A. Paradigma Pemrosesan Informasi
Selama paruh pertama abad kedua puluh, pemikiran-pemikiran di bidang psikologi, terutama di Amerika didominasi oleh behaviorisme. Berkenaan dengan dinamika perilaku manusia, para behavioris hanya mempelajari perilaku yang bisa diamati secara langsung karena menurut mereka objek itulah yang bisa dipelajari secara ilmiah. Para behavioris mengabaikan peristiwa mental, seperti pikiran, perhatian, imajinasi, motivasi, dan seterusnya yang sering disebut kognisi. Pandangan demikian membuat cara kerja kognisi seperti misteri yang tidak bisa diungkap. Namun, sekitar tahun 1940-an, komputer muncul, memberikan metafora kepada para ahli psikologi untuk menjelaskan bagaimana pikiran manusia berfungsi.Â
Metafora tersebut membantu mereka menjelaskan berbagai proses yang dilakukan otak, termasuk perhatian dan persepsi, yang dapat dibandingkan dengan memasukkan informasi ke dalam komputer dan memori, yang dapat dibandingkan dengan ruang penyimpanan komputer. Pandangan yang demikian disebut sebagai pendekatan pemrosesan informasi. Â Komputer modern pertama, yang dikembangkan oleh John von Neumann pada akhir 1940-an, menunjukkan bahwa mesin mati dapat melakukan operasi logis dan ini menunjukkan bahwa beberapa operasi mental mungkin seperti dilakukan oleh komputer, memberi tahu manusia sesuatu tentang cara kerja kognisi manusia (Santrock, 2018: 253).
Teori pemrosesan informasi, menurut Shuell, fokus pada bagaimana manusia menghadapi peristiwa lingkungan, menyandikan informasi yang akan dipelajari dan menghubungkannya dengan pengetahuan dalam memori, menyimpan pengetahuan baru dalam memori, dan mengambilnya sesuai kebutuhan (Schunk, 2012: 164). Menururt Matlin, meskipun ada teori tertentu dijadikan acuan dalam pembahasan pemrosesan informasi, Â tetapi tidak ada satupun teori yang dominan, dan beberapa peneliti tidak mendukung teori apa pun saat ini (Schunk, 2012: 164).Â
Mengingat hal yang demikian, mungkin ada yang menyimpulkan bahwa teori pemrosesan informasi tidak memiliki identitas yang jelas. Hal demikian bisa saja terjadi karena pengaruh kemajuan di berbagai bidang ilmu pada pemikiran tentang belajar, termasuk teknologi komunikasi dan informasi  serta ilmu saraf. Konsep-konsep tertentu dari ilmu-ilmu tersebut dipakai dalam pembahasan pemrosesan informasi.
Ahli teori pemrosesan informasi menentang pandangan behaviorisme  bahwa belajar melibatkan pembentukan asosiasi antara rangsangan dan tanggapan. Ahli teori pemrosesan informasi tidak menolak asosiasi, karena mereka mendalilkan bahwa pembentukan asosiasi antara pengetahuan-pengetahuan membantu memfasilitasi perolehan dan penyimpanannya dalam memori, sebaliknya, para ahli teori ini kurang peduli dengan kondisi eksternal dan lebih fokus pada proses internal (mental) yang mengintervensi antara rangsangan dan tanggapan (Schunk, 2012: 165).
Menurut teori pemrosesan informasi, peserta didik adalah pencari dan pengolah informasi yang aktif. Mayer menegaskan, tidak seperti behaviorisme yang memandang  bahwa peserta didik merespons ketika rangsangan menimpa mereka, ahli teori pemrosesan informasi berpendapat bahwa orang memilih dan memperhatikan fitur lingkungan, mengubah informasi, menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya, dan mengatur pengetahuan untuk membuatnya bermakna (Schunk, 2012: 165).
Ada asumsi bahwa pemrosesan informasi dapat dianalogikan dengan pemrosesan komputer, setidaknya secara metaforis. Proses belajar manusia mirip dengan cara kerja komputer: proses penerimaan informasi, menyimpannya dalam memori, dan mengambilnya jika ada kebutuhan untuk itu. Para peneliti, menurut  Farnham-Diggory dan koleganya, juga berasumsi bahwa pemrosesan informasi terlibat dalam semua aktivitas kognitif: mengamati, berlatih, berpikir, memecahkan masalah, mengingat, melupakan, dan seterusnya (Schunk, 2012: 165).
B. Model Skema Sistem Pemrosesan InformasiÂ
Para psikolog kognitif telah mengembangkan model pemrosesan informasi dengan meminjam istilah-istilah yang lazim digunakan pada bidang pemrograman komputer seperti input, output, accessing, dan information retrieval (Wade & Tavris, 2007: 67). Sama seperti komputer yang terdiri dari perangkat keras (hardware), berupa: disk drive, unit pemrosesan pusat, dll.), dan perangkat lunak (software) berupa program-program  yang digunakannya, teori pemrosesan informasi menyatakan bahwa kognisi manusia terdiri dari perangkat keras mental dan perangkat lunak mental. Perangkat keras mental mengacu pada struktur kognitif, termasuk berbagai memori tempat informasi disimpan dan perangkat lunak mental mencakup serangkaian proses kognitif yang terorganisasi, yang memungkinkan orang untuk menyelesaikan tugas tertentu, seperti membaca kalimat, bermain video game, atau memukul bola, dan seterusnya (Kail & Cavanaugh, 2014: 12).
Proses kerja kognisi dalam pemrosesan informasi dapat digambarkan seperti cara kerja komputer. Seperti komputer menerima masukan, kognisi menerima masukan (informasi) melalui indera. Jika ada perhatian pada informasi,  maka informasi masuk ke memori jangka pendek (short term memory). Sementara dalam memori jangka pendek atau memori kerja (working memory), kognisi mampu menggunakan informasi untuk berinteraksi dengan lingkungan. Informasi tersebut kemudian dikodekan ke memori jangka panjang (long term memory), di sini informasi tersebut kemudian disimpan. Informasi tersebut dapat diperoleh kembali bila perlu dengan menggunakan eksekutif pusat. Eksekutif pusat dapat dipahami sebagai pikiran sadar. Eksekutif pusat dapat menarik informasi dari memori jangka panjang kembali ke memori kerja untuk digunakan. Seperti komputer memproses informasi, begitulah cara berpikir pikiran manusia memproses informasi. Output yang akan dihasilkan komputer dapat diibaratkan sebagai output pikiran informasi melalui perilaku atau tindakan.  Proses kerja sebagaimana didiskripsikan di atas sering di visualisasikan melalui  model memori sebagai berikut.
Memori jangka pendek, pada model awal pemrosesan informasi (model Atkinson) juga disebut sebagai memori kerja (working memory), karena semua aktivitas intelektual yang disadari terjadi di sini. Tetapi pada model pemrosesan versi yang diperbaharui (model Baddeley), konsep tentang memori jangka pendek dan memori kerja dibedakan.Â
Seperti terlihat pada gambar, komponen pertama dari model adalah penyimpanan sensorik (sensory store) atau register sensorik. Unit memori ini menerima masukan lingkungan (environmental input) melalui indra. Penyimpanan sensorik  dapat menyimpan informasi dalam jumlah besar, tetapi hanya untuk periode waktu yang sangat singkat dan isi dari gudang sensorik sangat mudah menguap dan segera menghilang tanpa proses lebih lanjut (Shaffer & Kipp, 2014: 251). Informasi yang ada pada penyimpanan sensorik,  bisa masuk ke ingatan jangka pendek (short term memory, sering disingkat STM), jika ada perhatian pada informasi tersebut. Ingatan jangka pendek merupakan unit pemrosesan yang dapat menyimpan informasi dalam jumlah terbatas (mungkin lima hingga sembilan bagian) selama beberapa detik (Shaffer & Kipp, 2014: 251). Jika tidak digunakan, informasi yang ada di STM akan segera hilang.Hasil penelitian menunjukkan bahwa memori jangka pendek melibatkan lebih dari sekadar penyangga latihan sederhana, seperti yang diyakini semula dan temuan tersebut mendorong Alan Baddeley untuk mengusulkan model memori jangka pendek yang lebih kompleks yang mencirikannya sebagai memori kerja (working memory) --- sistem modular untuk penyimpanan sementara dan manipulasi informasi (Weiten, 2017: 228).
Informasi baru yang dioperasikan selama penyimpanan jangka pendek masuk ke ingatan jangka panjang (long term memory, sering disingkat LTM): sebuah gudang informasi yang luas dan relatif permanen yang mencakup pengetahuan tentang banyak hal,  kesan tentang pengalaman dan peristiwa masa lalu, dan strategi yang digunakan untuk memproses informasi dan menyelesaikan masalah. Ini bukan berarti bahwa sistem ingatan berjalan secara otomatis dan subjek  bersifat pasif. Subjek harus memutuskan informasi apa yang akan diperhatikan dan strategi mana, jika ada, yang akan dijalankan untuk memindahkan informasi melalui sistem.  Informasi tidak hanya mengalir sendiri melalui berbagai penyimpanan, atau unit pemrosesan, dari sistem tetapi subjek secara aktif memproses alur informasi (Shaffer & Kipp, 2014: 251).
Ada beberapa aspek pemrosesan informasi yang dimiliki siswa. Menurut Shaffer dan Kipp (2014: 252), aspek pemrosesan informasi siswa  yang memengaruhi semua jenis pemikirannya adalah:
- kapasitas penyimpanan jangka pendek (perangkat keras);
- kecepatan pemrosesan (perangkat keras);
- penggunaan strategi (perangkat lunak);
- pemahaman siswa tentang apa artinya berpikir (metakognisi, atau fungsi eksekutif), sebagai perangkat lunak;
- basis pengetahuan mereka --- apa yang siswa ketahui tentang hal-hal yang mereka pikirkan (terkait dengan empat di atas dan mempengaruhi hampir semua bentuk pemikiran siswa);
- perhatian mereka --- proses memilih rangsangan lingkungan apa yang akan mereka bawa ke dalam sistem pemrosesan informasi.
C. Kecepatan dan Kapasitas Memproses Informasi
Kecepatan pemrosesan informasi mengacu pada seberapa cepat seseorang dapat memproses informasi yang masuk. Seiring dengan semakin bertambahnya usia dan proses tumbuh kembang yang berlangsung secara berkelanjutan, anak-anak mengalami peningkatan dalam berbagai kemampuan, termasuk dalam hal pemrosesan informasi. Perubahan ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh peningkatan kapasitas dan kecepatan pemrosesan dan kedua karakteristik ini sering disebut sebagai sumber daya kognitif, yang diduga memiliki pengaruh penting pada memori dan pemecahan masalah (Santrock, 2018: 253). Baik faktor biologis maupun faktor pengalaman berkontribusi pada perkembangan sumber daya kognitif. Perkembangan otak memberikan landasan biologis untuk peningkatan sumber daya kognitif. Menurut de Haan dan Johnson, saat anak-anak mengalami tumbuh kembang, perkembangan biologis yang penting terjadi dalam struktur otak, seperti perubahan pada lobus frontal, dan pada tingkat neuron, seperti pertambahan dan pemangkasan koneksi antar neuron yang menghasilkan lebih sedikit tetapi koneksi lebih kuat (Santrock, 2018: 253). Selain itu, proses lainya yang terjadi di otak, yaitu mielinasi (proses pelapisan akson dengan selubung mielin) meningkatkan kecepatan impuls listrik di otak yang berdampak pada peningkatan kecepatan dalam memproses informasi.
Perkembangan otak sebagaimana dijelaskan pada uraian sebelumnya juga berdampak pada kapasistas pemrosesan informasi. Menurut para ahli pemrosesan informasi, perubahan perkembangan dalam pemikiran mencerminkan perangkat keras mental dan perangkat lunak mental yang lebih baik pada anak-anak dan remaja yang lebih tua daripada pada anak-anak yang lebih muda usinya (Kail & Cavanaugh, 2014: 12). Â Misalnya, anak remaja dalam dalam mengerjakan tugas akademik lebih baik dari pada anak-anak tahap kanak-kanak pertengahan karena mereka memiliki kapasitas memori yang lebih besar untuk menyimpan konsep-konsep dan fakta berkenaan masalah tersebut dan karena metode mereka untuk melakukan operasi tugas akademik lebih efisien.
D. Mekanisme Perubahan Keterampilan Kognitif
Menurut Robert Siegler, tiga mekanisme bekerja sama untuk menciptakan perubahan dalam keterampilan kognitif anak: pengkodean, otomatisitas, dan konstruksi strategi (Santrock, 2018: 254).
1. Pengkodean
Pengkodean (encoding) adalah proses di mana informasi disimpan dalam memori. Perubahan dalam keterampilan kognitif anak bergantung pada peningkatan keterampilan dalam menyandikan informasi yang relevan dan mengabaikan informasi yang tidak relevan. Misalnya, untuk anak usia 4 tahun, huruf MÂ dalam bentuk huruf besar (capital letter) adalah bentuk yang sangat berbeda dengan huruf m sebagai huruf kecil (small letter). Tetapi seorang anak berusia 6 tahun atau lebih telah belajar untuk menyandikan fakta yang relevan bahwa keduanya adalah huruf M /Â m, yang bunyinya sama.
2. Otomatisitas
Otomatisitas (automaticity) mengacu pada kemampuan untuk memproses informasi dengan sedikit atau tanpa usaha. Latihan memungkinkan anak-anak untuk menyandikan sejumlah besar informasi secara otomatis. Misalnya, begitu anak-anak telah belajar membaca dengan baik, mereka tidak memikirkannya satu per satu huruf dalam kata sebagai huruf, sebaliknya, mereka menyandikan seluruh kata. Begitu mereka melihat rangkaian kata, yang terjadi pemaknaan kata-kata tersebut secara otomatis. Hasilnya, saat pemrosesan informasi menjadi lebih otomatis, penyelesaian tugas lebih cepat.
3. Konstruksi Strategi
Konstruksi strategi (strategy construction) adalah pembuatan prosedur baru untuk memproses informasi. Misalnya, pada saat membaca, anak-anak mendapat manfaat ketika mereka mengembangkan strategi berhenti secara berkala untuk mengingat apa yang telah mereka baca. Mengembangkan repertoar strategi yang efektif dan memilih yang terbaik untuk digunakan pada tugas belajar adalah aspek penting untuk menjadi pembelajar yang efektif.
E. Peranan Perhatian dalam Pemrosesan Informasi
Salah satu faktor penting dalam pemrosesan informasi oleh manusia adalah perhatian atau atensi (attention). Schunk (2012: 171) mendefinisikan perhatian sebagai proses pemilihan beberapa dari banyak masukan potensial. Perhatian, menurut Santrock (2018: 255), Â adalah pemusatan sumber daya mental. Sedangkan Goldstein (2011: 82) mendefinisikan perhatian sebagai kemampuan untuk fokus pada rangsangan atau lokasi tertentu. Shaffer dan Kipp mengaitkan perhatian dengan sistem pemrosesan informasi. Menurut mereka perhatian merupakan proses pemilihan rangsangan lingkungan yang dibawa ke dalam sistem pemrosesan informasi (Shaffer dan Kipp, 2014: 252). Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat diambil intisari dari pengertian perhatian sebagai berikut.
- Perhatian merupakan pemusatan sumber daya mental, misalnya pikiran, penglihatan, pendengaran, dan seterusnya.
- Pemusatan sumber daya mental tertuju pada suatu objek, bisa berupa suara, bau, objek yang terlihat, dan seterusnya.
- Perhatian hanya tertuju pada objek tertentu saja, meskipun objek yang tertangkap oleh indra ada beberapa atau bahkan banyak.Â
- Perhatian merupakan salah satu unsur dari sistem pemrosesan informasi.
Perhatian dapat dibedakan menjadi beberapa berdasarkan tinjauan tertentu. Ditinjau dari luas-sempitnya objek, perhatian dibedakan menjadi perhatian selektif dan perhatian distributif. Perhatian selektif berfokus pada objek yang sangat terbatas sambil mengabaikan objek-objek yang  lain. Misalnya dokter yang sedang melakukan operasi bedah, membutuhkan perhatian selektif.  Sedangkan perhatian distributif tertuju pada beberapa objek secara bersamaan, misalnya, ketika guru sedang melaksanakan pembelajaran. Jika ditinjau dari intensitasnya, perhatian dibedakan menjadi perhatian yang intensif dan perhatian yang tidak intensif. Perhatian intensif adalah perhatian yang terus menerus dalam waktu relatif lama. Misalnya perhatian yang menertai operasi bedah oleh dokter. Dokter fokus sampai proses operasi bedah selasai. Perhatian dikatakan sebagai perhatian yang tidak intensif jika perhatian terpotong atau diselingi dengan aktivitas mental atau fisik yang lain.
Perhatian adalah merupakan faktor urgen dalam keberhasilan belajar. Agar berhasil memahami materi pembelajaran dan mampu mengerjakan soal-soal latihan, siswa harus fokus pada apa yang dijelaskan guru dan mengabaikan suara atau kegiatan yang lain. Agar mampu mempraktikkan cara menggesek senar biola yang baik dan benar, para peserta kursus harus melihat dan mendengarkan dengan cermat apa yang dicontohkan oleh tutornya. Proses belajar yang demikian membutuhkan perhatian selektif dan perhatian intensif agar tujuan belajar tercapai. Seperti yang telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, tentang skema sistem pemrosesan informasi pada manusia, apa yang tertangkap oleh indra (sensory store) dapat tersimpan dalam memori jangka pendek dan selanjutnya masuk ke memori jangka panjang jika ada perhatian yang menyertai. Meskipun mata melihat, telinga mendengar, dan tangan menyentuh, tapi jika perhatian tidak tertuju pada objek tadi maka tidak terjadi pemrosesan informasi sampai tahap memori jangka pendek, apalagi memori jangka panjang. Itu berarti aktivitas belajar hanya sia-sia.
Perhatian adalah sumber daya yang terbatas. Menueut Kanfer dan koleganya (dalam Schunk, 2012: 172), peserta didik mengalokasikan perhatian pada aktivitas sebagai fungsi dari motivasi dan pengaturan diri. Â Ketika keterampilan menjadi rutinitas, pemrosesan informasi membutuhkan lebih sedikit perhatian. Dalam belajar mengerjakan soal perkalian, siswa harus memperhatikan setiap langkah dalam proses dan memeriksa perhitungan mereka, setelah siswa mempelajari tabel perkalian dan algoritma, mengerjakan soal menjadi otomatis dan dipicu oleh input (Schunk, 2012: 172).
E. Penerapan Teori Pemrosesan Informasi dalam Proses Belajar dan Pembelajaran
Belajar berdasarkan paradigma pemrosesan informasi adalah proses menerima, menyimpan, dan mengambil kembali informasi atau pengetahuan. Faktor penting dalam proses tersebut adalah perhatian ketika indra berhadapan dengan informasi, kebermaknaan informasi, dan latihan atau pengulangan agar informasi tersimpan dalam memori jangka panjang sehingga mudah diambil ketika diperlukan. Berdasarkan hal-hal tersebut berikut dideskripsikan penerapan paradigma pemrosesan informasi dalam proses belajar dan pembelajaran.
1. Optimalisasi Perhatian
Guru hendaknya berusaha untuk membangkitkan dan mempertahankan perhatian selektif siswa selama proses belajar dan pembelajaran berlangsung. Dengan adanya perhatian selektif, informasi yang tertangap indra siswa dapat tersimpan dalam memori jangka pendek atau memori kerjanya. Upaya membangkitan perhatian siswa dapat dilakukan dengan menciptakan suasana yang kondusif, menegaskan pentingnya  siswa mempelajari materi. Perhatian siswa dapat dipertahankan dengan menyajikan materi pembelajaran secara menarik, misalnya menggunakan media pembelajaran. Selain itu siswa diberi kesempatan untuk bertanya dan menjawab pertanyaan.
2. Membuat Materi Pembelajaran Bermakna bagi Siswa Â
Penjelasan guru tentang pentingnya siswa mempelajari materi, selain untuk membangkitkan perhatian siswa juga untuk membuat materi menjadi berarti bagi siswa. Teknik lainnya yang dapat dilakukan guru adalah mengkaitkan apa yang akan dibahas dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah dimiliki oleh siswa. Meyer, seperti yang dikutip oleh  Schunk (2012: 217), menyebut teknik seperti itu dengan advance organizers, yaitu pernyataan luas yang disajikan di awal pembelajaran yang membantu menghubungkan materi baru dengan materi belajar sebelumnya.
3. Meringankan Beban Kognitif
Guru mempertimbangkan apakah beban kognitif terlalu  berat atau cukup bagi siswa. Sistem pemrosesan informasi memiliki keterbatasan dalam menangani begitu banyak pemrosesan sekaligus. Jika terlalu banyak informasi harus diproses, apa lagi terjadi secara bersamaan, maka siswa sebagai pemroses informasi  akan menghadapi kesulitan. Bahwa kapasitas memori kerja terbatas. Schunk menyebut fenomena yang demikian sebagai beban kognitif. Karena pemrosesan informasi membutuhkan waktu dan melibatkan banyak proses kognitif, pada waktu tertentu hanya informasi dalam jumlah terbatas yang dapat disimpan di memori kerja, ditransfer ke memori jangka panjang, dilatih, dan sebagainya (Schunk, 2012: 2017).
Beban kognitif, atau tuntutan pada sistem pemrosesan informasi, dapat terdiri dari dua jenis: intrinsic dan ekstrinsik. Menurut Bruning dan koleganya, beban kognitif intrinsik bergantung pada sifat informasi yang tidak dapat diubah untuk dipelajari dan dipermudah hanya ketika peserta didik memperoleh skema kognitif yang efektif untuk menangani informasi tersebut dan beban kognitif ekstrinsik disebabkan oleh cara penyajian materi atau aktivitas yang diperlukan peserta didik (Schunk, 2012: 2017). Misalnya, mahasiswa mempelajari materi kuliah berupa teori belajar pemrosesan informasi. Beban kognitif tertentu (intrinsik) melekat pada materi yang akan dipelajari, yaitu pemahaman konsep-konsep yang ada dalam teori tersebut. Sedangkan bagaimana dosen menjelaskan materi kuliah merupakan beban kognitif ekstrinsik mahasiswa. Dosen yang memberikan presentasi yang jelas membantu meminimalkan beban kognitif ekstrinsik, sedangkan dosen yang menjelaskan konsep-konsep ini dengan buruk meningkatkan beban ekstrinsik. Beban kognitif berupa materi belajar yang terlalu banyak mudah untuk dilupakan. Menurut teori interferensi (interference theory), lupa terjadi karena materi yang diterima  terlalu banyak, sehingga terjadi interferensi dan kemudian menyebabkan terjadinya lupa.
4. Pengulangan Sesering MungkinÂ
Pengulangan atau latihan (rehearsal) dapat membuat proses retrieval atau pengambilan informasi yang telah tersimpan menjadi lebih mudah. Menurut teori peluruhan (decay theory), bahwa lupa terjadi karena jejak-jejak ingatan memudar seiring waktu (Weiten, 2017: 240). Menurut teori tersebut jika materi yang tersimpan dalam sistem memori lama tidak diambil atau digunakan maka materi tersebut menjadi terlupakan. Misalnya, nomor HP yang masih aktif dan sering digunakan mudah diingat, sebailknya, nomor HP yang sudah tidak digunakan lagi mudah dilupakan. Selain itu dengan pengulangan terbentuk  otomastisitas (automaticity). Misalnya, ketika mata melihat sederet huruf, terjadi proses kognitif yang cepat berupa pengartian kata atau kalimat yang terbentuk dari huruf-huruf tersebut.
Daftar Pustaka
Goldstein, E.B. (2011). Cognitive Psychology: Connecting Mind, Research, and Everyday Experience. Belmont: Wardsworth.
Kail, R.V. & Cavanaugh, J.C. (2014). Essential of Human Development: A Life-Span View. Belmont: Wadsworth.
Santrock, J.W. (2018). Educational Psychology. New York: McGraw-Hill Education. Â
Schunk, D.H. (2012). Learning Theories: An Educational Perspective. Boston: Pearson.
Shaffer, D.R., & Kipp, K. (2014). Developmental Psychology: Childhood & Adolescence Ninth Edition. Belmont: Jon -- David Hague.
Wade, C. & Travis, C. (2007). Psikologi: Jilid 1. (Alih Bahasa: Padang Mursalim dan Dinastuti. Jakarta: Erlangga.
Weiten, W. (2017). Psychology: Themes and Variation. Boston: Cengage Learning.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H