Setelah Mbak Ratna wafat, sempat ada upaya untuk menghidupkan denyut oase kebudayaan di Jalan Diponegoro 3. Membuka warung kopi sebagai ruang kongkow-kongkow, mengaktifkan toko buku kecil dan membuka akses perpustakaan pribadi Mbak Ratna untuk publik. Sebuah niat baik yang sungguh bermartabat.
Lewat dukungan keluarga Mbak Ratna dan para sahabat, novel "1998" pun diterbitkan Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, September 2012. A Elwiq Pr (Donik), salah satu sahabat Mbak Ratna menjadi editor novel tersebut.
Saya mencatat bahwa untuk menghidupkan Rumah Budaya Ratna Indraswari Ibrahim saat ini dibutuhkan sebuah laku kerja yang diurapi cinta, dan niat yang tulus ikhlas lahir dan batin dari para pengelolanya. Juga dana tentunya.
Saya membayangkan jika sebuah kota bergerak tanpa oase kebudayaan akan menjadi kota yang kering, tawar dan ampang. *