"Alasan bagaimana pun mencuri tetap saja mencuri. Mencuri demi kebaikan tetap akan salah," tegasnya. "Ah, kau berkata begitu karena tidak sedang di posisi saya dan tidak memahami saya yang sakit ini." Dia tidak tertarik lagi menimpali perkataan saya. Sampai di halte kami tetap saling diam. Bersamaan kami turun.
Tiba-tiba dia berkata begini, "Saya kira akan ada pertemuan kita setelah ini. Saya ingin tahu mengapa kau mencuri buku."
"Sayang sekali kau asing bagi saya. Bagaimana mungkin saya mau berbagi hal penting itu padamu, sementara kita baru juga bertemu."
"Perlu kau tahu, sama sepertimu saya pun juga sakit. Jika kau berkenan, saya mengajakmu makan malam..." dia menyebut tempat dan waktunya. "Saya tidak akan datang," kata saya. "Semoga kau berubah pikiran," balasnya. Kami berpisah. Setelah itu saya melupakannya, menjalani hari esoknya tidak terpikirkan dia sama sekali. Tetapi malam ini, tiba-tiba saya mengingatnya.
***
Di meja makan kami duduk berhadapan. Hanya kami berdua di rumah ini. Dia mengenakan blus hitam, menampakkan lehernya yang jenjang, kulit di dadanya tampak cerah. Lamat-lamat saya perhatikan wajahnya. Dia cantik, rambut hitamnya yang agak ikal, dikuncir kuda, menyisakan sedikit rambut di bagian depan. Dia begitu yakin saya akan berubah pikiran dan memenuhi undangannya.
"Kemarin kau bilang dirimu sakit. Apakah karena kesakitanmu itu sehingga kau nekat mencuri buku?" tuturnya. Terlebih dahulu saya menelan baik-baik makanan yang saya kunyah. "Semua orang punya cara membunuh sakit hati. Mencuri buku adalah cara saya. Terserah kau mau menganggapnya aneh."
Dia sempat-sempatnya membentuk senyum tipis tanpa menampakkan gigi, menghentikan kunyahnya sesaat lalu menelannya. "Menurut saya itu tak aneh sama sekali. Sejatinya pun saya juga perempuan yang sakit. Cara saya membunuh sakit hati, adalah membaca banyak buku. Hanya dengan cara itu saya bisa terhindar dari bayang-bayang masa lalu. Kau tahu, dulu saya berada di rumah sakit jiwa karena sakit yang saya derita." Terhenyak saya mendengarnya. "Kau kenapa kaget begitu? Hei, saya tidaklah gila lagi. Toh, saya telah menemukan cara membunuh sakit hati."
Saya tidak diberi kesempatan menimpalinya, kembali dia melanjutkan, "Akan saya bagi padamu mengapa saya sakit, tetapi  terlebih dahulu kaulah memberitahu saya sakitmu itu." Saya seperti kerbau dicucuk hidungnya, menurut saja apa yang dikatakannya. Â
Sejatinya saya dan Non telah merencanakan pernikahan. Namanya kami manusia, hanya bisa merencanakan tapi tidak punya kuasa untuk menentukan yang terencana akan benar-benar terjadi.
Tanpa pernah saya sangka, pada malam itu melalui saluran telepon. Non memberi pernyataan yang menohok, bagaikan anak panah yang berlari kencang ke tubuh saya menembus ulu hati. Saya tidak mengerti mengapa dia menjadi berubah. "Sekeras apapun kita ingin bersama, di sekeliling kita banyak hal yang akan menjadi penghalang. Itu yang perlu kau ketahui, dan saya harap kau mau menerima keputusan ini," itu tuturan kesekian darinya setelah mulut saya keluh, seolah hilang kemampuan bicara saya.
Kisah saya dengannya saya kira adalah hal lumrah di kehidupan ini. Dua sejoli yang begitu saling mencintai, mereka pada mulanya tak memandang perbedaan agama di antara mereka, tahu-tahu hal ini akan menjadi batu sandungan pada akhirnya. Mau tidak mau saya harus menerima keputusan Non untuk menebang bunga yang bersemi di relung hati. Itulah asal mula sakit hati yang saya rasakan.