Ang Hien Hoo dan Siauw Giok Bie
Oleh Abdul Malik
APRIL 2014, Kota Malang merayakan hari jadinya yang ke-100 tahun. Begitu banyak nama dan peristiwa kebudayaan yang patut dicatat sebagai dokumentasi seni dan budaya, salah satunya Wayang Orang Ang Hien Hoo.
Adalah Kwee Kiat Siang yang lebih akrab disapa Bu Rudy yang menjadi pintu masuk saya memasuki lorong waktu Kota Malang seabad lalu. Di rumahnya yang teduh di JL.Taman Dieng V no.11 Malang, Bu Rudy, baru merayakan ulang tahun ke-72 pada 15 November lalu, fasih mengudar sejarah Wayang Orang Ang Hien Hoo. Bukan hanya sekarung kisah, namun dilengkapi dengan data-data kliping yang tekun dilakoninya selama 19 tahun dan dijilid rapi. Puluhan album foto, video dan koleksi kostum  wayang orang tersimpan rapi di dua kamar rumahnya.
 Selain foto Bung Karno bersama pemain Wayang Orang Ang Hien Hoo, saya mendapat pinjaman beberapa buku yang menarik menurut saya, salah satunya  Peringatan Satu Abad Perkumpulan Sosial Panca Budhi (d/h Ang Hien Hoo) di HUT Yang ke-101 (1910-2011).  Di lembar ketiga dari buku bersampul merah tersebut termuat foto dan nama-nama Ketua Ang Hien Hoo dari masa ke masa. Ada 9 foto dan nama, dimulai dari  Tjioe A Hang (tahun awal-1923) hingga Dr.dr.Sugiharta Tandya, Sp, PK (2005-2013).
Meskipun tidak terlalu tebal, isi buku tersebut memberikan informasi menarik untuk mengenal Wayang Orang Ang Hien Hoo.Â
Untuk melengkapi informasi tentang Wayang Orang Ang Hien Hoo, saya merambah dunia internet.
Saya bandingkan dengan tulisan dari Siauw Tiong Djin "Mengenang Srikandi Indonesia: Tan Kiep Nio -- Siauw Giok Bie," yang diunggah di milis tionghoa-net, Senin, 22 Juli 2013 pukul 10.42 WIB. Di artikel tersebut disebutkan bahwa Siauw Giok Bie pernah menjadi Ketua Ang Hien Hoo.
Setelah membaca artikel tersebut, saya memeriksa kembali buku Peringatan Satu Abad Perkumpulan Sosial Panca Budhi (d/h Ang Hien Hoo). Tak ada nama dan foto Siauw Giok Bie. Saya lalu kontak via email dengan penulis artikel tersebut yang juga keponakan Siauw Giok Bie untuk mendapatkan klarifikasi. Â "Tentang posisi ketua di Ang Hien Hoo Malang: Siauw Giok Bie menjadi ketua organisasi tersebut dari tahun 1961-an hingga 1965", jawaban Siauw Tiong Djin. Terlampir foto Siauw Giok Bie yang diambil tahun 1980 di Koln Jerman, dan alamat email Siauw Ting Soan (Wance), salah satu putri Siauw Giok Bie.
Saya pun segera kontak Siauw Ting Soan. "Alm Siauw Giok Bie, meskipun nama dan photonya tidak lagi dimasukkan buku sebagai orang yg pernah menjabat sbg ketua Ang Hien Hoo Malang, tetapi fakta sejarah berkata lain. Sebelum beliau menjabat sebagai Ketua , sebenarnya telah cukup aktif bergerak dalam Ang Hien Hoo. Lalu beliau diangkatpada 4 Desember 1958 -- 1965," jawab Siauw Ting Soan yang saat ini berada di Bali.
Data dari Siauw Ting Soan akurat karena di buku Peringatan Satu Abad Perkumpulan Sosial Panca Budhi (d/h Ang Hien Hoo), Ketua Ang Hien Hoo dari tahun 1958 hingga 1965 kosong. HAN TJING TJAY (1956-1958), dan KANG SOE BING (1965-1977). Ketua Ang Hien Hoo tahun 1958-1965 kosong.
Siauw Giok Bie, lahir di Kampung Kapasan Surabaya, 27 Februari 1918. Kampung Kapasan adalah satu kawasan dengan mayoritas penduduk keturunan Tionghoa yang memiliki sejarah yang unik.
Sejumlah sosok manusia Indonesia yang terlibat dalam kancah politik dan perjuangan memerdekakan Indonesia serta proses membangun Indonesia sebagai satu bangsa yang beragam berlandaskan pada konsep "multiculturalism" ("berbeda-beda tetapi satu bangsa") seperti Siauw Giok Tjhan dan adiknya Siauw Giok Bie, Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien lahir dan tumbuh besar dari Kapasan.
Di kampung ini juga pernah tinggal seorang wartawan pejuang Liem Koen Hian dan dari Kapasan yang mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di sekitar tahun 1929-1930, partai kaum peranakan pertama dan terbesar serta bervisi bahwa Indonesia perlu merdeka dan sebagai cikal bakal dari BAPERKI bervisi bahwa Indonesia merdeka untuk membangun bangsa dengan manusia-manusia yang bersikap hidup yang menghormati, tulus, toleran dan bangga terhadap keanekaragaman budaya yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Siauw Giok Bie menikah dengan Tan Kiep Nio. Memiliki lima anak, semuanya lahir di Malang. Mereka pernah tinggal di Jalan Dempo 4 Malang (sekitar tahun 1945-1947, Jalan Kayu Tangan 69 Malang (tahun 1947-1952/53 ) dan Jalan Panderman 8 (tahun 1952/53-1980).
Di zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, rumah kediaman Siauw Giok Bie di Kayu tangan 69 kerap dijadikan markas di mana tokoh-tokoh politik nasional bertemu dan menginap. Di antaranya, Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien, Alimin, Norola, Sukarni, Adam Malik dan Mursalin.
Rumah di Jalan Kayu tangan 69 Malang juga difungsikan sebagai kapsalon dan cafe sederhana, yang ia namakan The Cosy Corner, oleh Tan Kiep Nio istri Siauw Giok Bie. Kedua usaha ini cukup berhasil dan bukan saja mampu mengongkosi penghidupan keluarga yang cukup besar tetapi juga membantu banyak pekerja muda.
Ketika menjadi Ketua Ang Hien Hoo, Siauw Giok Bie dengan latar belakangnya dan visi membangun bangsa Indonesia yang penuh toleransi dan kaya keragaman budaya, mengembangkan sejumlah kegiatan sosial budaya. Dapat dikatakan bahwa pada saat itu mencapai masa keemasan. Ang Hien Hoo resmi terdaftar di Indonesia sebagai Yayasan Sosial Pengurusan Kematian. Selain sebagai Ketua Ang Hien Hoo, Siauw Giok Bie juga menjadi anggota DPR Swatantra Tingkat 1. Juga sebagai Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Nasional (Gaperon).Â
Posisi Gaperon dapat dicatat sebagai "maesenas" dalam banyak kegiatan Wayang Orang Ang Hien Hoo. Nama Ang Hien Hoo pun makin moncer. Tahun 1961 mendapatkan kehormatan diundang ke Istana Negara di hadapan Bapak Presiden RI Bung Karno. Demikian yang tertulis di buku Peringatan Satu Abad Perkumpulan Sosial Panca Budhi (d/h Ang Hien Hoo), 11 September 2011. Dengan dukungan sponsor dari rokok Orong-orong, tahun 1962 Ang Hien Hoo ikut Festival wayang orang di Solo. Tampil bersama 17 kelompok wayang orang dari Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Solo, Kediri, Bandung, Purwokerto dan Pekanbaru. Menggelar pentas keliling di berbagai kota Blitar, Madiun, Nganjuk, Rogojampi, Bali, Surabaya.
Kehidupan Siauw Giok Bie seperti kakaknya dan teman-teman mereka dari Kapasan adalah kehidupan para pejuang kemerdekaan dan aktivis sosial.
Di zaman Belanda Siauw Giok Bie ditahan oleh penguasa Belanda, di zaman Jepang ditahan oleh penguasa Jepang dan di zaman Orde Baru di bawah Soeharto ditahan oleh penguasa tanpa proses hukum.
Di zaman Orde Baru, Siauw Giok Bie yang bersama sejumlah tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia lainnya yang telah berjuang untuk menegakkan keadilan dan membangun bangsa Indonesia yang bermartabat dan multikultural ditahan oleh penguasa selama 13 tahun tanpa adanya bukti apa-apa maupun melalui proses hukum.
Pada saat itu terjadi pelarangan-pelarangan untuk membangun bangsa Indonesia yang multikultural dan penuh jati diri. Penduduk kota Malang hidup dengan penuh ketakutan. Bisa jadi oleh sebab itu dan karena banyaknya penduduk Malang yang pada zaman itu hidup sibuk menyelamatkan diri sendiri, membuat adanya lembaran-lembaran kosong di dalam sejarah Ang Hien Hoo, sebagaimana halnya di dalam sejarah Indonesia.
Selepas dari penjara, Siauw Giok Bie seperti halnya sejumlah bekas tahanan politik lainnya mendapatkan stempel "ET" atau "Ex Tahanan" dan berstatus tahanan kota tanpa batasan waktu yang jelas. Selaku tahanan kota beliau wajib lapor dan dilarang bekerja. Sebagaimana penahanan yang tidak melalui proses hukum, inipun tidak melalui proses hukum yang jelas.Â
Pada saat itu yang berlaku adalah "semau gue" . Siapapun dapat ditahan tanpa bukti melakukan kesalahan, cukup dengan tuduhan termasuk apabila ada orang yang iri hati atau berniat jelek. Demikian pula setelahnya. Dapat dikatakan seluruh bekas tahanan politik dengan stempel "ET" termasuk anak-anaknya dibatasi kemungkinannya untuk mencari sumber pangan.
Ketika Siauw Giok Bie pergi mengunjungi putrinya di Jerman, seseorang yang dimintai bantuan oleh istrinya untuk menjaga rumah kediaman mereka melihat peluang untuk dapat mengambil alih rumah kediamannya. Â Hal ini menyebabkan bahwa Siauw Giok Bie dan istrinya, walaupun bukan pilihannya, terpaksa menetap di Jerman.
"Ketika kami mendapat kabar kalau beliau dicari lagi, maka sebagai anak-anaknya, kami sangat khawatir kalau sampai beliau balik, maka akan dipenjarakan lagi. Akhirnya, atas permohonan kami-kami ini mereka akhirnya tinggal bersama saya dan adik saya di Jerman," tulis Siauw Ting Soan via email tertanggal 28 Juli.
Walaupun telah berumur, tidaklah mudah bagi seorang pendatang yang lama mengalami teror dan menginap di penjara untuk membangun kembali kehidupan baru di tempat lain. Siauw Giok Bie bersama istrinya, menetap di Koln, Jerman sampai beliau wafat pada tahun 1993.
Wayang Orang Ang Hien Hoo adalah sebuah penanda bahwa 100 tahun lalu di Malang, sejumlah warga Indonesia keturunan Tionghoa telah bersetia melakukan uri-uri seni budaya. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H