Mohon tunggu...
Mawan Sastra
Mawan Sastra Mohon Tunggu... Koki - Koki Nasi Goreng

penggemar fanatik Liverpool sekaligus penggemar berat Raisa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kejadian-kejadian Setelah Bercadar

19 Maret 2019   13:42 Diperbarui: 19 Maret 2019   14:35 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: listverse.com

Keributan pada malam tahlilan Nenek, berdampak Rida tak sering ke rumah lagi. Ia memilih tinggal di Makassar. Setahun sekali ia pulang, saat menjelang idul Fitri. Di situlah kuperhatikan keakraban Rida dengan Ayah ataupun Ibu tidak seperti dulu sebelum Rida memutuskan untuk bercadar. 

Di keluarga besar kami, baik dari Ayah ataupun Ibu tidak seorang pun bercadar. Dan, keputusan Rida untuk mengenakan itu adalah orang pertama di keluarga kami.

Aku benar-benar tidak mengerti polemik bercadar. Mengapa ayah bersikeras menentang Rida? Dan mengapa Rida bersikukuh mempertahankannya? Tentu mereka punya alasan masing-masing. Pertanyaan itu hanya bisa mengawang dalam pikiranku. Tanpa berani mencari tahu jawabannya. Atau meminta pada Ayah, Ibu ataupun Rida untuk menjawabnya. Aku anak perempuan masih belia, tidak seharusnya disibukkan mencari tahu tentang itu. Kalau sudah besar semua juga akan kuketahui. Tapi di sisi lain aku sungguh penasaran.

Kalau Rida datang. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Ia akan mengganti Ibu untuk mengurusi dapur. Aku tahu Rida melakukan itu semata untuk berbakti pada Ibu dan Ayah, walaupun keputusannya bercadar ditentang. Tampaknya Rida tidak ingin gara-gara itu, tidak terjalin lagi komunikasi.

Sebenarnya pembicaraan mereka sangat minim. Mereka saling ngobrol seperlunya saja. Dulu, Ayah paling bawel mewawancari Rida tatkala kembali ke rumah lagi. Bagaimana sekolahnya di Makassar? Rida juga akan menimpalinya tak kalah bawel. Bahkan Rida akan balik bertanya keadaan kebun dan sawah yang dikelola Ayah. Obrolan seperti itu tidak nampak lagi setelah Rida memutuskan bercadar. Suasananya garing betul.

Kegiatan Rida yang lain tatkala berada di rumah, lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Dari balik pintu aku kerap mendengar suaranya yang lirih membaca Quran. Aku juga kerap melihatnya salat di waktu pagi. Dan sesekali ia keluar rumah. Mengunjungi sanak famili.

Sebenarnya aku tidak menginginkan Rida keluar rumah. Karena sering kudengar obrolan orang-orang tatkala melihat Rida bercadar, mereka mengatai perempuan ninja. Paling menyakitkan, mulut mereka teramat ringan bilang Rida teroris. Aku meradang apabila mendengarnya, rasanya aku ingin sekali menonjok mulut-mulut mereka.

Aku memanglah masih belia, namun sudah paham defenisi teroris. Apalagi aku sering mendapati ayah menonton berita teroris di televisi. Aku berani bertaruh kalau Rida bukan teroris. Ia Kakak yang sangat baik dan penyayang. Ia menyayangi Ayah, Ibu, Nenek dan aku satu-satunya adiknya.

Saat Rida pulang ke rumah. Aku sering menggeleda tasnya. Dan di sana tidak kutemukan barang-barang yang membahayakan, seperti bahan peledak. Lantas mengapa mulut mereka begitu mudah mengucapkan Rida adalah teroris? Rida bukan orang jahat, dia tidak pernah membunuh orang. Dia tidak memiliki komplotan untuk berbuat jahat. Yang ada hanyalah teman-teman perempuannya. Semuanya juga baik-baik.  

Di kampung tempat tinggalku ini memang aneh. Mengapa kukatakan aneh. Orang-orang di sini tampaknya belum terlalu memahami perbedaan. Bukan berarti aku sudah betul-betul memahami perbedaan itu sendiri. Kerap kali kusaksikan keributan-keributan kecil di sini. Gara-gara tidak bisa menerima perbedaan, misalnya tentang suku dan juga agama.

Orang yang beragama lain sering dicerita begini dan begitu. Terkesan mengejek kepercayaan mereka. Aku tidak sepakat perbuatan seperti itu. Di sekolah, guru agamaku kerap menegaskan pada kami pentingnya toleransi, tatkala ada salah seorang siswa mengejek siswa lain yang berkulit hitam.

Bahkan yang paling membingungkan, mereka seagama dengan kami. Soal Rida yang bercadar juga dijadikan pembicaraan yang membuat kupingku muak bila mendengarnya.

Aku teringat salah satu pamanku malam itu datang ke rumah. Ia bertemu dengan Ayah. Aku sedang belajar tidak jauh dari posisi mereka. Sedangkan Ibu setelah membuatkan air, ia duduk nyaman di depan televisi. Saat itu Rida sedang di Makassar.

Percakapan Ayah dan pamanku awalnya menyinggung soal hasil panen. Namun lama-lama pembahasan mereka menjurus ke Rida. "Leluhur kita mewariskan Islam pada anak cucunya seperti yang kita anut sekarang ini. Mereka tidak pernah mengajarkan perempuannya harus bercadar. Lantas kenapa kau biarkan Rida bercadar? Kau ini bapaknya, harusnya lebih tegas ke dia?" begitulah kata Paman.

"Aku sudah bosan berdebat dengannya. Percuma saja aku katakan begini begitu padanya. Dia takkan menurut. Ia bercadar punya alasan. Punya pegangan. Yang mungkin membuat kita yang pemahaman agamanya dangkal tidak berkutik," Ayah membalas.

"Jelas-jelas itu keliru," ucap Paman.

"Keliru bagaimana?"

"Bagaimana kalau anakmu itu menganut aliran sesat?"

Setelah mendengar kalimat itu dituturkan Paman. Aku buru-buru merapikan bukuku dan masuk ke kamar. Aku tahu pembahasan mereka akan semakin intim. Rasanya aku tidak perlu menguping pembicaraan mereka terlalu jauh. Aku sudah cukup tahu mereka mengatai kakaku perempuan ninja dan teroris, tidak perlu lagi dituding menganut aliran sesat. Aku benci mendengar tuduhan yang tidak berdasar seperti itu.

Saat Rida baru pulang dari Makassar. Setiap kepulangannya pasti ada buah tangan yang ia bawa untuk orang-orang di rumah. Ayah biasanya dibelikan peci atau sarung, Ibu baju gamis, sedangkan aku mendapatkan mukenah serta jilbab baru.

"Apakah Adek juga berfikiran kalau kakakmu ini penganut aliran sesat?" Rida bertanya seperti itu padaku. Aku tidak mengerti apakah ia bercanda atau tidak. Lagi pula aku ini anak perempuan masih belia. 

Aku tidak cukup mengerti tentang aliran sesat. Yang kutahu kalau perbuatan seperti itu adalah hal yang melenceng dalam agama.
Aku kikuk tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Rida hanya tersenyum memandangku. Sebenarnya ingin sekali kuaduhkan perihal orang-orang yang menudingnya teroris lantaran keputusannya untuk bercadar, tapi kuurungkan niatku.
Aku kasihan melihatnya. Rida orang baik. Lantas kenapa orang-orang beranggapan miring perihal keputusannya itu. Apa alasan Ayah dan Ibu menentang keinginan anaknya sendiri? Ataukah Rida yang keliru dalam soal ini?

Kulihat pancaran bola Rida manakala memandangku, sepertinya ia ingin mencurahkan semua keresahannya yang mungkin saja membelunggu dalam dirinya. Di keluarga ini, aku merasakan Rida merasa jadi orang asing. Untuk itu ia perlu teman untuk berbagi. Aku masih terlalu anak-anak untuk mengetahui sekelumit permasalahan yang ia alami. Tidak mungkin ia mengaduh ke keluarga lain. Mereka kompak tidak membenarkan keputusannya bercadar.

***

Nenek yang sudah berumur 80 tahun mengembuskan nafas terakhirnya pada hari itu. Seluruh sanak famili berkumpul di rumah kami. Prosesi pemakamannya berjalan khidmat. Namun tiga malam setelah kematian Nenek. Terjadi keributan di rumah kami. Rida menentang keras pengadaan tahlilan. Namun suara Rida tidak diindahkan orang-orang. Tahlilan Nenek tetap diadakan.

"Apa yang salah dari tahlilan? Bukankah itu adalah doa. Apakah mendoakan orang yang telah meninggal adalah sesuatu yang dilarang dalam agama? Lalu bagaimana dengan Leluhur kita? sedari dulu mereka telah melakukannya," ucap Ayah tegas. Kulihat Rida hanya menunduk. Ia bisa saja membalas perkataan Ayah. Rida punya pegangan. Sepertinya ia tidak ingin memperpanjang keributan.

Ayah yang sudah meradang dengan ulah Rida yang menentang tahlilan. Ucapannya tak bisa ia kontrol lagi. Kata-kata yang keluar dari mulutnya kurasa tidak perlu diucapkan pada anaknya. "Dasar aliran sesat!" umpat ayah. Dikatai seperti itu, air mata Rida menitik sendirinya.

"Islam yang kau anut sekarang. Bukanlah Islam yang kami tahu selama ini. Bukan yang diajarkan para leluhur," ayah melanjutkan ucapannya. Rida mangkir dari hadapan ayah. Sejak insiden itulah semua jadi berubah. Ayah tampak tak acuh pada Rida lagi, Ibu juga ikut-ikutan. Rida lebih memilih menghabiskan hari-harinya di kota Makassar.

Aku yakin andaikan ia tidak memandang Ayah dan Ibu sebagai orang tuanya, ia tidak akan kembali ke kampung ini lagi. Kuingat ucapannya waktu itu padaku.

"Dek, kau tahu mengapa Kakak tidak sering-sering datang ke rumah ini lagi?" Saat itu kami berada dalam kamarnya. Aku hanya menggeleng memandangi wajah cantiknya tanpa ada cadar yang menjadi sekat. "Mau Kakak beritahu Adek?" lanjut Rida. Aku mengangguk.

"Lingkungan di sini sudah tidak cocok dengan Kakak lagi. Lantaran Kakak bercadar mereka seenak hati menganggapku penganut aliran sesat dan teroris. Kakakmu ini tidak sesat apalagi teroris, itu yang harus Adek tahu. Kalau di luar sana Adek mendengar anggapan miring seperti itu jangan dipercaya. Itu hanya fitnah," ucap Rida begitu lembutnya. Aku memeluk tubuhnya. Rasanya aku ingin menumpahkan air mataku dalam pelukan itu.

Ramadan masih sangat jauh. Namun aku sangat merindukan Rida. Di rumah, kami hanya bertiga. Kadang aku terngiang suaranya. Kadang pula aku membayangkannya sedang berada di dapur memasak dan menghidangkan makanan di meja makan.

Hari itu aku dikejutkan dengan tangisan ibu di dalam kamar. Di ruang tengah ayah juga menitikkan air mata tatkala menyaksikan berita di televisi. Apa yang diberitakan membuatku terhenyak kaget, sulit aku mempercayainya. Densus 88 mengamankan komplotan teroris di Poso. Salah satu dari mereka adalah perempuan bercadar berinisial R.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun