/1/
Hari kesebelas di Marano, mayatnya ditemukan mengambang di sungai. Sebelum kejadian itu, pertanyaan-pertanyaan dari mulut warga sampai kepadanya.
"Mengapa kau memilih meninggalkan kehidupanmu di kota?"
"Kehidupan macam bagaimana yang hendak kau cari di sini?"
Akan tetapi lidahnya selalu kelu untuk berterus terang. Lebih baik ia mendiamkan atau memelesetkan pembicaraan ke lain hal daripada menguarkan kebohongan.
"Jika kebahagiaan adalah pengharapanmu, maka kau tidak akan pernah menemukan itu. Kampung kami sepi, betapa banyak rumah-rumah kosong ditinggal penghuninya. Kami yang mampu bertahan sejauh ini di samping karena tanah kelahiran kami, juga tidak menaruh keyakinan bahwa keadaan kami akan jauh lebih baik bila kami ikut pindah bersama mereka."
Terdapat seorang wanita mengisi beberapa hari terakhir kehidupannya. Orang-orang pun tahu kedekatan mereka. Oleh karena itu seorang pemuda datang kepada wanita itu di malam yang hujan ketika Marano larut dalam pusaran kesunyian. Ia mengetuk pintu cepat dan keras.
"Aku tidak akan melayani siapa pun malam ini. Kau bisa kembali esok malam," kata si wanita setelah membuka pitu belum jelas ia tahu siapa sosok laki-laki di hadapannya. Ketika lekat-lekat ia memberikan perhatian, wanita itu tak bisa menyembunyikan kejutnya. "Kaukah itu? Aku sama sekali tak menduga kau datang ke rumahku malam ini. Masuklah! Masuklah! Aku bisa saja berubah pikiran jika kau memang menghendaki aku menemanimu malam ini."
Si pemuda menurut saja, ia melangkah masuk. Tanpa basa-basi wanita itu menggandeng tangannya ke dalam kamar. Duduk bersisian di tepi ranjang.
"Kedatanganku..." pemuda itu tampak canggung. Si wanita tersenyum memberikan usapan lembut ke dadanya yang bidang dibalut kemeja. "Kau agak gugup. Aku paham. Aku sudah beberapa kali melayani pemula sepertimu."
Kentara sekali wanita itu belum selesai berucap, tetapi disela oleh pemuda itu, "Ini lain. Aku menemuimu berbeda dari yang kau kira. Aku hendak bertanya padamu tentang dia."