Bagaimana formula dalam menulis untuk kolom budaya Malang Post?
Saya menuliskan apa yang saya lakoni dalam dunia seni budaya dalam kurun 25 tahun, saya tambahkan referensi pendukung. Saya masukkan film yang pernah saya tonton, buku yang pernah saya baca, warung kopi langganan saya. Saya kumpulkan data sebanyak mungkin. Lalu saya menuliskannya dari sudut pandang personal dengan bahasa tulis yang sederhana. Saya mengambil sisi yang tidak populer, hal-hal sederhana dan acapkali luput dari publikasi. Lokasi kegiatan dari peristiwa seni budaya yang saya tulis sebagian besar di Malang, ada juga yang terjadi di Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Bojonegoro, Surabaya. Saya menuliskannya di pastori GKI Kebonagung, hotspot, warnet.
Ada yang menarik setelah tulisan diterbitkan di Malang Post?
Banyak hal-hal yang menyenangkan. Tulisan Perjalanan Musikal Redy Eko Prastyo Bersama Leo Kristi(1/6/2014) dimuat dalam buklet, buku program dan web album terbaru Leo Kristi, musisi folk Indonesia “Hitam Putih Orche”. Moehammad Sinwan memperoleh Penghargaan Seniman Jawa Timur untuk Bidang Teater dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Saya bersyukur, sebelumnya telah menulis Moehammad “Lek Boss” Sinwan & 30 Tahun Teater IDEOT(17/8/2014).
Saya bertemu kawan lama setelah beliau membaca tulisan hasil wawancara saya dengan Pak Totok Suprapto, Ketua Paguyuban Arek Ludruk Malang, Saya Bersyukur Menjadi Seniman Ludruk(19 dan 26 Oktober 2014). Pak Os, Ketua RW saya menempel tulisan Ada Gendhies Di Kebonagung (27/4/2014) di ruang depan rumah beliau dan bisa dibaca banyak warga saat menyaksikan nobar Arema di rumah beliau.
Siapa yang menjadi motivator dalam menulis?
Bapak Max Arifin (1936-2007), penerjemah Seratus Tahun Kesunyian, Gabriel Garcia Marquez. Saat saya masih tinggal di Mojokerto, saya dan Novarita hampir setiap hari bertemu Pak Max dan Bu Max. Namun ada saat-saat beliau menunda pertemuan karena sedang menyelesaikan tulisan untuk media yang diterbitkan Dinas Infokom Kabupaten Mojokerto.
Meskipun honor yang diterima dari Tabloid Warta Majatama tidak besar namun Pak Max tetap disiplin dalam mengirim tulisan. Beliau juga sepenuh hati dan serius dalam menulis. Motivator lain adalah Pak Hardjono WS (1945-2013), Mbak Ratna Indraswari Ibrahim (1949-2011). Ada dua tulisan bersumber dari Mbak Ratna: Membaca Karya Ratna Indraswari Ibrahim (15/6/2014) dan Mbak Ratna(1/12/2013). Juga Pendeta Novarita, istri terkasih yang setiap minggu menulis khotbah sepanjang sembilan belas tahun ini.
Ide menulis datang dari mana?
Dari mana saja, kapan saja, dimana saja, tak terduga.Saat ngopi di Bu Jum, Magersari, Mas Cossa Bayu Paramita, guru sekolah minggu, mengenalkan saya pada Pakde Susilo yang sedang lewat di depan kami. Jadilah tulisan Padepokan Pak Susilo di Kebonagung (20/7/2014).
Sering jagongan dengan Pak Os, Pak RW saya menjadi tulisan Ada Gendhiesdi Kebonagung (27/4/2014). Tulisan Sepotong Kisah Pak Frans Edward Klavert(13/7/2014) muncul setelah istri saya member informasi bahwa ada jemaat di GKI Kebonagung yang piawai bermain gitar. Tulisan Hikajat Kebonagung (16/11/2014) muncul setelah ngopi dengan Pak Asa Wahyu Setyawan Muchtar di warung kopi 87. Saya baru menuliskan ide-ide yang berkelebatan tersebut setelah saya menjadi gelisah.