Mohon tunggu...
Abdul Malik
Abdul Malik Mohon Tunggu... Penulis seni - penulis seni budaya

penulis seni. tinggal di malang, ig:adakurakurabirudikebonagung. buku yang sudah terbit: dari ang hien hoo, ratna indraswari ibrahim hingga hikajat kebonagung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pram, Punk, dan Gerakan Komunitas di Blora

31 Mei 2016   21:52 Diperbarui: 1 Juni 2016   11:39 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada 17 sketsa dari murid SMP Bhakti Tuban dengan menggunakan media sampah daur ulang berupa kardus, plastik, kertas minyak, deterjen, dan selotip. Terpajang pula 11 sketsa khusus berjudul "Fragmen Pulau Buru" karya Gumelar. Dengan media kanvas cetak karet, ukuran 40 x 60 cm, Eko Arifianto memajang karyanya dengan judul "Pram dan Karyanya", dan "Pram: Resist!". Sejumlah lukisan bercat minyak (dan dengan media lain) juga dipamerkan di sekitar dan di dalam ruang utama rumah Pram, salah satunya, adalah lukisan karya Soetanto tahun 1980 berjudul "Toer" (ayah Pram) dan "Saidah" (ibu Pram). Lalu lukisan Romo Didik Cepu berjudul "Merahnya Pram" berukuran 88 x 90 cm. Sementara karya pelukis lain juga dihadirkan semisal karya Totok Sawahan, Pongky, Bobby dan Komunitas Marjinal, Toni Al-Blora, Praminto Moehayat. Dan yang terakhir adalah karya pahat dari kayu jati berjudul "Pram Mesem", ukuran 40 x 30 x 60 cm, karya Agus Randublatung.

10400627-127357775011-8672-n-574e64af377b61ce06239b01.jpg
10400627-127357775011-8672-n-574e64af377b61ce06239b01.jpg
Bacalah Bukan Bakarlah (Dok.Jabbar Abdullah)

Di pengujung acara bertanggal 7 Februari 2009, diundang juga para perupa Jogja dan beberapa kota lain, seperti Joko Pekik, Hari Budiono, Samuel Indratma, Bambang Heras, Suatmaji, Sjalabi, Bambang AW (Malang). Di tengah-tengah pemanggungan musik punk dari Komunitas Marjinal, para pelukis tersebut melukis bareng bersama pengunjung dan pengagum Pram.

Bersamaan itu, di sore pukul 16.59 yang agak gerimis, Ilham J. Baday dan Salabi dari Komunitas Arek Museum Surabaya, menampilkan performance art dengan judul "Abandoned". Ilham menjajarkan 6 meja tralis di depan pengunjung dengan dideretkan memanjang. Ia berkacamata hitam dan bertelanjang, tapi masih memakai sarung yang dilipatnya serupa cawat. Sekadar untuk menutupi "rudal"nya. Berambut rumbai ala Bob Marley (meski pendek seleher). Dibawalah sebuah durian dan buku berjudul Aku Bangga Jadi Anak PKI, diletakkan di atas meja paling ujung. Si durian ditegakkan di atas buku tersebut. Ia lalu mengambil arah berlawan meja. Menaikinya. Berjalan ia membawa odol ke durian. Memelototkan odol itu seperti membuat lukisan ular-ularan memanjang hingga ke ujung meja semula. Kemudian ia menelentangkan tubuhnya di atas meja. Merambat kayak mamba menuju durian. Bayangkan, bagaimana pengunjung memecah perhatian pertunjukan: antara menikmati musik punk Marjinal, menonton para pelukis kawakan melukis, dan eksplorasi pertunjukan Ilham.

10400627-127364090011-9543-n-574e6501ec96736405f4a523.jpg
10400627-127364090011-9543-n-574e6501ec96736405f4a523.jpg
Djoko Pekik  (Dok.Jabbar Abdullah)

10400627-127358525011-2036-n-574e65232523bdab049e6f3c.jpg
10400627-127358525011-2036-n-574e65232523bdab049e6f3c.jpg
Djoko Pekik  (Dok.Jabbar Abdullah)

Sedang Salabi, setelah ikut melukis wajah Pram secara kilat, ia membawa jes pewangi, lalu menyemprotkannya di kanvas lukisannya. Berjalan muter-muter turun panggung naik panggung.. Jes pewangi itu kemudian ia wesskan ke mulutnya. Ilham terus merayap hingga ke buah durian dan memakannya. Serampung itu, ia mengajak pengunjung menirukan performennya. Tak tanggung-tanggung, ada 5 peserta yang tergerak ngikut, 2 cewek, 3 cowok. Semuanya antusias, pengunjung sontak berkeplokan meriah sekali. Performen ini, menurut Ilham: menggambarkan bahwa perjuangan dan keberanian Pram dimulai dari proses yang tidak mudah. "Susah-susah dahulu, baru enaknya kemudian", demikian simpulnya. "Keteguhan dari perjuangan seseorang demi kemanusiaan, pada akhirnya kita pantas mengenangnya, dan oleh sebab itu, keharuman namanya tidak akan pernah lekang sampai kapan pun," susul Salabi.

Pada puncak acara pukul 19.30 diluncurkan buku Bersama Mas Pram, karya Koesalah dan Seosilo Toer dari penerbit KPG Jakarta. Astuti Ananta Toer dan Soesilo Toer mewakili keluarga memberikan buku tersebut kepada sejumlah sahabat Pram, yang hadir diatas panggung antara lain Djoko Pekik, Eko Arifianto, Sonny Keraf, Soelistiyono BA. Pergelaran wayang kulit berjudul "Begawan Ciptoning" dengan dalang Tristuti Rahmadi memungkasi acara ini.

Dalam kesempatan itu pula Penerbit Lentera Dipantara juga meluncurkan buku Pramoedya Ananta Toer:1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa. Berisi esai, catatan kenangan, dan puisi dari banyak kontributor dan kaum pramis.

Satu agenda acara yang batal dalam peringatan 1000 hari mengenang Pram ini adalah pementasan drama dari SMAN 1 Randublatung berjudul Perlawanan Rakyat Tepi Hutanpada hari Sabtu, 7 Februari 2009, pukul 16.30-17.00 WIB. Menurut Ex Mahardhana Wijaya (exicrot) pementasan itu dilarang oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Blora.

10400627-127364085011-9282-n-574e65412f97736a0431d3a3.jpg
10400627-127364085011-9282-n-574e65412f97736a0431d3a3.jpg
Marginal: Kebenaran tidak datang dari langit.Kebenaran harus diperjuangkan . (Dok.Jabbar Abdullah)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun