Mohon tunggu...
Kupret El-kazhiem
Kupret El-kazhiem Mohon Tunggu... -

Pelarian, Pengangguran, Soliter, Serabutan, Penduduk Bumi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Titik Temu Antara Sekulerisme dan Islam

22 Februari 2014   22:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:34 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akar kemapanan Alquran dan Sunnah sudah dibahas sekilas. Beranjak ke akar kemapanan Ijma' dan Qiyas. Sekarang ini, di era modern ini kita sering mendengar yang disebut Fikih/Fiqh. Apa sih Fiqh itu?

Fiqh secara singkat artinya adalah pemahaman. Secara istilah, yang dimaksud Fiqh adalah pendapat hukum dari seorang ulama yang bekerja keras menggali pemahaman hukum dari dasar struktur ortodoksi, atau kita bahasakan dari teks agama.

Para ulama fikih ini menyarikan pendapat-pendapat hukum yang bisa digunakan oleh para pengikutnya dan juga terkadang oleh pihak penguasa politik. Kedudukan Ijma' dan Qiyas berada di bawah Alquran dan Sunnah dalam kaitannya sebagai proses menggali suatu hukum atas kasus-kasus tertentu. Pendapat-pendapat hukum ini kemudian dianut oleh banyak orang dan menjadi sebuah mazhab. Makanya dalam Sunni kita mendapatkan lima mazhab besar sebagaimana telah saya sebut di atas; Hanafi, Maliki, Syafi'i, Zahiri, dan Hanbali. Adapun yang masih bertahan sampai sekarang mungkin cuma empat saja karena mazhab Zahiri ternyata tidak menyebar seperti keempat mazhab lainnya.

Lalu aliran Shi'ah bagaimana? Mereka punya mazhab fiqh/fikih tidak? Ya, mereka punya mazhab fiqh sendiri dan berbeda metodenya dalam proses menghasilkan suatu hukum. Shi'ah cukup unik. Mereka menganut sistem hierarki, dan yang tertinggi adalah para Imam yang dianggap keturunan langsung dari Ali. Para Imam Ahlul Bait. Tapi saya tidak akan menjelaskan secara mendalam tentang perbedaan di dalam Shi'ah itu sendiri bahwa adanya Shi'ah Imam tujuh, shi'ah Imam dua belas, dan sebagainya. Mungkin di pembahasan lain kali.

Dua aliran ini; Sunni dan Shi'ah yang paling mapan, baik sebagai aliran teologis, politik, dan juga mempunyai sistem fiqhnya sendiri hingga saat ini, terlepas dari tumbuhnya sub-sub aliran baru di dalamnya. Misalnya seperti dalam Sunni ada aliran Wahabi yang muncul sekitar abad 19 Masehi. Dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab yang bersama Muhammad Sa'ud memberontak dari kekaisaran Turki Ottoman dan mendirikan negara Saudi. Mereka bekerjasama dengan pihak Inggris yang menyuplai persenjataan. Mazhab fikih Muhammad bin Abdul wahab sebenarnya mazhab Hanbali, yang ditransmisikan ajaran-ajarannya dari murid Imam Hanbali yang tersohor--dengan tindak kekerasannya, yaitu Imam al-Barbahari.

Sampai di sini kita sudah melihat bahwa 4 struktur ortodoksi utama; Alquran, Sunnah, Ijma' dan Qiyas tidaklah sesuatu yang rigid. Bahkan di dalam Fikih, banyak ulama seperti Imam Syafi'i yang menambahkan lagi di bawah Qiyas, bentuk-bentuk metode deduktif lain dalam proses pencarian hukum seperti; maslahah mursalah (kemaslahatan bersama), istihsan dan istishab (apabila suatu tradisi baik maka boleh dilakukan), 'urf (melihat kebiasaan lokal setempat), dll.

Kemudian di mana titik temu antara sekulerisme dan Islam?

Apabila kita menganggap bahwa apa pun yang dikatakan telah mapan sebetulnya sesuatu yang profan maka kedudukan ortodoksi Islam itu sendiri tidak bebas dari kritik. Oleh karena itu, kita perlu mencari benang merahnya. Umat Islam yang hidup di masa sekarang tidak bisa terus-terusan menganggap bahwa ortodoksi itu stagnan dan tidak bisa "diutak-atik". Dalam artian, di zaman keterbukaan, kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat, kesetaraan hak asasi antarumat beragama, tidak lagi diperlukan tafsir-tafsir atau pendapat-pendapat hukum yang digali dalam konteks masa lalu. Justru umat Islam harus kembali menggali pemahaman-pemahaman baru dengan konteks kekinian. Utamanya mengenai hal-hal seperti HAM, kebebasan, demokrasi, dan sebagainya.

Mungkin saya akan mengambil Demokrasi dan HAM karena tidak mungkin membedah segalanya satu per satu di sini.

Dalam konteks HAM. Umat Islam saat ini harus berani mengeliminir tafsir-tafsir diskriminatif terhadap perempuan, umat agama lain, termasuk di internal umat Islam itu sendiri. Jika umat Islam mengakui ayat "Laa Ikraha fi al-Diin" yang berarti tidak ada paksaan dalam beragama maka menggunakan kekerasan untuk menegakkan ajaran agama pun sesungguhnya terlarang. Tafsirannya harus diperluas sampai menyangkut bagaimana seharusnya tiap pemeluk agama saling menjalin kebersamaan, bukan membesar-besarkan perbedaan. Apa yang kita lihat di Indonesia saat ini, justru pemeluk agama bersikap seolah paling superior dengan membawa-bawa ajaran agamanya untuk dipaksakan berlaku di ruang publik. Padahal ruang publik itu adalah milik semua orang, beragama atau pun tidak beragama.

Apa yang disebut sebagai penodaan dan penistaan agama sebenarnya diperbuat oleh pemeluknya sendiri ketika mereka berani melanggar "Laa Ikraha fi al-Diin" dengan dalih 'amar ma'ruf nahi munkar. Nah, nilai-nilai yang ada kaitannya atau benang merahnya dengan proses demokrasi di negara inilah yang tidak ditanamkan dalam pendidikan keagamaan. Jika di dalam agama Islam, yang patut dikritik adalah dari sekian banyak fakultas PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, kok tidak bisa menanamkan nilai-nilai tersebut ke masyarakat yang notabene awam?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun