Hujan awet sampai tengah malam, di dalam kelambu Marliang terbangun. Bukan karena berisiknya hujan menubruk atap seng, melainkan ada sentuhan pada payudarannya. Sempat mengira adalah perbuatan bayinya. Tetapi bahkan bayi itu tak bersuara, dan jelas sekali yang terasa di putingnya bukanlah mulut mungil sang bayi. Yang terlihat kemudian saat matanya mulai lebar adalah sosok berkepala besar, dan lamat-lamat memerhatikan dalam keremangan, tahulah dia siapa pemilik kepala itu.
Dua hari sebelumnya, sampailah Marliang di rumah Uak Beli. Kira-kira jam empat sore, bersama tiga anak perempuannya, termasuk seorang bayi dalam gendongannya. Kedatangan mereka adalah kejutan bagi Uak Beli, tampak semringah berlari-lari kecil ke jalan depan rumah menjemput mereka.
Melihat wajah Uak Beli, mata Marliang berkaca-kaca, tiba-tiba teringat mendiang bapaknya, Januk. Baginya tak ada lagi sosok di dunia ini yang punya banyak kemiripan dengan bapaknya selain Uak Beli.
Uak Beli langsung menggendong anak tengah Marliang yang belum pandai betul berjalan. Serta memegang tangan si sulung yang memasang wajah murung nan pucat, setelah berkali-kali muntah sepanjang perjalanan di atas mobil.
Istri Uak Beli dan dua anak perempuannya menyambut mereka dengan senang hati. Kecuali Kasimin. Satu-satunya orang di rumah itu yang tak senang dengan kedatangan Marliang. Sejak mereka turun dari mobil, Kasimin yang berada di dalam kamar, memasang wajah kesal saat mengintip dari jendela.
Kebenciannya kepada sepupunya itu mulai dipelihara sejak lima tahun yang lalu. Adalah masa dimana Kasimin menemani Uak Beli jauh-jauh datang ke kampung halaman Marliang. Setelah mendapat kabar bapak Marliang sakit keras: beliau sangat ingin bertemu dengan saudaranya itu.
Di tengah-tengah bapaknya yang semakin lemah, Marliang yang masih sembilan belas tahun malah  berbuat ulah memalukan. Dia sudah seperti gadis sinting yang tak punya kasih sayang sama sekali kepada orang tua. Para tetangga ramai-ramai datang menjenguk, Uak Beli dan Kasimin senantiasa berada di sisi si sakit, diam-diam Marliang malah kabur dari rumah.
Kepergiannya itu baru diketahui pagi harinya, tatkala ibunya masuk ke dalam kamar namun tidak menemukan Marliang. Lemari pakaian dalam keadaan terbuka, isinya teracak. Tahulah ibunya beberapa potong pakaian Marliang yang dia kenali sudah tak ada, ransel serta barang-barang di atas meja rias raib.
Kabar itu tentu sangat mengejutkan: membikin darah mendidih sampai ubun-ubun. Orang-orang tak habis pikir, bagaimana bisa Marliang kabur dari rumah padahal bapaknya sedang sakit parah. Uak Beli sangat geram, apalagi Kasimin.
Ke mana Marliang kabur?Â
Diketahuilah dua hari kemudian. Ternyata Marliang berada di desa sebelah. Tepatnya di barak pangkalan pekerja perusahaan tambang pasir dan batu. Marliang di salah satu kamar barak itu, tak lain adalah kamar pacarnya. Lelaki itu bernama Aman Saragi, seorang sopir truk. Hubungan mereka sangat ditentang oleh kedua orang tua Marliang, terutama bapaknya.
Saat Kasimin bersama rombongan tiba di sana untuk menjemput Marliang, amarahnya sudah berkobar seperti nyala api, tak berpikir panjang lagi segera menghunjamkan bogem mentah ke wajah Aman Saragi, berkali-kali mendarat sempurna. Mulut Aman Saragi berdarah. Kondisinya bisa lebih parah dari itu seandainya orang-orang tidak cepat melerai.
Keadaan semakin buruk kemudian ketika Uak Beli mencoba menyeret Marliang keluar kamar, namun Marliang menoak. Kekeh bertahan di kamar itu. Uak Beli sempat menamparnya, barulah Marliang membuka mulut, menguak apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya.
Rupanya dia telah hamil, anak dalam kandungannya adalah darah daging Aman Saragi. Seperti ada petir tersesat di dalam telinga ketika Uak Beli mendengar keterbukaan Marliang itu. Campur aduk yang dia rasa, bahkan matanya berkaca-kaca, menjelma menjadi paman yang kejam memukuli Marliang tak peduli ramai orang di luar. Betapa dia sangat meyayangkan Marliang yang masih begitu muda bisa hamil oleh seorang duda yang dua kali dari umurnya.
Uak Belilah yang pertama kali membisikkan prahara Marliang kepada saudaranya. Januk menangis tanpa suara, kesedihan jelas sekali tergambar di wajahnya. "Saya lebih baik mati daripada melihat satu-satunya anak saya menikah dengan lelaki macam begitu," tutur Januk.
Sekeras apa pun penolakan, kendati seluruh makhluk di bumi tak memberi restu. Kenyataannya ada janin dalam perut Marliang, dan pengakuannya betapa sangat mencintai Aman Saragi. Pernikahan tetap dilakukan, mengingat kabar itu sudah tersebar menjadi buah bibir warga. Jika urung dinikahkan padahal kondisi Marliang sudah jelas: kehamilannya bukan rahasia lagi, sama saja memelihara aib. Uak Beli menjadi wali di pernikahan yang sangat sederhana itu, dilangsungkan di rumah imam masjid setempat.
Belum lagi sempat Marliang melihat wajah bapaknya, menyampaikan permohonan maafnya. Dalam perjalanan ke rumah, disaat yang bersamaan Januk menemui ajalnya, detik-detik memilukan begitu hanya ada istri dan Kasimin di sisinya. Tangis memecah kemudian, semakin pecah seperti paduan suara ketika Marliang, Aman Saragi bersama Uak Beli tiba di rumah. Hanya jasad bapaknya yang bisa dia peluk. Jasad yang tidak mungkin lagi bisa diajak bicara, bisa mendengar tangis dan maafnya, serta melihat kesedihannya.
Tidak seperi Uak Beli yang mudah berdamai dengan noda hitam masa lalu Marliang. Apalagi selang satu tahun kematian Januk, istrinya juga dipanggil ke sisi Tuhan. Marliang telah menjadi yatim piatu. Uak Beli sangat iba terhadap kemenakannya itu. Sadar kepada siapa lagi Marliang meminta perhatian orang tua jika bukan kepadanya. Makanya setiap Marliang berkunjung, dia selalu menyambut dengan baik.
***
Malam pertama di rumah Uak Beli, suasana yang semula baik lagi ramai berubah menjadi kesedihan. Semua bermula ketika Marliang mulai terbuka perihal kedatangannya tanpa Aman Saragi. Dia sungguh bingung tak tahu harus membawa diri ke mana, kecuali ke kediaman Uak Beli setelah Aman Saragi menjatuhkan talak kepadanya.
"Buatlah rumah tanggamu baik, selagi itu masih bisa diperbaiki. Jangan langsung berpikir perceraian adalah jalan keluar. Walau bagaimana, tetap pikirkan anak-anakmu," tutur Uak Beli.
"Tidak, Uak! Hati saya sudah mantap ingin pisah. Tidak sekali ini kami ribut. Sikapnya jadi sangat berubah. Istri mana yang tahan hidup dengan suami macam dia, baru ingat rumah setelah tengah malam, mabuk pula serta suka marah-marah. Untung-untung jika dia tidak punya wanita peliharaan di luar sana," ucap Marliang matanya berkaca-kaca. "Uak belum melihat banyak lebam di tubuh saya karena perbuatannya." Sampai di sini air mata Marliang tidak terbendung lagi.
Kasimin yang mendengar obrolan di ruang tengah itu, segera memunculkan dirinya dari balik pintu kamar. Dan berkata agak keras, "Itulah mengapa dulu bapakmu memilih mati, daripada melihat dirimu kawin dengan laki-laki laknat sepertinya."
Semua pandangan tertuju pada Kasimin, kecuali Marliang yang tertunduk, air matanya semakin berlinang. Kasimin belum selesai, "Apa yang terjadi padamu saat ini adalah balasan atas perbuatanmu dulu-dulu."
Memang sejak insiden di masa lalu itu, Kasimin tidak pernah lagi menunjukkan sikap baik terhadap Marliang. Dingin, itu yang selalu ditampakkan wajahnya. Bahkan kepada anak-anak Marliang pun mempertahankan sikap begitu, apalagi kepada Aman Saragi. Malam itu adalah kemarahan terakhir yang dipertontonkan kepada Marliang, selanjutnya dia tidak bisa begitu lagi.
Kasimin membantah turut prihatin mendengar kabar talak yang dilayangkan Aman Saragi. Hanya dia yang tahu apa yang sebenarnya dia rasakan tatkala mendengar pengakuan Marliang mengenai prahara rumah tangganya. Seolah-olah kabar itulah yang dia inginkan sejak dulu dan sudah lama dia nanti-nantikan. Sehingga dia jadi punya pandangan yang berbeda kepada Marliang.
Hari-hari selanjutnya, setiap melihat Marliang di dalam rumahnya, entah itu menyapu lantai, bermain-main dengan anaknya, atau adegan di meja makan saat makan bersama, Kasimin diam-diam terus memerhatikan sepupunya itu. Bawaannya ingin mendekati Marliang berterus-terang akan perasaannya kini: meminta maaf atas sikap buruknya dipelihara selama ini.
Tibalah di malam itu, bersamaan dengan hujan deras awet sampai larut malam. Orang-orang rumah sudah pada terlelap. Bergitupula dengan Marliang, di ruang tengah depan televisi tempatnya menggantung kelambu, tidur bersama anak-anaknya. Sedangkan di dalam kamar, Kasimin gelisah, insomnia telah menyerangnya. Antaraksi hujan di luar bukanlah magis yang membuatnya mudah lelap. Bayangan Marliang terlalu menguasai benaknya. Sampai kemudian dia tak bisa menahan diri untuk tidak keluar kamar.
Kasimin sempat menatap wajah Marliang selama beberapa saat dari luar kelambu, sebelum kemudian menekan sakral, keadaan jadi remang-remang. Â Seolah-olah Marliang mampu mendengar apa yang dia katakan, "Kepada sayalah kamu seharusnya menikah, sebagaimana keinginan orang tua kita dulu," mengiringi langkah kakinya pelan-pelan mendekati kelambu itu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H