Mohon tunggu...
Kurnia Dewi
Kurnia Dewi Mohon Tunggu... Lainnya - IRT

Semua untuk Allah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membabat Habis Korupsi Harus dari Akarnya

3 Juni 2023   06:56 Diperbarui: 3 Juni 2023   06:56 2231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KPK dalam Renstra 2011-2015 menjelaskan ada empat kriteria grand corruption: (1) melibatkan pengambil keputusan terhadap kebijakan atau regulasi; (2) melibatkan aparat penegak hukum; (3) berdampak luas terhadap kepentingan nasional; (4) kejahatannya berlangsung sistemik dan terorganisir.

Grand corruption kadang muncul akibat kongkalikong antara pengusaha dan para pengambil keputusan atau pembuat kebijakan.

Ketiga: Political Corruption. Political corruption (korupsi politik) terjadi ketika pengambil keputusan politik menyalahgunakan wewenangnya dengan memanipulasi kebijakan, prosedur, atau aturan demi keuntungan diri atau kelompoknya. Keuntungan ini bisa berupa kekayaan, status atau perpanjangan masa jabatan. Jenis-jenis political corruption adalah penyuapan, perdagangan pengaruh, jual beli suara, nepotisme, atau pembiayaan kampanye.

Political corruption pun melibatkan orang-orang di level tinggi penyelenggara negara yang main mata dengan pengusaha. Political corruption juga sangat berpotensi terjadi ketika anggota legislatif merangkap sebagai pengusaha. Mereka kemudian memanipulasi institusi politik untuk memengaruhi pemerintahan dan sistem politik demi kepentingan perusahaannya. Undang-undang dan regulasi disalahgunakan, tidak dilakukan secara prosedural, diabaikan, atau bahkan dirancang sesuai dengan kepentingan mereka.

Selain untuk memperkaya diri sendiri dan mempertahankan jabatan, political corruption juga biasa dilakukan untuk mengumpulkan dana bagi pemenangan parpol atau dirinya pada pemilihan berikutnya. Uang hasil korupsi ini kemudian digunakan untuk melakukan money politic, yaitu menyogok rakyat, agar bisa terpilih kembali (Lihat: KPK.go.id, 11/1/2023).

*Membabat Korupsi dari Akarnya*

Semua kasus korupsi di atas, baik petty corruption, grand corruption maupun political corruption, terjadi dalam sistem demokrasi saat ini.

Tentu tidak mudah memberantas ketiga jenis korupsi di atas dalam sistem demokrasi. Pasalnya, demokrasi, yang secara teoretis mengklaim kedaulatan rakyat, dalam tataran faktual tidaklah demikian. Dalam praktiknya, kedaulatan rakyat sebagai 'ruh' demokrasi  selalu dibajak oleh segelintir para pemilik modal atau oleh elit penguasa yang didukung oleh para pemodal. Inilah yang terjadi di banyak negara yang menerapkan demokrasi, termasuk di negeri ini.

Alhasil, negara yang menerapkan demokrasi, dalam praktiknya tak lebih merupakan negara 'kleptokrasi'; negara yang dikuasai 'para maling'. Pasalnya, di negara-negara demokrasi, yang selalu memiliki kuasa adalah segelintir orang yang 'bermental maling'. Merekalah yang telah 'mencuri' atau 'merampas' kedaulatan rakyat dan mengubahnya menjadi kedaulatan elit wakil rakyat, elit politik dan elit para pemilik modal.

Dengan realitas sistem demokrasi semacam ini, jelas korupsi tak akan pernah berhenti, bahkan bisa makin menjadi-jadi, sebagaimana saat ini.

Karena itu solusi mendasarnya adalah dengan mencampakkan sistem demokrasi saat ini. Lalu diganti dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tak hanya di hadapan manusia di dunia, tetapi juga di hadapan Allah SWT di akhirat kelak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun