"Singkat saja," ucapnya tenang, "Kau sangat cantik." Aku hampir tertawa.
"Ya, sudah sering kudengar. Terutama dari laki-laki yang hendak menyatakan cintanya kepadaku."
Ia tidak peduli perkataanku, "Kecantikanmu termasuk seper-sepuluh juta persen di dunia," kali ini aku menahan tawa sambil mengernyitkan dahi memikirkan seper-sepuluh juta persen itu persisnya berapa. Pikiran dan ekspresiku dibuyarkan oleh suaranya yang kembali terdengar setelah mengambil jeda, "Artinya jika di dunia ini ada enam milyar perempuan, maka kau masuk ke dalam daftar top enam. Nama-nama seperti Gal Gadot, Â Raisa Andriana, Katrina Kaif, Cansu Tosun dan Dilraba Dilmurat, bersanding dengan namamu. Kau sungguh cantik bukan?" Aku kembali tertawa.
Tangan Pandara Allo kemudian bergerak cepat menyelinap ke dalam totebag yang menggantung di pundak kirinya. Ia mengeluarkan tiga buku. Semua karangan Franz Magnis Suseno; Pemikiran Karl Marx, Dalam Bayang-bayang Lenin dan Dari Mao ke Marcuse. Buku itu adalah pekerjaan rumah darinya kepadaku. Aku mesti membaca ketiga buku itu, sesuai urutan yang telah kusebutkan. Â Lebih jauh ia menegaskan; haram bagiku melangkahi halaman; membuka halaman yang belum dibaca, pokoknya harus berurutan. Setelah itu ia pergi tanpa sepatah kata lagi. Sedangkan isi kepalaku jubel oleh tanda tanya.
Aku membutuhkan tiga minggu menyelesaikan ketiga buku itu. Setiap minggu sore aku menaamatkan satu buku. Setiap satu buku selesai aku menemukan tulisan tangan dari Pandara Allo di halaman paling belakang pada lembaran kosong. Buku pertama ditulisnya satu kalimat, "Aku mencintaimu," hanya itu saja. Di buku kedua; "Aku ingin jadi kekasihmu." Dan pada buku terakhir tertuang kalimat ini, "Maukah kau menjadi kekasihku (tanda tanya besar)." Pandara Allo selalu punya cara membuatku tertawa. Inilah yang kukatakan mengapa cara pendekatannya beda.
Setelah itu aku mencarinya di kampus, jauh-jauh datang ke fakultasnya. Tapi aku tidak menemukannya. Dari penuturan teman-temannya, sudah berminggu-minggu tidak aktif kuliah. Ia terlalu sering turun ke jalan melakukan demo atau diskusi tentang buku, kuliahnya terkesan diacuhkan. Itu menurut teman-temannya sesama mahasiswa filsafat.
"Aku selalu merasa freudian di antara teman-teman yang lain, tetapi jika berhadapan dengan Pandara, aku ciut dan tidak percaya diri membicarakan tentang Sigmund Freud. Dia selalu setingkat di atas kami."
"Sososk unik, misterius juga ambisius. Kita perlu memerlukan banyak bahan sebelum menantangnya berdebat. Dia mahasiswa kere tapi dianggap keren banyak teman-teman."
Ucapan ini dari mereka yang paling menggelitik, "Agaknya dia homo. Dia tidak pernah mengencani perempuan, atau menjalin hubungan serius dengan perempuan. Kerabat dekatnya juga membenarkan soal itu." Aku tentu tidak sepakat. Aku punya bukti kuat yang kupegang kalau Pandara Allo sama seperti kebanyakan laki-laki, memiliki ketertarikan kepada lawan jenis.
Aku mendapatkan nomor ponselnya berkali-kali kuhubungi, tetapi tidak pernah tembus. Kusambangi tempat tinggalnya, menurut induk semang dia sudah lama hengkang. Periode yang sibuk bagiku mencari ke sana kemari. Aku membutuhkan pertemuan kembali dengannya. Ingin kuminta ketegasan dari kalimat-kalimat yang ia tulis di buku-buku itu. Lebih jauh aku ingin mendiskusikan dengannya buku-buku Franz Magnis Suseno itu. Pandara Allo seolah-olah hilang dari peradaban, tak ada kabar lagi. Aku mulai menyerah mencarinya ketika lulus; meraih gelar sarjanaku.
Ketika disibukkan dunia kerja sebagai redaktur di salah satu penerbit buku indie, bayang-bayang Pandarra Allo kucoba kuhilangkan di dalam kepala. Aku harus bisa menerima kenyataan yang ada di hadapan mata. Sosoknya hanya satu kepingan kecil di dalam semesta kenanganku yang besar. Dan tentangnya tertimbun oleh kenangan lain seiring waktu yang berjalan maju, terlebih ketika aku sudah bertunangan dengan Faisal, seorang novelis yang karya-karyanya sering dinantikan kaum muda, sama halnya Boy Chandra dan Fiersa Besari.