"Bapak tidak mau tahu, pokoknya Nak Komar harus menerima beasiswa luar biasa beberapa tahun ke depan. Nak Komar mau berjanji pada Bapak?" Mendengar itu Komar memandang ke arah Pak Limin yang berdiri di sampingnya. Pak Limin mengangguk senyum. "Komar pasti mau, Pak. Iyakan Komar?" ketus Pak Limin. Komar mengangguk ragu.
"Ya. Ini adalah persetujuan kita Nak Komar. Persetujuan Komar dengan Bupati," Bupati tersenyum. Mereka berdua berjabak tangan.Â
"Komar dengar kan perkataan Pak Bupati tadi?" Tanya Pak Limin saat mereka beranjak dari hadapan Bupati.
"Iya, Pak."
"Apa?"
"Saya harus berprestasi di sekolah selanjutnya. Supaya saya menerima beasiswa luar biasa."
"Selain itu?" Tanya Pak Wahyu. Komar hanya diam, mengingat kembali perkataan Bupati.
"Jadi Komar harus melanjutkan sekolahnya di kabupaten kita. Terserah itu di mana. Itu syarat yang lain."
Bagi Komar pribadi, syarat kedua itu memberatkan. Lantaran komar sudah terlanjur mengisi formulir pendaftaran di salah satu pondok pesantren tradisional. Pesantren itu terletak di kabupaten lain. Demi persetujuan dengan Bupati, pada akhirnya Komar rela mengurungkan niatnya untuk lanjut di pesantren. Setelah musyawara besar dengan keluarganya. Padahal orang tuanya sangat menginginkan Komar mendalami ilmu agama. Bahkan Komar pun ingin menjadi seorang dai.Â
Pada akhirnya Komar lanjut di SMA, demi persetujuan dengan bupati. Dan, di sana Komar berprestasi. Ia kerap kali mengharumkan nama sekolah pada berbagai perlombaan. Tiba saatnya ujian kelulusan, hasil ujian Komar gemilang. Kembali namanya tercantum dalam seratus besar kabupaten.Â
Tapi sayang, bersamaan dengan itu. Keadaan politik di kabupaten sedang panas-panasnya. Puncaknya Bupati sebagi calon petahana gagal mempertahankan kedudukannya. Ia kalah dari calon lain. Pergantian Bupati, tentu lain program kerja. Sebagian dilanjutkan ada juga yang dihilangkan. Tentang kebijakan beasiswa luar bisa tidak diberlakukan lagi. Komar gigit jari, hanya bisa mengelus dada. Mau membrontak bagaimana? Memang itulah keadaan dan kenyataannya.