Kasimin yang mendengar obrolan di ruang tengah itu, segera memunculkan dirinya dari balik pintu kamar. Dan berkata agak keras, "Itulah mengapa dulu bapakmu memilih mati, daripada melihat dirimu kawin dengan laki-laki laknat sepertinya."
Semua pandangan tertuju pada Kasimin, kecuali Marliang yang tertunduk, air matanya semakin berlinang. Kasimin belum selesai, "Apa yang terjadi padamu saat ini adalah balasan atas perbuatanmu dulu-dulu."
Memang sejak insiden di masa lalu itu, Kasimin tidak pernah lagi menunjukkan sikap baik terhadap Marliang. Dingin, itu yang selalu ditampakkan wajahnya. Bahkan kepada anak-anak Marliang pun mempertahankan sikap begitu, apalagi kepada Aman Saragi. Malam itu adalah kemarahan terakhir yang dipertontonkan kepada Marliang, selanjutnya dia tidak bisa begitu lagi.
Kasimin membantah turut prihatin mendengar kabar talak yang dilayangkan Aman Saragi. Hanya dia yang tahu apa yang sebenarnya dia rasakan tatkala mendengar pengakuan Marliang mengenai prahara rumah tangganya. Seolah-olah kabar itulah yang dia inginkan sejak dulu dan sudah lama dia nanti-nantikan. Sehingga dia jadi punya pandangan yang berbeda kepada Marliang.
Hari-hari selanjutnya, setiap melihat Marliang di dalam rumahnya, entah itu menyapu lantai, bermain-main dengan anaknya, atau adegan di meja makan saat makan bersama, Kasimin diam-diam terus memerhatikan sepupunya itu. Bawaannya ingin mendekati Marliang berterus-terang akan perasaannya kini: meminta maaf atas sikap buruknya dipelihara selama ini.
Tibalah di malam itu, bersamaan dengan hujan deras awet sampai larut malam. Orang-orang rumah sudah pada terlelap. Bergitupula dengan Marliang, di ruang tengah depan televisi tempatnya menggantung kelambu, tidur bersama anak-anaknya. Sedangkan di dalam kamar, Kasimin gelisah, insomnia telah menyerangnya. Antaraksi hujan di luar bukanlah magis yang membuatnya mudah lelap. Bayangan Marliang terlalu menguasai benaknya. Sampai kemudian dia tak bisa menahan diri untuk tidak keluar kamar.
Kasimin sempat menatap wajah Marliang selama beberapa saat dari luar kelambu, sebelum kemudian menekan sakral, keadaan jadi remang-remang. Â Seolah-olah Marliang mampu mendengar apa yang dia katakan, "Kepada sayalah kamu seharusnya menikah, sebagaimana keinginan orang tua kita dulu," mengiringi langkah kakinya pelan-pelan mendekati kelambu itu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H