"Ahh, kau begitu dicintai kawanku. Aku tidak enak padanya."
"Hei, belum juga aku menjadi istrinya."
"Bisa saja kau akan menjadi istri kawanku."
"Belum tentu aku menerima."
Apakah perempuan sepertiku memang pantas dipersunting olehnya? Kabar tentang keinginannya untuk menikahiku membuat pikiranku runyam. Selama ini laki-laki hanya ingin menikmati tubuhu. Anehnya dia ingin lebih dari itu, dia ingin menikahiku. Padahal di luar sana begitu banyak perempuan yang lebih baik dariku. Aku hanya perempuan hina.
13. Aku gelisah dalam kamar. Kedua mataku sulit terpejam. Berkali-kali aku membaringkan tubuhku tapi tak bisa terelap. Segera aku membuka pintu kamar. Aku harus menemui pelacur itu. Sekaranglah saatnya kusampaikan keinginanku padanya.
14. Beruntung kau tidak melihatku. Apa jadinya jika kau tahu aku baru saja menemui pelacur itu. Bisa dipastikan kau akan menghajarku. Sekalipun aku membisu tentang kedekatanku dengannya, kebenaran tetaplah kebenaran, aku seringkali dilayani perempuan yang kau cinta. Kau berjalan begitu tergesa menerobos pintu masuk bordil. Sampai-sampai kau tidak menyadari kita berpapasan di jalan. Mungkin karena sengaja kututupi wajahku dengan kera bajuku, sehingga kau sulit mengenaliku. Aku kasihan padamu kawan. Lantaran Laila kau jadi aneh.
15. Aku terkejut dengan kedatangannya. Aku jadi kaku. Pura-pura kurapikan rambutku, sembari menunggunya membuka mulut. Dia pun tampak canggung. Lama-lama dia memberanikan diri menggeser duduknya di dekatku. Kami bersampingan di sisi ranjang. Dekatnya kami, aku bisa mencium wangi parfumnya. Tiba-tiba ia menggenggam tanganku, memandang mataku lekat-lekat. Aku bisa melihat matanya yang binar dibalik suasana kamar yang remang. Dia tidak hanya berani menyentuh tanganku, wajah dan bibirku dia cium.
16. Alam tahu aku munafik. Pada kesempatan lain di atas mimbar aku kerap menyuarakan bahaya zina. Pada malam ini aku tidur dengan pelacur yang kucintai. Ketika persanggamaan kami berakhir, aku menyampaikan keinginanku padanya.Â
"Seorang pelacur juga berhak mengecap kebahagiaan," tegasku padanya. Dia malah meletupkan tawanya. "Aku begitu bahagia dengan duniaku ini," timpalnya. Atas permintaanku dia menjelaskan latar belakangnya menjadi pelacur. Alasan yang sangat klise, lagi-lagi karena persoalan ekonomi di negeri ini. Kebutuhan mendesak, dia butuh uang. Tidak punya jalan lain selain menjual diri. Awalnya hanya mencoba, lamalama larut dalam dunia gelap. "Aku akan segera menikahimu, tenanglah!" aku mengusap wajahnya.
17. Kebahagiaan yang dia janjikan padaku ternyata hanya sesaat. Sekarang dia mendekam di dalam bui atas tuduhan pembunuhan. Buah perkawinanku dengannya, menghasilkan dua anak. Aku harus membesarkan anak-anakku seorang diri. Mustahil aku akan kembali di dunia pelacuran lagi, aku sadar diri, aku tidak menarik lagi. Lagi pula insyaf sudah kutanamkan kuat-kuat dalam diriku. Aku memiliki tanggung jawab kepada anak-anakku serta janji setia kepadanya.