Mbak Ratna
oleh Abdul Malik
RATNAÂ INDRASWARI IBRAHIM adalah sastrawan kelahiran Malang, 24 April 1949. Menulis puluhan cerpen, beberapa novel, novelet dan puisi.Semasa hidup, rumah Mbak Ratna di Jalan Diponegoro 3 Malang telah menjadi oase kebudayaan di Malang. Banyak seniman, aktivis, jurnalis, komunitas berkumpul dan saling berdiskusi di sana. Mbak Ratna wafat 28 Maret dua tahun silam di RSU Syaiful Anwar.
Adalah Titik Qomariyah (Titik Sinchan), salah satu sahabatnya yang berikhtiar mengumpulkan tulisan dari sahabat Mbak Ratna mengenang 40 hari kepergiannya. Terkumpul 28 penulis dalam buku yang diberi judul Saya dan Mbak Ratna. Buku setebal 68 halaman itu dilaunching pada hari Sabtu, 7 Mei 2011 di Jl Diponegoro 3 Malang.
Berikut adalah salah satu tulisan yang dimuat dalam buku tersebut dengan sedikit revisi.
Lik, buku Pengakuan Pariyem wis dibalekno ta?
(Lik, buku Pengakuan Pariyem sudah dikembalikan ta?)
Meskipun buku tersebut telah saya kembalikan, kalimat Mbak Ratna dalam menagih buku tersebut, tetap berkesan sampai hari ini. Beliau begitu mencintai buku.
Persahabatan dengan Mbak Ratna terus berjalan, seturut dengan aktivitas saya bersama kawan-kawan Forum Sikat Gigi, Teater Bellgombest, teater Danta Stiba Malang, teater Bangkit FKIP Universitas Islam Malang, UKM Kesenian Unisma, kelompok musik Nyanyian Anak Negeri.
Saya sering menelpon Mbak Ratna ketika cerpennya dimuat di media seperti Kompas, Surabaya Post, dll.Barangkali hal tersebut membuat Mbak Ratna merasa makin percaya diri karena ada yang mengapresiasi karyanya.
Kerap dolan ke rumah Mbak Ratna, akhirnya kenal juga dengan para "asisten" MbakRatna Indraswari Ibrahim yang siap membuatkan minuman untuk para tamu.
Paling tidak saya siap menjawab jika ada pertanyaan dari Mbak Ratna:
Awakmu ngombe opo, kopi ta teh
(kamu minum apa, kopi atau teh)
Sampai akhirnya saya harus pulang ke kampung halaman, Mojokerto.
Saya masih intens berkomunikasi dengan kawan-kawan di Malang, antara lain dengan Jaya Setiawira (Yayak Marsose). Saat itu Yayak adalah Litbang Dewan Kesenian Malang dan bergiat di Teater Tobat (Tondano Barat), sebuah komunitas yang berbasis di JalanTondano Barat Perum Sawojajar.
Saya usul kepada Yayak untuk mengadakan pemutaran fim My Left Foot(sutradara Jim Sheridan, 1989) di rumah Mbak Ratna.
Film ini menarik karena tokoh utama dalam film tersebut seorang difabel yang berjuang keras melawan keterbatasan fisiknya. Sang tokoh, Christy Brown (diperankan dengan bagus oleh Daniel Day-Lewis) akhirnya berhasil menjadi penulisdan pelukis. Saya terharu, akhirnya film tersebut dapat diputar pada hari Kamis tanggal 25 Mei 2006, atas kerja keras Yayak Marsose, Edi Sasono dkk dari Teater Tobat.
Saya masih ingat kalimat Mbak Ratna:
"Terima kasih ya, Lik.Filmnya bagus."
12 Oktober 2006 terbit buku My Life in Art(Hidupku Dalam Seni) karya Konstantin Stanislavsky. Buku tersebut diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Max Arifin dan diterbitkan oleh Pustaka Kayutangan, sebuah lembaga penerbitan dimana MbakRatna ikut berperan aktif sebagai pendiri. Kantor Pustaka Kayutangan berada di rumah Mbak Ratna. Dari Mojokerto saya membantu Pak Max mengirim soft copy terjemahan lewat email. Pustaka Kayutangan dibantu rekan Shiro untuk layout dan Slatem untuk desain cover. Ketika buku tersebut siap terbit, Bapak dan Ibu Max Arifin menginap di Diponegoro 3. Inilah salah satu momen berkesan, sebuah persahabatan yang tak terlupakan dengan Mbak Ratna.
Setelah Mbak Ratna wafat, sempat ada upaya untuk menghidupkan denyut oase kebudayaan di Jalan Diponegoro 3. Membuka warung kopi sebagai ruang kongkow-kongkow, mengaktifkan toko buku kecil dan membuka akses perpustakaan pribadi Mbak Ratna untuk publik. Sebuah niat baik yang sungguh bermartabat.
Lewat dukungan keluarga Mbak Ratna dan para sahabat, novel "1998" pun diterbitkan Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, September 2012. A Elwiq Pr (Donik), salah satu sahabat Mbak Ratna menjadi editor novel tersebut.
Saya mencatat bahwa untuk menghidupkan Rumah Budaya Ratna Indraswari Ibrahim saat ini dibutuhkan sebuah laku kerja yang diurapi cinta, dan niat yang tulus ikhlas lahir dan batin dari para pengelolanya. Juga dana tentunya.
Saya membayangkan jika sebuah kota bergerak tanpa oase kebudayaan akan menjadi kota yang kering, tawar dan ampang. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H