Mohon tunggu...
Kupret El-kazhiem
Kupret El-kazhiem Mohon Tunggu... -

Pelarian, Pengangguran, Soliter, Serabutan, Penduduk Bumi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Titik Temu Antara Sekulerisme dan Islam

22 Februari 2014   22:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekularisme sejatinya pemisahan antara ruang publik dan ruang privat, antara ranah privat dan ranah publik, antara politik dan agama. Makanya saya sangat menyayangkan juga kepada media-media seperti stasiun televisi nasional yang gemar mempertontonkan tayangan agama. Mereka mengangkat itu menjadi konsumsi publik, padahal stasiun televisi nasional bukanlah stasiun televisi komunitas agama atau kelompok tertentu. Dan tayangan yang diangkat pun tidak membawa nilai-nilai yang mengakomodasi hak asasi manusia, demokrasi, emansipasi perempuan, dan semacamnya. Justru mereka mengeksploitasi apa yang dikatakan sebagai kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan berpendapat, guna melakukan deprivatisasi agama. Akhirnya ruang publik yang seharusnya tidak boleh dikooptasi oleh satu agama, justru malah terkooptasi oleh doktrin tunggal agama mayoritas.

Di sini saya tidak membahas dari atas. Kalau saya membahas dari struktur atas sistem kenegaraan maka kita akan terus menghabiskan waktu untuk mengobrol bagaimana caranya menumbangkan Pancasila. Dalam pandangan saya, apa yang dimaksud TITIK TEMU antara Sekulerisme dan Islam adalah adanya keterkaitan yang saling berangkulan, tapi tidak menghancurkan kebhinekaan itu sendiri. Maka dari itu diperlukan gagasan baru dari kalangan umat Islam yang toleran dan antidiskriminasi. Kalau menggunakan bahasa Abid al-Jabiri, berislam dengan didasari epistemologi burhani (diskursif dialektik). Dengan demikian, penalaran umat Islam tidak hanya berdasarkan teks agama saja, atau berdasarkan ortodoksi saja, yang justru memunculkan perilaku reaksioner dan formalisme semata. Namun yang diharapkan adalah perilaku diskursif sehingga bangsa Indonesia bisa menghasilkan konsensus demi kepentingan bersama, bukan golongan-golongan.

Terakhir sebelum menutup tulisan akibat "insomnia" ini, saya akan mengutip perkataan Hans Kung, “No peace among the nations without peace among the religions. No peace among the religions without dialogue between the religions. No dialogue between the religions without investigation of the foundation of the religions.”

Silakan direnungkan bagi umat-umat beragama, khususnya bagi umat Islam Indonesia sekarang ini, Have you ever done some investigation of the foundation of your religion before we go chit-chat together?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun