Penegakan hukum pidana atau dapat disebut criminal justice process
(proses peradilan pidana), secara yuridis-formal mengacu pada KUHAP. KUHAP kita sudah meninggalkan tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian. Dulu pada waktu masih zamannya menganut HIR, tindakan-tindakan seperti itu dinilai merupakan hal yang wajar karena konsepsinya menggunakan pendekatan 'law enforcement'. Â
Konsep pendekatan 'law enforcement' lebih mengedepankan pada keberhasilan penegakan hukum pidana. Meskipun, keberhasilan tersebut diperoleh dengan cara-cara melanggar hukum dan hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi dari Tersangka.
Sekarang, KUHAP telah meninggalkan cara pendekatan itu dan beralih pada pendekatan konsep due process of law (proses hukum yang adil). Konsep pendekatan ini mengedepankan pada penghargaan hak-hak asasi dari Tersangka. Dahulu Tersangka itu seolah-olah menjadi 'Objek' dalam proses peradilan pidana. Sekarang, seharusnya sudah diberlakukan juga menjadi 'Subjek'.Â
Konsep itu juga dapat dilihat bahwa di dalam proses peradilan pidana, dikenal adanya asas persamaan di depan hukum (equality before the law), asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan Tersangka wajib didampingi Penasihat Hukum dalam setiap pemeriksaan. Itu membuktikan bahwa proses peradilan pidana sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Tetapi, faktanya di lapangan masih terjadi seperti itu. Dimana letak persoalannya. Ya, terletak pada sumber daya manusianya masing-masing.
Ada saran dari Komnas HAM untuk merevisi materi kurikulum pendidikan Polri. Harus ada pendidikan tentang Hak Asasi Manusia. Bahkan, meminta supaya Komnas HAM juga masuk dalam pola pendidikan Polri, baik di Akpol maupun di SPN. Solusi yang cukup bagus dari Komnas HAM.
Sedikit tambahan solusi dari Penulis dalam merevisi kurikulum pendidikan itu, yakni dengan menambahkan mata kuliah 'etika' dan 'moralitas'. Khusus penambahan mata kuliah itu, didasarkan bahwa penegakan hukum pidana langsung bersentuhan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ada persoalan etika di sana. Dengan kata lain, memahami ilmu hukum pidana, baik hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, tidaklah cukup. Harus ada ilmu bantu sebagai pedomannya juga.
Â
Etika dan Moralitas sangat tepat sebagai pemandu aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Mengingat, manusia yang menjadi aparat penegak hukum adalah manusia-manusia pilihan. Ya, terpilih dari proses panjang yang sudah dilewati. Semoga mereka sadar akan hal itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H