Kulihat pancaran bola Rida manakala memandangku, sepertinya ia ingin mencurahkan semua keresahannya yang mungkin saja membelunggu dalam dirinya. Di keluarga ini, aku merasakan Rida merasa jadi orang asing. Untuk itu ia perlu teman untuk berbagi. Aku masih terlalu anak-anak untuk mengetahui sekelumit permasalahan yang ia alami. Tidak mungkin ia mengaduh ke keluarga lain. Mereka kompak tidak membenarkan keputusannya bercadar.
***
Nenek yang sudah berumur 80 tahun mengembuskan nafas terakhirnya pada hari itu. Seluruh sanak famili berkumpul di rumah kami. Prosesi pemakamannya berjalan khidmat. Namun tiga malam setelah kematian Nenek. Terjadi keributan di rumah kami. Rida menentang keras pengadaan tahlilan. Namun suara Rida tidak diindahkan orang-orang. Tahlilan Nenek tetap diadakan.
"Apa yang salah dari tahlilan? Bukankah itu adalah doa. Apakah mendoakan orang yang telah meninggal adalah sesuatu yang dilarang dalam agama? Lalu bagaimana dengan Leluhur kita? sedari dulu mereka telah melakukannya," ucap Ayah tegas. Kulihat Rida hanya menunduk. Ia bisa saja membalas perkataan Ayah. Rida punya pegangan. Sepertinya ia tidak ingin memperpanjang keributan.
Ayah yang sudah meradang dengan ulah Rida yang menentang tahlilan. Ucapannya tak bisa ia kontrol lagi. Kata-kata yang keluar dari mulutnya kurasa tidak perlu diucapkan pada anaknya. "Dasar aliran sesat!" umpat ayah. Dikatai seperti itu, air mata Rida menitik sendirinya.
"Islam yang kau anut sekarang. Bukanlah Islam yang kami tahu selama ini. Bukan yang diajarkan para leluhur," ayah melanjutkan ucapannya. Rida mangkir dari hadapan ayah. Sejak insiden itulah semua jadi berubah. Ayah tampak tak acuh pada Rida lagi, Ibu juga ikut-ikutan. Rida lebih memilih menghabiskan hari-harinya di kota Makassar.
Aku yakin andaikan ia tidak memandang Ayah dan Ibu sebagai orang tuanya, ia tidak akan kembali ke kampung ini lagi. Kuingat ucapannya waktu itu padaku.
"Dek, kau tahu mengapa Kakak tidak sering-sering datang ke rumah ini lagi?" Saat itu kami berada dalam kamarnya. Aku hanya menggeleng memandangi wajah cantiknya tanpa ada cadar yang menjadi sekat. "Mau Kakak beritahu Adek?" lanjut Rida. Aku mengangguk.
"Lingkungan di sini sudah tidak cocok dengan Kakak lagi. Lantaran Kakak bercadar mereka seenak hati menganggapku penganut aliran sesat dan teroris. Kakakmu ini tidak sesat apalagi teroris, itu yang harus Adek tahu. Kalau di luar sana Adek mendengar anggapan miring seperti itu jangan dipercaya. Itu hanya fitnah," ucap Rida begitu lembutnya. Aku memeluk tubuhnya. Rasanya aku ingin menumpahkan air mataku dalam pelukan itu.
Ramadan masih sangat jauh. Namun aku sangat merindukan Rida. Di rumah, kami hanya bertiga. Kadang aku terngiang suaranya. Kadang pula aku membayangkannya sedang berada di dapur memasak dan menghidangkan makanan di meja makan.
Hari itu aku dikejutkan dengan tangisan ibu di dalam kamar. Di ruang tengah ayah juga menitikkan air mata tatkala menyaksikan berita di televisi. Apa yang diberitakan membuatku terhenyak kaget, sulit aku mempercayainya. Densus 88 mengamankan komplotan teroris di Poso. Salah satu dari mereka adalah perempuan bercadar berinisial R.***