah’. Seorang ayah berarti disebut Abu. Misalnya Abu Tommy berarti ayahnya Tommy. Tapi nama Abu bisa untuk penyayang binatang: Abu Hurairah, salah satu sahabat Nabi, artinya bapaknya kucing. Abu Abu Umar alias Ir Iman Samudra (alm) dikenal sebagai terorist yang ditakuti ddari Banten.  Masa seh Abu jadi terorist?

Rasulullah saw memilii banyak sahabat dan menggunakan kata Abu sebagai ‘kunyah’. Bagi yang belum akrab dengan bahasa arab mengucapkan kata ‘kunyah’ dengan penggalan kata ‘kun’ dan ‘yah’, bukan ‘kunyah’ seperti mengunyah makanan. Ungkapan ini artinya sebutan atau alias.

Kebiasaan orang-orang Arab dalam menggunakan alias kini ramai diikuti oleh orang Indonesia. Mungkin maksudnya untuk membuat ciri khas kalau dengan ungkapan “Abu” adalah islami dan alim. Sehingga para kyai dan ulama yang tidak memakai Abu dalam publik, tidaklah alim (pakar agama). Atau bisa jadi untuk membuat ciri khas sebuah golongan atau komunitas tertentu.

Mereka pun mirip gaya orang-orang Arabia: suka memelihara jenggot, bercelana tidak sampai ke mata kaki bukan pada shalat saja, dan sering berbahasa arab campuran dalam ucapannya: Ana, antum dll. Contohnya, teman saya kalau mau pulang selalu mengatakan, afwan ya ana duluan... heheheh

Dua ciri khas ini diklaim sebagai kebiasaan Rasulullah saw. Bahkan tidak bisa dibantah karena memang ada haditsnya, shoheh lagi. Nah loh, jadi bagi yang tidak memelihara jenggot dan bercelana hingga mata kaki tidaklah mengikuti sunnah Rasul saw.

Pengguna nama “Abu” biasanya bukanlah para santri lulusan pesantren desa. Namun seringkali digunakan oleh “santri kota”. Mereka yang sedari kecil biasa-biasa saja, setelah mengikuti gaya pengajian kota (pesantren kota) berubah drastis dalam sikap dan prilaku keagamaan. Bayangkan seorang lulusan perguruan tinggi seperti UIN, bisa kalah berdebat dengan lulusan SMU yang telah menjadi santri kota.Mereka mengaji seminggu sekali dengan durasi 2 jam belajar, isinya kadang-kadang bagaimana berdebat dan bagiamana mempertahankan pendapat kalau alirannya paling benar dan yang lain salah semuanya.

Anak santri kota yang saya sebut "islam gerakan",  mereka tiba-tiba saja mahir dalam berargumentasi dan berdebat. Namun sayangnya anak SMU yang berubah jadi Abu itu senangnya hanya berdebat saja. Melawan kemapanan dalam beragama di masyarakat bahkan dalam keluarga sekalipun. orang tua didebat, ayah ibu disalahkan, bahkan pak ustadnya juga didebat. Seorang ayah bisa dilawan oleh anaknya gara-gara dianggap salah dalam bergagama. Bahkan berani mengatakan ayahnya akan masuk neraka. Dalil bombastis itu biasanya masalah furuiyah, bukan masalah wajib dalam beragama ( ingat 5 sila rukun islam).

Ternyata pembinaan keagamaan yang prematur dan materi ajaran yang bersifat dogmatis hanya akan membawa kepada suasana tidak akrab dalam komunitas dan keluarga. Akhirnya, karena logika keagamaan yang hanya diikuti atas kemauan dan cara berpikir sendiri dan berdasarkan pola pikir mereka saja mengakibatkan kerawanan dalam masyarakat.

Menjadi Teroris

Jika sudah begini, maka tidak heran jika para Abu yang berkarakter keras dan memiliki keberanian besar, ada yang menjadi penebar teror di masyarakat. Ahirnya, terorisme bukan saja melawan hegemoni dunia yang dianggap tidak adil bagi umat Islam, mereka pun lalu mencoba membela dengan kemampuannya dengan membuat bom dan diledakkan pada komuntias yang dianggap ‘kafirin’. Mereka senang karena itu dianggap perang suci dan atas nama agama. Apalagi mereka pun berbekal dalil ayat-ayat suci dan dalil teori pengetahuan teknik merakit bom. Jadilah upaya mereka cukup membuat ketakutan di masyarakat.

Jadi ungkapan Abu memang asli bahasa Arab karenanya banyak berada di Arabia. Kini Abu pun banyak dipakai di Indonsia. Mereka yang berkunyah Abu banyak yang baik, ada yang santun ada yang luas pengetauannya bahkan ada yang menjadi ulama panutan dan akrab dengan siapa saja. Tapi sebagaimana juga di Arabia pada zaman Nabi Muhammad saw, ada Abu Bakar, ada Abu Hurairah dan lain-lain. Mereka menjadi pemimpin dan perawi hadits yang kita ikuti ajarannya hingga kini. Tapi jangan lupa ada pula Abu Jahal sebagai ‘terorist’ bagi umat Islam dan Rasulullah saw yang begitu menampakkan kebencian. Padahal Abu Jahal itu sendiri adalah saudara Rasululalh saw.

Rupanya, Abu Jahal dari dulu hingga kini genarasinya masih saja bertebaran di mana-mana. Ternyata sesama saudara bisa saling bermusuhan. Penyebabnya sama dari dulu hingga kini. Dulu Abu Jahal tidak suka kepada Nabi Muhammad saw karena menjadi Rasul yang mengajarkan kedamaian. Dan Abu Jahalpun  punya ajaran ‘kebencian’. Dan sekarang, ajaran itu bertahan hingga kini, mirip sekali dengan Para “Abu” modern yang menjadi "polisi agama." Menyalahkan sana-sini dan mencari-cari kesalahan lalu “menilang” nama baiknya.

Semuanya berargumen berdasarkan  anggapan bahwa orang lain agamanya lemah, lemot dan sebagainya.  Tentu mereka berbuat karena merasa memiliki “lisensi” dalil atas kemauan mereka. Kerap pula mengeluarkan kata-kata “kasar” kepada golongan di luarnya. Anehnya itu semua berkaitan dengan ajaran agama. Bukan ajaran ekonomi, sosial, politik atau urusan yang lebih penting dalam memenuhi hajat hidup kemanusiaan di dunia sebagai tanaman akherat.

Saya, Anda dan siapa saja yang telah mempunyai anak juga disebut ‘Abu’. Sebagaimana ada ‘Abu’ menjadi juru masak, ada pula Abu juru rusak bahkan ada ‘Abu’ yang menjadi juru teror. Jadi benarlah tidak sembarang ‘Abu’ yang bisa membawa kedamaian, ketentraman, atau kerusakan. Ah…. ‘Abu’ hanyalah sebuah nama. Wallahu a’lam.

salam Kompasiana

Kurt

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun