Mohon tunggu...
Kurnia Ibrahim
Kurnia Ibrahim Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa BKI UIN Raden Mas Said Surakarta

Bermusik, Penyimak Sosial,

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jalan Akal di Sudut "Kereta Sosial"

21 April 2023   17:49 Diperbarui: 21 April 2023   18:15 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

           

            “Saya Kiaracondong mas” jawab si Bapak dengan tersenyum

Obrolan itu, mengawali aliran obrolan lainnya. Selama perjalanan, bapak ini banyak bercerita mulai dari asal daerahnya, sampai memohon maaf dan maklum bila mungkin sedikit mengganggu kenyamanan penulis selama perjalanan karena anaknya (duduk diantara si Bapak dan penulis) memiliki gangguan mental.

           “Mohon maaf ya mas… kalo nanti agak kurang bikin nyaman sampean,anak nya memang kurang setengah” ucap si Bapak dengan gesture tangan mengisyaratkan anaknya kurang waras.

“Nggih,Pak. Mboten nopo-nopo…” Balas penulis dengan senyum ramah

Selepas banyak bercerita, kami kembali “mendiamkan diri” untuk beristirahat. Selain karena malam yang sudah semakin sunyi, penumpang lain juga beristirahat (tidur). Mungkin bagi diri penulis, momen ini adalah momen keemasan karena penulis dapat kembali fokus merenung dan berpikir bebas selama perjalanan. Kembali bernostalgia akan banyaknya kenangan perjalanan di masa lalu dan mengkomparasikannya dengan kondisi perjalanan sekarang. 

Jika boleh sedikit bercerita didalamnya, Masa tahun 2011 kebawah, moda transportasi kereta api begitu sesak ramai dan cukup beresiko. Kereta ekonomi selalu sering overload hingga banyak penumpang yang duduk di lantai – lantai gerbong sampai depan pintu keluar kereta api. Itupun masih dikatakan mendingan daripada banyak penumpang yang tetap nekat dan akhirnya berakhir duduk di atap gerbong kereta api. Sangat ekstrem dan beresiko.

 Tak hanya itu, masa itu juga kereta api banyak dihuni pedagang asongan yang lalu lalang menjajakan jualannya. Mulai dari nasi pecel,klanting,nasi ayam,minuman dingin, bahkan hingga penjual mainan (penjual favorit penulis di masa itu). 

Semua itu dijajakan dari satu gerbong depan ke belakang dan berbalik ke gerbong depan lagi. Adapun dari mereka, memiliki cara untuk menjajakan produk jualannya. Cara itu cukup menarik bagi penulis karena mereka akan membagikan produk – produk jualannya pada setiap penumpang, dan akan putar balik untuk mengambil lagi serta menanyakan apakah penumpang ada yang tertarik membeli. Bagi penulis, hal – hal tersebut sangat membekas dan hal itu juga yang membuka mata social penulis yang mungil semakin lebih luas dan bebas. 

Orang tua saya juga memberikan gambaran bagaimana kehidupan social manusia harus selalu berlangsung untuk saling memudahkan manusia lain. Saat kita menjadi penumpang berdiri atau duduk dilantai gerbong, banyak dari penumpang di setiap perjalanan membagi kursi duduknya setidaknya untuk penulis yang masa itu masih bocah. Begitu juga dengan orang tua penulis. Ada begitu banyak memori indah yang penulis terus munculkan dalam kepala selama perjalanan berlangsung. Hingga pada akhirnya, penulis memusatkan seluruh kerja pikiran pada perenungan – perenungan jalan berakal disudut kereta social.

Saat penulis tak secakap sekarang, orang tua penulis cukup sering membawa penulis untuk pulang kampung. Setidaknya minimal sebulan sekali. Selama bepergian (baik berangkat maupun pulang) kereta selalu menjadi layaknya arena penampakan social yang beragam. Tentu saja demikian, toh namanya juga moda trasportasi public kan? Akan tetapi, ada yang menarik dari itu semua di masa lalu. Momen itu terjadi ketika kereta kami sedang behenti di sebuah stasiun yang mana seberangnya adalah perkebunan dan rumah warga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun