Saya tidak tahu siapa wanita itu, undangan makan malam darinya membuat saya ragu untuk hadir. Pada malam Sabtu, di alamat sebuah rumah jam sembilan malam. Kurang lima belas menit lagi. Sementara saya masih bertelanjang dada di dalam kamar. Duduk di bawah jendela mengisap sigaret.Â
Mata dan pikiran saya kompak membawa wajah Non. Asap yang keluar dari mulut dan hidung menari oleh gerakan udara seolah melukis wajahnya. Inilah yang saya tidak suka dari kesendirian dan keheningan, saya tidak bisa menghindari bayang-bayang masa lalu.
Jika saya hanya berdiam di kamar, tentu pikiran semakin nakal tergiring ke hal-hal yang sudah semestinya saya lupakan. Oh, saya tidak ingin terus-terusan seperti ini. Saya bangkit, saya perlu membasuh wajah. Apa salahnya jika saya datang memenuhi undangannya.
Kamis pagi di toko buku. Sejatinya buku tentang Sigmund Freud telah saya masukkan ke dalam lingkar pinggang celana jin yang saya kenakan. Sebagian buku itu ditutup oleh baju kaos, ditambah lagi kemeja biru berkotak-kotak sebagai lapisan luar. Tampak dari luar, orang akan kewalahan menemukan tanda bahwa ada buku yang saya sembunyikan.Â
Saya adalah pencuri buku yang handal. Sebelum datang pada kasir, terlebih dahulu saya mengambil salah satu buku anak. Saya perlihatkan buku anak pada kasir, dia menyebut harga, saya pun membayarnya.
Setelah beberapa langkah meninggalakan toko, berjalan di atas trotoar. Saya mengeluarkan buku di lingkar celana saya. Mengusap permukaannya, keringat menempel. Saya tidak tahu ternyata sejak keluar dari toko, ada wanita asing membuntuti saya. Sebenarnya saya sudah melihatnya ketika di halte. Tetapi saya tidak berpikir macam-macam. Di atas bus pun kami duduk bersebelahan. Ketika itulah saya mulai tidak enak.
Dia kerap memperhatikan buku di tangan saya. Kemudian diam-diam melirik ke arah saya. Kami beradu pandangan. Ada gelagat yang saya baca darinya, bahwa dia ingin berbicara, tetapi tertahan, barangkali menunggu saya untuk memulai semuanya. Tidak akan terjadi pembicaraan kalau begitu, sama saja dia menunggu patung berbicara. Â Begitulah saya, apalagi jika berhadapan dengan orang asing, saya sukar memulai pembicaraan.
Mungkin karena dia kesal, saya yang enggan membuka mulut, akhirnya dia berbicara, "Saya tahu itu buku haram." Tentu saja saya terkejut mendengar kalimatnya. "Ini buku tentang Sigmund Freud, tokoh idola saya. Barangkali kau pernah membaca pemikiran-pemikirannya," saya diam sejenak, tangan saya mengatur posisi kedua buku, buku anak yang tipis saya pindahkan ke atas, "Ini dongeng fabel, sejak kecil saya memang penikmat dongeng. Kau tahu, dahulu sebelum tidur kedua orang tua saya kerap bergiliran membacakan saya dongeng."
Kata wanita itu, "Sepertinya kau mencoba menggiring saya ke arah pembicaraan lain. Kenapa kau tidak berterus terang saja, salah satu dari bukumu adalah haram. Saya melihatmu di toko buku tadi, menyembunyikannya. Membawanya keluar tanpa memperlihatkan pada kasir. Mengapa kau melakukannya?" Saya seperti tertampar mendengar perkataannya. Mata saya yang semula mengarah padanya, saya alihkan ke titik lain. Beberapa detik saya diam.
"Saya kira kau tidak harus ikut campur. Mau saya mencuri semua buku di toko, tidak ada urusannya denganmu." Dia tidak menimpali, hanya diam, sempat saya menangkap ekspresi wajahnya yang tidak suka dengan perkataan saya yang tegas. Bus terus berjalan, tidak banyak penumpang, halte terdekat masih beberapa menit lagi.Â
Saya kembali bersuara, "Saya memang pencuri buku. Pencuri buku yang handal. Tidak hanya di toko buku, tetapi di perpustakaan juga saya melakukan hal yang sama. Kernjingan saya melakukannya. Hasil jeri payah saya, sekarang sudah banyak di kamar saya mendiami rak. Saya bukan orang goblok, yang mencuri buku begitu saja, saya punya alasan untuk membenarkan daripada aksi saya."