Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Doom Spending, Bahaya Konsumerisme Digital

1 Oktober 2024   16:51 Diperbarui: 1 Oktober 2024   18:55 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pexels/AS Photography 

Saya ingat betul, dulu kalau kita butuh beli sesuatu, mulai dari kebutuhan rumah tangga sampai barang elektronik, pilihan pertama pasti pergi ke toko atau mal. Masih terbayang serunya berjalan-jalan di supermarket besar, kadang sekadar lihat-lihat saja, atau membawa pulang barang yang bahkan nggak ada di daftar belanja. Waktu itu, drugstore, minimarket, atau pusat perbelanjaan fisik memang menjadi tempat yang kita datangi untuk membeli barang-barang sehari-hari. Tapi, lihatlah sekarang, semuanya sudah berubah.

Budaya belanja online semakin hari semakin mengakar. Kita bisa lihat fenomena ini dari semakin banyaknya orang yang lebih memilih membuka aplikasi Shopee, TikTok Shop, atau Tokopedia daripada pergi ke toko langsung. Mungkin kamu juga salah satunya, termasuk saya juga, yang kadang lebih senang scroll barang di online shop daripada harus keluar rumah. Rasanya, dunia sekarang benar-benar bergerak ke arah digital dengan cepat. Dan ini tidak terjadi secara kebetulan. Ada faktor besar yang memengaruhi pergeseran ini: disrupsi digital.

Transformasi besar terjadi ketika toko-toko fisik mulai bermigrasi ke platform online. Di masa lalu, drugstore adalah tempat kita mendapatkan segala macam barang dengan mudah. Sekarang, fungsinya sudah tergantikan oleh marketplace virtual. E-commerce mulai menawarkan segalanya, dari kebutuhan sehari-hari sampai barang mewah, hanya dengan beberapa kali klik. Bahkan, TikTok Shop kini menawarkan pengalaman belanja yang jauh lebih interaktif---di mana kita bisa langsung membeli barang yang kita lihat di video.

Semakin hari, aplikasi-aplikasi e-commerce ini juga semakin dominan. Dulu, mungkin kita hanya mengenal satu atau dua marketplace besar seperti Bukalapak atau Lazada. Tapi sekarang, hampir setiap orang punya aplikasi Shopee atau Tokopedia di ponselnya, dan TikTok Shop baru-baru ini juga semakin ramai dibicarakan. Tidak hanya menyediakan barang yang kita butuhkan, tapi juga menghadirkan berbagai macam promosi dan diskon yang bikin kita sulit menolak.

Yang menarik adalah bagaimana perubahan ini mengubah cara kita berbelanja. Saya masih ingat masa-masa di mana belanja harus dijadwalkan, menyiapkan waktu khusus untuk pergi ke toko. Tapi sekarang, kita bisa belanja kapan saja, di mana saja. Aktivitas belanja tradisional ini pelan-pelan mulai ditinggalkan. Saya pun mulai merasakan bahwa keluar rumah hanya untuk berbelanja terasa seperti sesuatu yang jarang dilakukan. Semua kebutuhan, dari makanan, pakaian, hingga gadget, bisa datang ke rumah tanpa perlu repot-repot keluar. Rasanya benar-benar praktis!

Perubahan ini juga mencerminkan bagaimana dunia bisnis berubah, di mana konsumen kini mencari cara belanja yang lebih mudah dan efisien. Maka tak heran, online shopping menjadi semakin populer, bukan hanya karena kepraktisannya, tapi juga karena disrupsi digital yang terus mengubah cara kita hidup.

Dari Drugstore Menuju Mall Virtual

Jika kita bicara tentang belanja di masa lalu, ada sebuah konsep menarik yang dipopulerkan oleh Jean Baudrillard dalam bukunya The Consumer Society. Dia menyoroti bahwa di dunia modern, berbagai objek konsumsi sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Saya jadi teringat masa kecil, di mana belanja adalah sesuatu yang begitu "nyata" dan "fisik." Pusat perbelanjaan seperti supermarket besar, toko kelontong, dan mal menjadi simbol kemakmuran, di mana kita bisa mengakses hampir semua kebutuhan dalam satu tempat.

Namun, Baudrillard dengan tajam menjelaskan bahwa konsumerisme ini tidak hanya tentang kebutuhan fisik. Lebih dari itu, minat konsumsi kita dibentuk dan dirancang melalui berbagai objek baru yang memanipulasi selera dan keinginan. Bayangkan saja, di supermarket atau pusat perbelanjaan, kita tidak hanya membeli barang yang kita butuhkan, tetapi juga tergoda oleh barang-barang yang sebenarnya kita tidak pikirkan sebelumnya. Itu karena semuanya telah disusun secara apik untuk menarik perhatian kita. Begitu juga dengan "drugstore" besar, yang dulu sangat populer, contohnya seperti Parly 2 di Prancis, pusat perbelanjaan fisik yang bukan sekadar tempat belanja, tetapi juga pusat rekreasi dan aktivitas sosial.

Parly 2, yang digambarkan Baudrillard sebagai salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Eropa, lebih dari sekadar tempat berbelanja. Ada lebih dari 200 toko, tempat olahraga, perpustakaan, hingga tempat ibadah dan perumahan di sekitarnya. Drugstore ini benar-benar mengubah cara hidup masyarakat. Semua kategori komoditas ada di sana, mulai dari barang kebutuhan sehari-hari hingga barang-barang mewah yang memikat kita. Rasanya, saat kita berada di sana, seluruh hidup kita bisa dihabiskan di dalamnya---tidak hanya berbelanja, tetapi juga bersosialisasi dan bersantai.

Tapi lihatlah sekarang. Semua itu sudah berubah, dan digitalisasi membawa kita ke fase baru. Drugstore fisik seperti Parly 2 mulai bertransformasi, tidak lagi sekadar bangunan fisik, tetapi berubah menjadi marketplace virtual. Semua kebutuhan kita yang dulu ada di drugstore fisik, sekarang sudah bisa diakses dengan satu sentuhan di layar ponsel kita. Marketplace seperti Shopee, Lazada, dan Tokopedia kini berperan seperti Parly 2 di era modern---menyediakan berbagai barang, tetapi dalam bentuk digital.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun