Dongeng dari kalangan etnis Melayu terekam dan tercatat dalam perpustakaan, sebab cerita dongengnya, ada orang yang menulisnya dalam Bahasa Indonesia. Sementara dongeng-dongeng yang diceritakan dalam penduduk etnis Tionghoa, tidak terdapat dan terekam dalam Perpustakaan.
Dikarenakan ceritanya dalam Bahasa Hakka dan barangkali tidak ada penulis sastra yang menuliskannya ke dalam Bahasa Indonesia. Dongengnya hanya berupa cerita dari mulut ke mulut dalam bahasa Hakka di kalangan penduduk Tionghoa Belitung. Lantas dongeng-dongeng ini pun tidak diketahui di luar penutur Bahasa Hakka.
Padahal, bila dituliskan dalam bahasa Indonesia, ia akan memperkaya dunia sastra, khususnya sastra daerah Pulau Belitung dan bisa pula menambah kekayaan kesusastraan nasional.
Bahkan bisa menambah kekayaan kesusastraan dunia. Seperti dongeng Seribu Satu Malam asal Bagdad.
Nah, salah satu dongeng penduduk Tionghoa Belitung dan  barangkali di luar Belitung juga adalah dongeng "Anjing Langit Makan Bulan". Dalam Bahasa Hakka disebut "Thian Keu Sit Nyiet".
Setelah anak-anak duduk rapih di kursi kayu masing-masing di teras, lantas Ibu pun mulai berdongeng:
"Di langit ada bulan, ada bintang-bintang yang terang, ada awan-awan, ada angin, ada makluk hidup lainnya seperti naga, anjing langit  dan lain-lain".
"Di langit sana, mereka hidup damai, saling menolong, saling menyayangi dan mereka saling mengasihi, walau kadang kala ada anjing langit yang agak nakal".
"Di langit sana sangat indah dan mempesona disebut Galaxy"
"Pada suatu ketika terjadi Gerhana Bulan, ketika dilihat dari bumi seperti seekor anjing warna hitam, sedang memakan sang rembulan"
"Itu adalah anjing langit, yang nakal memakan sang rembulan" lanjut Ibu.