Dengan demikian, Hakim telah menjatuhkan sanksi pidana kepada ZA. Meskipun, bentuk sanksinya bukan sanksi penjara atau denda yang banyak kita ketahui selama ini. Perlu menjadi perhatian, bahwa sanksi penjara dan denda merupakan bentuk-bentuk sanksi dari jenis sanksi pidana. Dengan kata lain, masih banyak bentuk sanksi dari sanksi pidana. Misalnya, sanksi pidana mati dan pidana kurungan.
Jika kita mau konsisten dengan dasar-dasar filosofis dan teoretis pemidanaan (philosophy & theory of punishment), melihat dengan bentuk sanksi pembinaan dalam lembaga. Maka, seharusnya ini termasuk dalam bentuk sanksi dari jenis sanksi tindakan (treatment / maatregel).Â
Dikatakan demikian, karena hakikat dari jenis sanksi tindakan ialah lebih pada bersifat mendidik, bukan menderitakan seperti sanksi pidana. Hal ini yang masih rancu di dalam setiap peraturan perundang-undangan di luar KUHP, terkait bentuk-bentuk sanksi dari jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan.
Perjalanan hidup seorang manusia di dunia ini, tidak akan terhenti sebelum ia meninggal. ZA yang masih berusia 17 tahun, harus menjalani sesuatu yang tidak enak di dalam kehidupannya, yakni menjalani sanksi pidana dengan berada di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Keadaan tersebut harus dijalani, karena perbuatannya yang menghilangkan nyawa orang lain dan ia harus mempertanggungjawabkannya di depan hukum.
Putusan ini dirasakan 'tidak adil' oleh Terdakwa, kerabat, dan bahkan masyarakat pada umumnya. Itulah sering dikatakan oleh beberapa Pakar Hukum Pidana, bahwa 'hukum pidana itu bagai mengiris daging sendiri'.Â
Ya, sangatlah kejam. Dikatakan demikian, karena barang siapa yang terkena hukum pidana, maka ia tidak enak tidur, tidak enak makan, tidak enak menjalani kehidupan, dan bahkan tidak enak-enak lainnya. Yang merasakan tidak enak tersebut, tidak hanya Pelaku. Tetapi, kerabat pelaku dan beberapa masyarakat merasakan, betapa tidak enaknya hukum pidana tersebut.
Menjadi persoalan di sini ialah terkait masa depan pelaku. Meskipun, kita tidak tahu apa yang kelak terjadi pada masa depan seseorang. Tetapi, penulis di sini hendak menyampaikan sedikit gagasan yang berkaitan pasca Putusan ZA ini.
Kita semua banyak mengetahui, bahwa banyak peraturan-peraturan yang bersifat administrasi yang berkaitan dengan lowongan pekerjaan, membatasi seseorang yang 'mantan narapidana' tidak bisa untuk melamar pekerjaan tersebut. Misalnya, di dalam penerimaan CPNS yang diadakan oleh Negara, juga membatasi terkait itu.
Keadaan ini yang cukup aneh, jika dilihat dari perspektif filsafat hukum, bahwa hukum harus mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan (eudominia). Pertanyaan selanjutnya, mengapa hukum administrasi yang melakukan pembatasan tersebut juga bersandarkan pada sanksi hukum pidana yang sudah dijalani ? Apakah dirasakan kurang adil, atau kurang berat sanksi hukum pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku ? Sehingga, hukum administrasi masih menjatuhkan sanksi dengan bentuk pembatasan terhadap lowongan-lowongan pekerjaan tersebut.
Seharusnya, hukum administrasi tidak etis bersandarkan pada sanksi hukum pidana yang sudah dijalani. Artinya, jika dilakukan pembatasan seperti tersebut, maka ia mendapatkan 'double sanction' atas perbuatannya. Hal ini yang tidak dapat dibenarkan dari perspektif ilmu hukum. Selanjutnya, hukum pidana itu bersifat ultimum remidium.Â
Ia (hukum pidana) sebagai pengobat terakhir untuk menanggulangi suatu kejahatan. Artinya, jika obat terakhir itu sudah diterapkan, dengan pelaku menjalani sanksi pidana, maka setelah itu kehidupannya normal kembali. Tidak seharusnya ada pembatasan-pembatasan kehidupan yang berkaitan dengan 'status mantan narapidana'.