Si bungsu Mardawiahlah yang siap. Dia kemudian dibaringkan. Di atas kepalanya ada dukun Salamah duduk bersila. Najamiah memegang tangan kirinya, di sisi kanan ada Sapitri. Sedangkan untuk kedua kakinya masing-masing dipegang oleh Bapak dan suami Sapitri. Ibu mereka tampak ketakutan melihat adegan yang akan terjadi, hanya mengintip di balik pintu.
Dukun Salamah meminta Mardawiah memejamkan mata, mengatur pernapasannya untuk lebih santai. Lalu mulai merapalkan jampi-jampi yang tak bisa ditangkap pendengaran, kecuali gerak bibir yang cepat. Satu sapuan telapak tangan ke bagian wajah membuat Mardawiah kehilangan kesadaran diri.Â
Satu sapuan yang sama, Mardawiah mulai bergerak seperti cacing kepanasan. Tangannya terkepal kuat, orang-orang yang memeganginya merasakan sendiri kerasnya tubuh Mardawiah sudah seperti kayu. Gigi Mardawiah mulai begemeretak tampak sedang memendam amarah. Roh jahat itu benar-benar telah masuk ke dalam tubuhnya.
"Siapa namamu?" Dukun Salamah mulai bertanya. Tetapi tak dijawab, Mardawiah menggeram, mencoba berontak namun tak bisa.
Karena enggan bicara, dukun Salamah meminta suami Sapitri untuk menekan bawang merah yang telah dikupas ke jempol kaki Mardawiah. Seketika itu juga Maradawiah yang kerasukan roh jahat membuka mulut. "Panas!!! Panas!!! Jangan siksa saya begini, ohh! Jangan siksa saya!!!"
Sedikit lebih tenang ketika bawang merah itu dijauhkan darinya.
"Saya akan telus menyiksamu jika kamu tidak membelitahu siapa dilimu."
"Kamu tidak perlu tahu siapa saya." Lalu Mardawiah teriak kesakitan oleh bawang merah itu kembali bekerja pada kukunya.
Agak alot, sampai semua orang yang menahan tubuh Mardawiah bercucuran keringat, sebab Mardawiah selalu ingin melepaskan diri.
"Kenapa kamu membikin putih lambut Najamiah? Apa memang yang telah dilakukan padamu? Kamu tega melihatnya punya lambut lusak begitu, hah?"
Mardawiah terus menggeram beberapa saat, lalu bicara, "Saya membencinya. Tak ada orang yang paling saya benci kecuali dia."