Ada 17 sketsa dari murid SMP Bhakti Tuban dengan menggunakan media sampah daur ulang berupa kardus, plastik, kertas minyak, deterjen, dan selotip. Terpajang pula 11 sketsa khusus berjudul "Fragmen Pulau Buru" karya Gumelar. Dengan media kanvas cetak karet, ukuran 40 x 60 cm, Eko Arifianto memajang karyanya dengan judul "Pram dan Karyanya", dan "Pram: Resist!". Sejumlah lukisan bercat minyak (dan dengan media lain) juga dipamerkan di sekitar dan di dalam ruang utama rumah Pram, salah satunya, adalah lukisan karya Soetanto tahun 1980 berjudul "Toer" (ayah Pram) dan "Saidah" (ibu Pram). Lalu lukisan Romo Didik Cepu berjudul "Merahnya Pram" berukuran 88 x 90 cm. Sementara karya pelukis lain juga dihadirkan semisal karya Totok Sawahan, Pongky, Bobby dan Komunitas Marjinal, Toni Al-Blora, Praminto Moehayat. Dan yang terakhir adalah karya pahat dari kayu jati berjudul "Pram Mesem", ukuran 40 x 30 x 60 cm, karya Agus Randublatung.
Di pengujung acara bertanggal 7 Februari 2009, diundang juga para perupa Jogja dan beberapa kota lain, seperti Joko Pekik, Hari Budiono, Samuel Indratma, Bambang Heras, Suatmaji, Sjalabi, Bambang AW (Malang). Di tengah-tengah pemanggungan musik punk dari Komunitas Marjinal, para pelukis tersebut melukis bareng bersama pengunjung dan pengagum Pram.
Bersamaan itu, di sore pukul 16.59 yang agak gerimis, Ilham J. Baday dan Salabi dari Komunitas Arek Museum Surabaya, menampilkan performance art dengan judul "Abandoned". Ilham menjajarkan 6 meja tralis di depan pengunjung dengan dideretkan memanjang. Ia berkacamata hitam dan bertelanjang, tapi masih memakai sarung yang dilipatnya serupa cawat. Sekadar untuk menutupi "rudal"nya. Berambut rumbai ala Bob Marley (meski pendek seleher). Dibawalah sebuah durian dan buku berjudul Aku Bangga Jadi Anak PKI, diletakkan di atas meja paling ujung. Si durian ditegakkan di atas buku tersebut. Ia lalu mengambil arah berlawan meja. Menaikinya. Berjalan ia membawa odol ke durian. Memelototkan odol itu seperti membuat lukisan ular-ularan memanjang hingga ke ujung meja semula. Kemudian ia menelentangkan tubuhnya di atas meja. Merambat kayak mamba menuju durian. Bayangkan, bagaimana pengunjung memecah perhatian pertunjukan: antara menikmati musik punk Marjinal, menonton para pelukis kawakan melukis, dan eksplorasi pertunjukan Ilham.
Sedang Salabi, setelah ikut melukis wajah Pram secara kilat, ia membawa jes pewangi, lalu menyemprotkannya di kanvas lukisannya. Berjalan muter-muter turun panggung naik panggung.. Jes pewangi itu kemudian ia wesskan ke mulutnya. Ilham terus merayap hingga ke buah durian dan memakannya. Serampung itu, ia mengajak pengunjung menirukan performennya. Tak tanggung-tanggung, ada 5 peserta yang tergerak ngikut, 2 cewek, 3 cowok. Semuanya antusias, pengunjung sontak berkeplokan meriah sekali. Performen ini, menurut Ilham: menggambarkan bahwa perjuangan dan keberanian Pram dimulai dari proses yang tidak mudah. "Susah-susah dahulu, baru enaknya kemudian", demikian simpulnya. "Keteguhan dari perjuangan seseorang demi kemanusiaan, pada akhirnya kita pantas mengenangnya, dan oleh sebab itu, keharuman namanya tidak akan pernah lekang sampai kapan pun," susul Salabi.
Pada puncak acara pukul 19.30 diluncurkan buku Bersama Mas Pram, karya Koesalah dan Seosilo Toer dari penerbit KPG Jakarta. Astuti Ananta Toer dan Soesilo Toer mewakili keluarga memberikan buku tersebut kepada sejumlah sahabat Pram, yang hadir diatas panggung antara lain Djoko Pekik, Eko Arifianto, Sonny Keraf, Soelistiyono BA. Pergelaran wayang kulit berjudul "Begawan Ciptoning" dengan dalang Tristuti Rahmadi memungkasi acara ini.
Dalam kesempatan itu pula Penerbit Lentera Dipantara juga meluncurkan buku Pramoedya Ananta Toer:1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa. Berisi esai, catatan kenangan, dan puisi dari banyak kontributor dan kaum pramis.
Satu agenda acara yang batal dalam peringatan 1000 hari mengenang Pram ini adalah pementasan drama dari SMAN 1 Randublatung berjudul Perlawanan Rakyat Tepi Hutanpada hari Sabtu, 7 Februari 2009, pukul 16.30-17.00 WIB. Menurut Ex Mahardhana Wijaya (exicrot) pementasan itu dilarang oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Blora.