Dari Ang Hien Hoo, Ratna Indraswari Ibrahim
hingga Hikajat Kebonagung
(CatatanKecilSetahunMenulis diKolomBudaya Malang Post)
“Urip dadi apa wae kena, pokoke bener lan temen tumemen”
Munali Patah[1]
24 November 2014 tepat setahun lalu tulisan pertama saya Ang Hien Hood dan Siauw Giok Bie dimuat di kolom budaya Malang Post. Tulisan sepanjang 1345 karakter itu saya kirim Jumat, 15 November 2013 pukul 15.11 wib.
Adalah rekan Bagus Ary Wicaksono dari Malang Post yang menuliskan “budayawan” di bawah foto close upsaya. Banyak orang lantas menyebut wajah saya mirip Munir, aktivis HAM.
Foto close up hasil bidikan Ridhuwan, sahabat di es-em-pe satu Mojokerto. Dan sejak 24 November 2013, hampir setiap minggu tulisan saya dimuat di kolom budaya koran itu. Tercatat 39 tulisan hingga 16 November 2014. Awalnya Mbak Adinda Noer Zaini dan Mas Bagus Ary Wicaksono yang meng-handle tulisan saya, namun sejak Mbak Dinda berpindah ke Malang Ekspres, kiriman tulisan saya langsung ke e-mail Mas Bagus Ary Wicaksono.
Kenapa menulis di Malang Post?
Saya menikah dengan Pendeta Novarita di GKI Kebonagung, 18 Januari 2014. Artinya saya akan menetap di Kebonagung. Ini adalah fase kedua saya masuk Malang. Tahun 1987 saya masuk Malang untuk kuliah. Tahun 1990-an saya aktif di Forum Sikat Gigi dan Teater Bellgombest di Malang. Apakah saya tetap menjadi networkerkebudayaansaat masuk kembali ke Malang.
Saya memilih menuliskan peristiwa budaya yang pernah saya alami. Lalu saya mulai membeli koran lokal yang memiliki rubrik seni budaya. Tersebutlah Malang Post. Selanjutnya berkenalan dengan redaksi Malang Post. Bersama Danial Ahmad saya hadir di acara Emha Ainun Najib & Kyai Kanjeng di depan kantor Malang Post. Bertemu Mas Sumarga Nurtantyo, kawan lama di kampus yang saat itu bekerja di Malang Post. Mas Marga mengenalkan saya dengan Mas Bagus, Redaksi Malang Post. Begitulah kisah bergulir seperti air mengalir.