Sinar itu telah redup beberapa tahun ke belakang, tapi tiba-tiba terangnya kembali mencuat ke permukaan. Rasa ingin bertemu mendesak tak dapat dibendung lagi. Tentang itu enggan kuberterus-terang kepada tunanganku, alasanku; masih ingin lebih lama di Sulawesi, ingin ke Toraja.Walaupun sedikit alot, ia berdamai dengan perubahan rencanaku. Ia kembali ke Yogyakarta sedangkan aku meninggalkan Makassar menuju ke utara.
Kenangan mencatat, Pandara Allo melakukan pendekatan kepadaku dengan cara beda. Bukan seikat mawar wangi atau puisi indah yang hambur dari mulutnya, seperti yang dilakukan Chairil mahasiswa sastra. Konon katanya, malam-malamnya akrab dengan perenungan menyesapi secangkir kopi dan berbatang-batang rokok hanya untuk mencipta puisi, dan sudah ada ratusan puisi memenuhi buku catatannya. Puisi itu adalah ungkapan cinta dari lubuk hatinya paling dalam kepadaku; perempuan yang sangat Chairil cintai.
Ada tujuh kali adegan dalam waktu beberapan bulan, menyeretku ke taman kampus lantas membacakan puisinya itu dengan khusyuk sambil membawa seikat mawar. Cara-cara yang sangat klise, aku menolak. Lebih jauh aku tidak mencintainya sama sekali.
Kemudian ada mahasiswa teknik mesin bernama Naldo. Pemain sepak bola yang sangat populer di universitas kami. Pada sebuah laga uji coba kampus kami melawan tim papan atas liga, kami mahasiswa berbagai fakultas berbondong-bondong menyesaki stadion. Pada pertandingan tersebut Naldo berhasil mencetak gol penentu kemenangan di menit-menit akhir. Satu stadion bergemuruh oleh itu. Naldo merayakan golnya berlari mendekati tribun sambil membuka bajunya, banyak orang terutama suporter wanita histeris menyaksikan penampakan tubuh kekar Naldo, berotot.
Sangat tidak kusangka, saat itu pula Naldo mengarahkan telunjuknya kepadaku sambil tersenyum di tengah-tengah nafasnya bergemuruh. Kemudian sepuluh jarinya kompak membentuk simbol 'hati'. Ketika itu juga aku merasa orang yang paling spesial satu stadion selama beberapa detik.
Malamnya telepon Naldo sampai, mencoba menjelaskan tentang perayaan golnya itu, tak lain adalah sebuah simbol yang membahasakan tentang ungkapan cinta darinya kepadaku. Aku tak ingin memberikan harapan, malam itu juga kutegaskan jawaban penolakan. Kepopulerannya serta kepiawainnya bermain sepak bola bukan alasan bagiku untuk kemudian menghadirkan cinta. Itu adalah dua ruang berbeda. Aku perempuan rumit tidak ingin gara-gara itu lantas kupaksakan menghadirkan cinta.
Dalam rentang beberapa semester kemudian, persisnya setelah aku menyelesaikan sidang skripsi, hendak meninggalkan ruang sidang itu, di mulut pintu Pandara Allo menungguku. Kami tidak begitu akrab sebelumnya. Hanya sekali-kali bertemu, paling sering terjadi saat acara bedah buku  rutin yang diadakan oleh komunitas literasi di kampus. Pandara Allo kadang-kadang bertindak sebagai moderator atau juga pembedah. Aku kerap meluangkan waktu hadir sebagai peserta.
Dari situ aku tahu sedikit  profil Pandara Allo, mahasiswa filsafat berasal dari Sulawesi. Jauh-jauh berkuliah di Yogyakarta dengan bantuan beasiswa pemerintah. Merupakan seorang pembaca ulung. Dari obrolan teman-teman sesama peserta bedah buku, katanya dia khatam Das Kapital-nya Karl Marx. Juga, masih menurut mereka, tak ada mahasiswa lain di kampus kami yang lebih baik menjelaskan filsafat hegelian daripada Pandara Allo.
Aku tentu terkejut dengan keberadaan Pandara Allo di mulut pintu. Apa yang membuatnya sehingga menyambangiku. Padahal kami sama sekali tidak pernah terlibat obrolan kecuali saat acara bedah buku, aku mengajukan tanya dan ia memberikan penjelasan, sebatas itu saja. Tapi katanya ia butuh waktuku tidak lebih dari lima menit. Ada sesuatu yang tidak penting-penting amat ia katakan kepadaku. Aku dibuat tertawa mendengarnya.
Kami turun satu tingkat dari lantai posisi kami semula. Kami berhenti di tangga. Ia membersihkan serbuk pasir di salah satu permukaan anak tangga. Lalu aku dizinkan duduk. Sedangkan dia tetap berdiri, kakinya bertumpu di anak tangga tiga tingkat di bawahku, sambil bersandar di dinding. Dalam posisi seperti itu, kepala kami sejajar.
"Jadi apa yang ingin kau katakan?" itu yang kuucapkan tanpa basa-basi mengawali.
"Singkat saja," ucapnya tenang, "Kau sangat cantik." Aku hampir tertawa.
"Ya, sudah sering kudengar. Terutama dari laki-laki yang hendak menyatakan cintanya kepadaku."
Ia tidak peduli perkataanku, "Kecantikanmu termasuk seper-sepuluh juta persen di dunia," kali ini aku menahan tawa sambil mengernyitkan dahi memikirkan seper-sepuluh juta persen itu persisnya berapa. Pikiran dan ekspresiku dibuyarkan oleh suaranya yang kembali terdengar setelah mengambil jeda, "Artinya jika di dunia ini ada enam milyar perempuan, maka kau masuk ke dalam daftar top enam. Nama-nama seperti Gal Gadot, Â Raisa Andriana, Katrina Kaif, Cansu Tosun dan Dilraba Dilmurat, bersanding dengan namamu. Kau sungguh cantik bukan?" Aku kembali tertawa.
Tangan Pandara Allo kemudian bergerak cepat menyelinap ke dalam totebag yang menggantung di pundak kirinya. Ia mengeluarkan tiga buku. Semua karangan Franz Magnis Suseno; Pemikiran Karl Marx, Dalam Bayang-bayang Lenin dan Dari Mao ke Marcuse. Buku itu adalah pekerjaan rumah darinya kepadaku. Aku mesti membaca ketiga buku itu, sesuai urutan yang telah kusebutkan. Â Lebih jauh ia menegaskan; haram bagiku melangkahi halaman; membuka halaman yang belum dibaca, pokoknya harus berurutan. Setelah itu ia pergi tanpa sepatah kata lagi. Sedangkan isi kepalaku jubel oleh tanda tanya.
Aku membutuhkan tiga minggu menyelesaikan ketiga buku itu. Setiap minggu sore aku menaamatkan satu buku. Setiap satu buku selesai aku menemukan tulisan tangan dari Pandara Allo di halaman paling belakang pada lembaran kosong. Buku pertama ditulisnya satu kalimat, "Aku mencintaimu," hanya itu saja. Di buku kedua; "Aku ingin jadi kekasihmu." Dan pada buku terakhir tertuang kalimat ini, "Maukah kau menjadi kekasihku (tanda tanya besar)." Pandara Allo selalu punya cara membuatku tertawa. Inilah yang kukatakan mengapa cara pendekatannya beda.
Setelah itu aku mencarinya di kampus, jauh-jauh datang ke fakultasnya. Tapi aku tidak menemukannya. Dari penuturan teman-temannya, sudah berminggu-minggu tidak aktif kuliah. Ia terlalu sering turun ke jalan melakukan demo atau diskusi tentang buku, kuliahnya terkesan diacuhkan. Itu menurut teman-temannya sesama mahasiswa filsafat.
"Aku selalu merasa freudian di antara teman-teman yang lain, tetapi jika berhadapan dengan Pandara, aku ciut dan tidak percaya diri membicarakan tentang Sigmund Freud. Dia selalu setingkat di atas kami."
"Sososk unik, misterius juga ambisius. Kita perlu memerlukan banyak bahan sebelum menantangnya berdebat. Dia mahasiswa kere tapi dianggap keren banyak teman-teman."
Ucapan ini dari mereka yang paling menggelitik, "Agaknya dia homo. Dia tidak pernah mengencani perempuan, atau menjalin hubungan serius dengan perempuan. Kerabat dekatnya juga membenarkan soal itu." Aku tentu tidak sepakat. Aku punya bukti kuat yang kupegang kalau Pandara Allo sama seperti kebanyakan laki-laki, memiliki ketertarikan kepada lawan jenis.
Aku mendapatkan nomor ponselnya berkali-kali kuhubungi, tetapi tidak pernah tembus. Kusambangi tempat tinggalnya, menurut induk semang dia sudah lama hengkang. Periode yang sibuk bagiku mencari ke sana kemari. Aku membutuhkan pertemuan kembali dengannya. Ingin kuminta ketegasan dari kalimat-kalimat yang ia tulis di buku-buku itu. Lebih jauh aku ingin mendiskusikan dengannya buku-buku Franz Magnis Suseno itu. Pandara Allo seolah-olah hilang dari peradaban, tak ada kabar lagi. Aku mulai menyerah mencarinya ketika lulus; meraih gelar sarjanaku.
Ketika disibukkan dunia kerja sebagai redaktur di salah satu penerbit buku indie, bayang-bayang Pandarra Allo kucoba kuhilangkan di dalam kepala. Aku harus bisa menerima kenyataan yang ada di hadapan mata. Sosoknya hanya satu kepingan kecil di dalam semesta kenanganku yang besar. Dan tentangnya tertimbun oleh kenangan lain seiring waktu yang berjalan maju, terlebih ketika aku sudah bertunangan dengan Faisal, seorang novelis yang karya-karyanya sering dinantikan kaum muda, sama halnya Boy Chandra dan Fiersa Besari.
Hari itu aku menemaninya ke Makassar, ada acara festival melibatkan tunanganku sebagai narasumber, kami empat hari di sana. Dua hari pertama aku disibukkan dengan kegiatan Faisal. Dua hari berikutnya kami menyambangi Bulukumba, ada Tanjung Bira yang sayang untuk kami lewatkan mumpung ada di Sulawesi Selatan.
Karena aku di Sulawesi, teringatlah satu nama; Pandara Allo. Seolah embusan angin membawa kenangan tentangnya merasuk ke dalam ruang-ruang ingatanku. Sehingga aku kekeh untuk menunda kepulangan. Kukatakan kepada Faisal aku hendak ke Toraja, padahal aku menyambangi kampung halaman Pandara Allo, di bagian barat Sulawesi. Aku masih mengingat alamatnya, kutahu ketika masih  kuliah dulu. Suatu perjudian memang, bagaimana kalau aku tidak bertemu dengan Pandara Allo? Sempat terlintas pertanyaan itu dalam perjalanan panjangku di atas bus malam.
Usahaku membuahkan hasil. Belasan jam setelah meninggalkan Makassar, sampailah aku di sebuah desa enam puluh kilometer di utara Mamuju. Setelah sempat bertanya kesana-kemari, akhirnya aku benar-benar menginjakkan kaki di sebuah rumah panggung, rumah Pandara Allo. Kolong rumah itu diubah menjadi ruang baca, sesak oleh buku.
Aku melihat kembali sosok itu. Rambutnya ikal panjang sebahu, jenggot, kumis dan cambang saling menyatu, belum lebat betul. Permukaan kulitnya semakin cokelat oleh matahari. Ia terkejut melihatku pertama kali ketika aku menaiki rumahnya dan berdiri di depan pintu. Wajahku sudah begitu familiar olehnya, sekalipun ada jarak waktu yang bisa dibilang panjang sehingga pertemuan kembali terjadi, ia tidak akan kewalahan mengenaliku.
"Aku seolah mimpi, si cantik ini kembali terlihat olehku." Aku dibuat tertawa karena ucapannya.
"Apakah sekarang masih termasuk top enam di dunia?" candaku.
"Bukan top enam lagi, tapi tiga besar. Di atas Gal Gadot dan Raisa," kemudian ia penasaran bagaimana aku bisa sampai kepadanya. Aku meneceritakan perjalananku ke Makassar bersama tunanganku. Lalu giliranku penasaran dengannya yang tiba-tiba hilang dari kampus, bahkan tak terlihat lagi sama sekali di Yogyakarta.
"Masa-masa yang sulit dalam hidupku," ia memulai, "Beasiswaku dicabut, bukan hanya alasan itu sebenarnya. Di waktu yang hampir bersamaan, bapakku tiba-tiba mengalami serangan jantung dan beliau meninggal. Kami tidak punya orang tua lagi, sementara aku memiliki tiga orang adik perempuan yang masih sekolah, membutuhkan sosok tulang punggung. Dalam situasi macam begitu, aku memutuskan tidak melanjutkan pendidikan. Aku menetap di sini menjadi kakak sekaligus orang tua bagi mereka." Aku tersentuh mendengarnya.
Hari-hari di sana aku seolah hidup dalam dunia Pandara Allo. Mantan mahasiswa filsafat itu, selain bertani juga memproduksi gula aren untuk bertahan hidup bersama ketiga adiknya. Di samping kesibukan itu, ia masih andil mencerdesakan kehidupan orang-orang di sekitarnya dengan rumah bacanya. Aku salut.
Ketika Faisal menghubungiku menanyakan kepulangan. Aku beberapa kali menunda kepulangan; mencari-cari alasan yang bisa ia terima. Pandara Allo pun menyinggung soal kembaliku ke Yogjakarta. "Aku masih ingin lebih lama di sini," ucapanku membuatnya terkejut. Tampak kikuk saat kuucapkan bagian ini, "Kau adalah sinar terang yang pernah redup di dalam hatiku. Sinar itu kembali, semakin terang membutakanku pada yang telah kumiliki saat ini." Pada malam hening itu, kami tidak mempertimbangkan apa-apa lagi, aku menyerahkan tubuhku, dia menyerahkan tubuhnya dalam pelukanku.
Saat aku menulis kisah ini, adalah tujuh bulan setelah pernikahanku dengan Faisal. Aku baru saja melahirkan bayi perempuan yang cantik. Faisal begitu bahagia kehadiran tangis bayi di rumah kami. Melihat Faisal bersama bayi itu justru aku selalu didatangi perasaan bersalah. Namun aku selalu siap dengan skenario terburuk jika sewaktu-waktu datang; jika suatu waktu Fasial menanyakan kebenaran darah di dalam tubuh bayiku.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H