Mohon tunggu...
Kurnia Ibrahim
Kurnia Ibrahim Mohon Tunggu... Seniman - Mahasiswa BKI UIN Raden Mas Said Surakarta

Bermusik, Penyimak Sosial,

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jalan Akal di Sudut "Kereta Sosial"

21 April 2023   17:49 Diperbarui: 21 April 2023   18:15 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah dari kawan – kawan manakala sedang dalam perjalanan entah itu disaat menuju tempat kerja, sekolah, kampus, rumah saudara atau sejawat, atau yang lainnya, kawan – kawan pembaca tak pernah berhenti mempekerjakan otak untuk selalu berpikir akan suatu hal?

Bisa jadi kita selalu memikirkan akan sesampainya disana apa yang harus pertama kita lakukan, atau ketika dalam perjalanan kita membayangkan sesuatu hal (baik menyenangkan ataupun tragedy) terjadi di depan mata kita, hingga yang paling ringan adalah kita memikirkan sesuatu yang jenaka dan mungkin tak sadar kita tertawa tergelak selama perjalanan hingga mungkin pengguna jalan yang lain bertanya – tanya kebingungan dengan diri kita kala itu. 

Meskipun tidak seperti itu, kemungkinan juga kita pernah sedikit bernostalgia tentang objek dalam perjalanan kita, yang mana hal itu mengingatkan pada suatu hal dalam momen kehidupan kita, atau bahkan kita berpikir begitu dalam dan tenggelam sehingga pada momen sepersekian detik kita seakan terbawa momen itu dalam alam bawah sadar akal kita disaat kita pun sadar bahwa kita sedang dalam perjalanan. Pernahkah? Ya, penulis cukup yakin bahwa 90% dari kawan-kawan pembaca pernah demikian baik sengaja maupun tidak sengaja. 

Bagi penulis, teruntuk kita sebagai manusia yang berakal, apa yang kita lakukan akan hal seperti diatas adalah sebagaimana kita menjadi manusia yang berfungsi sesuai kemampuan yang diberikan oleh Sang Khaliq akan makna manusia yang merupakan ciptaan-Nya yang paling sempurna. 

Bahkan seorang filsuf Perancis pun, Rene Descartes, menyatakan sesuatu hal yang bagi penulis  menjadi faktor X bagi manusia itu sendiri. Cogito Ergo Sum (aku berpikir, maka aku ada) menjadi sebuah falsafah kehidupan yang sangat eksistensialis dan konstruktif dimana manusia sejatinya akan mem-beradakan dirinya ketika manusia itu sendiri berpikir. Sehingga, kecil rasanya bahwa manusia tidak bereksistensi dalam partikel yang sangat mendasar dan penuh rahmat, yaitu akal.

 Berbicara mengenai akal pikiran itu sendiri, ada banyak definisi yang diberikan padanya baik dari para ahli, maupun dari para “normies” seperti kita. Bagi penulis pribadi, akal adalah senjata ampuh nan efektif untuk bergerak dalam ruang sempit maupun luas. Akal seakan menjadi sesuatu yang mengubah sesuatu lainnya dalam pergerakan yang bisa saja mengarah pada hal destruktif,progresif dan juga imajinatif. Mungkin bagi penulis, akal ini adalah representasi dari sepotong lirik senandung harmonic karya Jason ranti,  Kita abadi yang fana itu waktu (Dalam lagu “Lagunya Begini, Nadanya Begitu”). 

Akal menjadi moda transportasi menuju keabadian bagi manusia yang meskipun kelak, fisik tak lagi muda, retorika tak lagi rasional, melamun dan pelupa, akan tetapi buah akal daripada kita dimasa lalu akan menjadikan kita abadi dalam fananya waktu yang begitu terbatas. Kembali pada retorika di paragraf sebelumnya, Penulis kala itu sedang dalam perjalanan menaiki kereta. Jarak yang ditempuh cukup jauh, waktu tempuhnya kurang lebih 5 jam perjalanan.

Itu saja baru sampai stasiun. Jika sampai rumah emak (panggilan saya pada mbah putri) total ada sekitar 6,5 jam perjalanan. Sepanjang malam perjalanan, penulis selalu bernostalgia dengan jalur – jalur perjalanan yang membuat diri penulis merenung. Tak hanya itu, kebetulan posisi duduk penulis saat di kereta, penulis bersebelahan dengan orang tua bersama anaknya yang memiliki gangguan mental. 

Awalnya, kami cukup canggung ya normalnya manusia lain yang tidak kenal dan belum pernah bersua. Namun, kran obrolan mulai terbuka ketika si Bapak dari orang tua anak itu bertanya pada penulis. Mungkin hanya sekadar basa basi karena kita duduk dalam kursi penumpang yang sama.

            “Tujuan mana mas?” Kata si Bapak

            “Saya Stasiun Banjar, Pak. Bapak tujuan mana?” Sahut penulis yang juga balik bertanya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun