"Mereka bercinta?"
"Sepertinya memang begitu. Tapi ini sepertinya saja." Aku melihat raut wajahnya teramat geram. Ada kecemburuan kutangkap dari ekspresinya. Tentu berkecamuk yang dirasakannya. Aku memahami perasaan sakit hatinya, mendapati kenyataan suaminya selingkuh dengan perempuan lain.
Mengenai desahan itu, kutekankan sekali lagi bukanlah bualan semata. Di tengah malam ketika aku menyelesaikan urusan di toilet. Pendengaranku menangkap suara desahan. Jelas sekali itu adalah desahan kenikmatan dari pergumulan cinta yang mereka lakonkan. Kadang iblis iseng menggodaku, kudekatkan telingaku menyentuh dinding, semakin jelas terdengar desahan itu. Ketika iblis breaksi terlalu jauh, maka aku akan tergoda untuk melakukan sesuatu, pikiranku sibuk berfantasi oleh sayup-sayup desahan yang terdengar.
Aku tidak menyampaikan banyak-banyak padanya. Yang kutahu saja tentang suaminya dengan perempuan itu. Aku takutkan bila lama-lama membahas aibnya, aku tergoda untuk menyusupkan kebohongankebohongan di dalamnya. Yang bisa membuat emosinya semakin memuncak. Kan begitu banyak isu yang berembus tidak sesuai keadaan yang sebenarnya. Dari mulut ke mulut senantiasa mengalami penambahan. Sehingga yang sampai pada si pendengar yang lain, tidak murni lagi, melainkan sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Kesaksianku padanya aku menjamin kemurniannya.
Beruntung dia tidak menekanku pertanyaanpertanyaan yang lain. Dia pamit. Bergegas aku mempersiapkan diri sebelum berangkat ke tempat kerja. Tetanggaku itu, dia lebih pagi berangkat ke tempat kerjanya. Andaikan istrinya itu agak cepat datang. Bisa saja mendapati suaminya. Bisa saja mereka adu mulut. Dugaanku, istrinya barangkali mendengar isu perselingkuhan suaminya dari orang lain. Jika tidak begitu, mana mungkin dia mau datang ke tempat ini dan meminta kesaksianku.
Maka terjadilah acara ribut-ribut. Pemandangan pertama yang kudapati setelah pulang kerja adalah perang mulut antara suami istri itu, di ambang pintu. Penghuni kamar yang lain, mengintip dari celah jendela atau membuka pintu sedikit saja, untuk memastikan suara mereka. Memang ribut, penghuni lantai dua pun tak mau ketinggalan untuk mencari tahu perkara apa gerangan yang terjadi.
Aku pura-pura tidak peduli dengan pertikaian mereka. Terkesan cuek, padahal pendengaranku terpasang baik-baik, makian yang dikeluarkan oleh perempuan itu kepada suaminya. Aku sengaja memperlambat tempo jalanku biar tidak buru-buru sampai ke kamar. Begitu pun saat aku di depan kamar, agak lelet aku membuka pintu.
"Kau tak usah banyak alasan. Sudah jelas kalau kau kerap tidur bersama perempuan itu. Kau pikir saya mengada-ada apa? Banyak saksi mata. Apa perlu saya bawakan mereka padamu?" ketus perempuan itu sangat tajam dan keras. Ekspresinya meluap-luap. Kulihat bola matanya seperti ingin meloncat dari dudukannya.
Aku sebenarnya khawatir setelah mendengar tuturannya, jantungku dibuat berdebar. Bagaimana kalau dia menyebut namaku, kalau akulah yang melaporkan semua itu padanya. Buru-buru aku memutar kunci. Kutenggelamkan diriku ke dalam kamar. Pintu sengaja aku biarkan setengah terbuka. Supaya luapan emosi perempuan itu masih bisa ditangkap oleh pendengaranku.
"Laki-laki bejat kau, istri mengharapkan kerja baik-baik malah kesempatan itu dimanfaatkan untuk selingkuh. Sadar usialah! Kau tidak muda lagi. Anak-anak sudah pada besar. Kasihan mereka, ayahnya ternyata memiliki perempuan simpanan." Intonasi perempuan itu masih sama. Sayangnya aku tidak bisa melihat lagi ekspresinya bagaimana.
Suaranya yang besar, tampaknya dia tidak mau peduli didengar oleh penghuni kamar yang lain. Aku yakin mereka pun pada menguping perang mulut keduanya.