"Tugas yuridis hukum pidana sesungguhnya bukanlah mengatur masyarakat, tetapi lebih mengatur kepada aparat penegak hukum". Adagium ini sangat tepat untuk mengingatkan kepada aparat penegak hukum, bahwa dalam menegakkan hukum pidana harus hati-hati, cermat, dan jangan sembarangan.
Masyarakat diberitakan dalam tempo yang hampir berdekatan, ada 2 (dua) subjek hukum yang meninggal di dalam tahanan dan/atau masih dalam proses peradilan pidana terhadap perkaranya. Subjek hukum pertama yakni Ustadz Maheer yang dalam beritanya, meninggal dikarenakan sakit yang dideritanya. Kedua, menimpa kepada Herman (39), yang bahkan meninggal karena tindakan kekerasan oleh Petugas Polri.
Dalam meninggalnya Ustadz Maheer, timbul suatu persoalan dan memaksa Komnas HAM turun tangan dalam mendalami sebab-musabab kematiannya. Sampai saat ini, Komnas HAM sudah mengirimkan surat kepada unit yang menangani selama Ustadz Maaher berada di Rutan Bareskrim Polri. Upaya yang dilakukan Komnas HAM patut diapresiasi untuk menumbuhkan 'kepercayaan publik', serta menjawab pertanyaan yang berkembang di masyarakat, yakni apa yang sesungguhnya terjadi dan faktor apa yang menyebabkan yang bersangkutan sampai meninggal dunia.
Sampai sejauh ini, fakta yang berkembang di masyarakat yakni Ustadz Maaher meninggal dunia disebabkan penyakit yang dideritanya. Menjadi sebuah persoalan yakni ia pada saat itu sedang ditahan karena perkara yang sedang dihadapi. Pada titik itulah, terdapat isu hukum yang menarik, yaitu 'apakah patut orang yang sakit dilakukan penahanan?'. Meskipun, secara yuridis-formal tidak menjadi permasalahan, akan menjadi persoalan ketika dihadapkan pada 'etika'.
Etika dalam konteks ini dibedakan dengan 'Kode Etik'. Perbedaannya terletak pada penilaian masyarakat umum terkait perbuatan itu baik, benar, dan patut. Dengan kata lain, masyarakat yang melakukan penilaian, apakah pantas seoarang aparat menjalankan kewenangan penahanan terhadap diduga pelaku yang sedang sakit?.Â
Berbeda dengan Kode Etik, yang dapat melakukan penilaian hanya mereka-mereka yang ada di dalam badan (instansi) tersebut. Dengan demikian, mungkin saja perbuatan 'saya' benar secara 'kode etik' tetapi belum tentu benar secara 'etika'.
Etika mengambil peran pada titik ini. Mengingat, bahwa proses hukum pidana itu langsung bersentuhan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai Kemanusiaan disini dikaitkan dengan 'Mutu' Manusia tersebut. Ya, Mutu seorang aparat penegak hukum dipertaruhkan selama proses peradilan pidana. Apakah ia sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia terhadap manusia dalam kehidupan kemanusiaan. Patut untuk direnungkan.
Subjek hukum yang kedua bernama Herman (39). Fenomena ini juga menjadi perhatian publik, karena terjadi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum. Bahkan, tindakan itu menjadi penyebab Herman meninggal dunia. Dunia penegakan hukum kembali tercoreng. Tetapi, awan hitam masih menyelimuti dunia penegakan hukum kita. Dengan kata lain, bukan menjadi hal yang tabu.
Fakta yang berkembang di masyarakat, pada saat kejadian Herman tiba-tiba dijemput oleh orang yang tidak dikenal. Tetapi, baru diketahui ternyata Herman ditangkap oleh Anggota Polresta Balikpapan. Herman ditangkap, karena diduga melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan.
Keesokan harinya keluarga mendapat kabar, bahwa Herman telah meninggal dunia. Ada indikasi terjadi tindak kekerasan dalam diri korban (Herman). Keluarga langsung melaporkan kejadian ini, baik kepada Propam Polda Kalimantan Timur, maupun kepada Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Kalimantan Timur.
Hal yang patut disayangkan dan menjadi pertanyaan publik, kenapa penegakan hukum pidana selalu disertai dengan tindakan kekerasan? Apakah memang seperti itu dan seharusnya begitu? Dengan tegas jawabannya tidak!
Penegakan hukum pidana atau dapat disebut criminal justice process
(proses peradilan pidana), secara yuridis-formal mengacu pada KUHAP. KUHAP kita sudah meninggalkan tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian. Dulu pada waktu masih zamannya menganut HIR, tindakan-tindakan seperti itu dinilai merupakan hal yang wajar karena konsepsinya menggunakan pendekatan 'law enforcement'. Â
Konsep pendekatan 'law enforcement' lebih mengedepankan pada keberhasilan penegakan hukum pidana. Meskipun, keberhasilan tersebut diperoleh dengan cara-cara melanggar hukum dan hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi dari Tersangka.
Sekarang, KUHAP telah meninggalkan cara pendekatan itu dan beralih pada pendekatan konsep due process of law (proses hukum yang adil). Konsep pendekatan ini mengedepankan pada penghargaan hak-hak asasi dari Tersangka. Dahulu Tersangka itu seolah-olah menjadi 'Objek' dalam proses peradilan pidana. Sekarang, seharusnya sudah diberlakukan juga menjadi 'Subjek'.Â
Konsep itu juga dapat dilihat bahwa di dalam proses peradilan pidana, dikenal adanya asas persamaan di depan hukum (equality before the law), asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), dan Tersangka wajib didampingi Penasihat Hukum dalam setiap pemeriksaan. Itu membuktikan bahwa proses peradilan pidana sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Tetapi, faktanya di lapangan masih terjadi seperti itu. Dimana letak persoalannya. Ya, terletak pada sumber daya manusianya masing-masing.
Ada saran dari Komnas HAM untuk merevisi materi kurikulum pendidikan Polri. Harus ada pendidikan tentang Hak Asasi Manusia. Bahkan, meminta supaya Komnas HAM juga masuk dalam pola pendidikan Polri, baik di Akpol maupun di SPN. Solusi yang cukup bagus dari Komnas HAM.
Sedikit tambahan solusi dari Penulis dalam merevisi kurikulum pendidikan itu, yakni dengan menambahkan mata kuliah 'etika' dan 'moralitas'. Khusus penambahan mata kuliah itu, didasarkan bahwa penegakan hukum pidana langsung bersentuhan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ada persoalan etika di sana. Dengan kata lain, memahami ilmu hukum pidana, baik hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, tidaklah cukup. Harus ada ilmu bantu sebagai pedomannya juga.
Â
Etika dan Moralitas sangat tepat sebagai pemandu aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Mengingat, manusia yang menjadi aparat penegak hukum adalah manusia-manusia pilihan. Ya, terpilih dari proses panjang yang sudah dilewati. Semoga mereka sadar akan hal itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H