Konsep bio-politik jika dirunut ke belakang, pernah dilontarkan secara lebih klinis oleh Jean-François Bayart dengan konsep politik perut (la politique du ventre) bahwa, pertama, politik diukur dari apa yang masyarakat makan. Politik mengukur derajad kerakusan manusia dalam konsumsi. Dalam perihal ini politisi dimata-matai dari hasratnya untuk berkuasa via menguasai sumber-sumber pangan primer sebuah negara. Konsepsi kekuasaan adalah apa-apa yang dimakan dan dikonsumsi warga-negaranya.
Hierarki dan sejarah kekuasaan dapat dilacak bagaimana penguasaan atas bahan-bahan pokok dimainkan oleh politisi dan penguasa. Hierarki politik yang menghasilkan kelas ini kemudian juga melahirkan solidaritas aksi-aksi empatik jika sumber-sumber pangan kelas tertentu terancam langka atau punah.
Kedua, rahim sebagai metafora dari perut, yang menguasai pangkal dari segala hajat reproduksi sebuah bangsa. Penguasaan politis atas rahim merupakan kunci kepada kekuasaan. Kapasitas kekuasaan dilekatkan pada tubuh perempuan dan lanskap penguasaannya adalah kontrol negara atas organ-organ reproduktif dan seksual perempuan. Ambisi-ambisi politik ini mengambil topeng dalam aturan-aturan moral yang dilayangkan hanya kepada perempuan, saja. Bagaimana kontrol atas alat kontrasepsi, kontrol atas perilaku seksual, kontrol atas status tubuh (perawan, janda, dll), kontrol atas pakaian, dan lain-lain—yang kesemuanya tak ada atas tubuh laki-laki. Politik benar-benar tak berdaya di hadapan rahim. Dus pemiliknya, hanya perempuan saja, harus dikontrol, dimanajemen, diatur, dan ditundukkan via kebijakan, hukum, undang-undang, perda, perbub, dan lain-lain agar patuh. Separuh warga-negara ini merupakan kapital paling vital yang harus dapat ditundukkan oleh sebuah negara—atau dia akan menjadi negara gagal.
Bagaimana dengan politik tubuh terhadap LGBT? Praktik seksualitas sehari-hari dari tiap individu tidak dapat dilepaskan dari politik atau kekuasaan (negara dan kelompok dominan), baik organisasi masyarakat, kelas sosial tertentu, organisasi kesukuan maupun agama.
Michel Foucault dalam bukunya A History of Sexuality (Seks Dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas) menganggap bahwa dalam sejarah manusia banyak label yang kadung menyesatkan; definisi normal dan abnormal, seperti homoseksual, banci, dan lain sebagainya yang semuanya merupakan kontrol. Pendefinisian ini senada dengan mekanisme kontrol terhadap orang-orang yang dicap berdosa, pezinah, gila, sakit, dan patologis, yang semuanya diatur dan dihukum menurut norma sosial yang berlaku, dan menurut siapa yang berkuasa pada suatu kurun waktu tertentu.
Kerangka ini berawal dari keyakinannya bahwa hubungan kita dengan realitas sosial diatur melalui berbagai discourse, kesatuan-kesatuan kepercayaan, konsep-konsep dan ide-ide yang kita anut. Selain itu,dia menegaskan bahwa maskulinitas, feminitas, dan seksualitas adalah akibat praktik disiplin dan diskursif, efek wacana atau buah relasi pengetahuan-kuasa (power-knowledge). Bahkan sains pun, menurut Foucault, juga berperan dalam konstruksi tersebut.
Foucault menyayangkan heteroseksualitas dianggap sebagai satu-satunya bentuk seksualitas yang berorientasi prokreasi, diinternalisasi, dinaturalisasi, sedangkan bentuk seksualitas lainnya dipatologikan dan diabnormalkan. Seolah-olah heteronormatifitas adalah satu-satunya orientasi seksualitas yang mengatur kehidupan manusia, kapan pun, dan di mana pun. Hal ini tentu saja menyembunyikan realitas dan relativitas yang sangat kompleks dalam seksualitas.
Masyarakat Indonesia masih berpikir bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kodratnya masing-masing berkait dengan seks biologisnya. Pembagian peran berdasarkan yang feminin-maskulin masih terjadi dan menjadi ukuran bagi norma yang ada. Terlebih norma agama, relasi perempuan dan laki-laki menjadi sesuatu yang menjadi sakral pada akhirnya dalam pernikahan yang berarti meneruskan keturunan (prokreasi). Inilah kenapa konstruk budaya di Indonesia selalu diarahkan pada prokreasi, di mana perempuan dan laki-laki secara biologis telah memiliki karakteristiknya masing-masing yang tidak dapat dipertukarkan. Dan hal ini menjadi sesuatu yang dilegitimasi oleh berbagai institusi, terlebih institusi agama.
Meskipun pada 17 mei 1990 organisasi kesehatan dunia (WHO) telah memutuskan bahwa homoseksualitas tidak tergolong suatu penyakit atau gangguan jiwa, fatwa WHO tersebut sudah tercantum pula dalam kitab PPDGJ milik Depkes RI (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis dan Gangguan Jiwa) edisi III tahun 1993, namun diskriminasi terhadap kelompok minoritas ini masih kerap terjadi di negeri ini.
Prinsip-Prinsip Yogyakarta dan Hak Asasi Manusia
Pada tahun 2006 para ahli hukum internasional dari 25 negara mengadakan pertemuan di Yogyakarta. Pertemuan tersebut membahas isu Hak Asasi Manusia (HAM) internasional terkait orientasi seksual dan identitas gender. Para ahli hukum tersebut bukanlah perwakilan resmi dari masing-masing negara, tapi mereka bertemu karena memiliki komitmen yang sama terhadap HAM terkait orientasi seksual dan identitas gender. Yogyakarta Principles bukanlah dokumen resmi, tetapi dapat menjadi acuan hukum mengenai HAM terkait orientasi seksual dan identitas gender yang sudah digunakan di beberapa negara.