Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Loyalitas Karyawan di Tengah Krisis

1 Oktober 2024   05:53 Diperbarui: 1 Oktober 2024   10:51 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat berbicara tentang bisnis, semua orang pasti menginginkan kesuksesan, baik itu pemilik maupun karyawan. Namun, dunia bisnis tidak selalu mulus. Ada kalanya bisnis mengalami penurunan, bahkan krisis yang tidak terhindarkan. Sebagai seorang pemilik bisnis, saya pernah merasakan masa-masa sulit ini. 

Di saat seperti itu, sebagai owner, tentu ada harapan bahwa karyawan akan tetap menghormati, loyal, dan memahami keadaan yang dihadapi perusahaan. Harapan bahwa mereka akan tetap bekerja dengan sepenuh hati, meskipun kondisi finansial perusahaan sedang goyah.

Namun, setelah melalui beberapa situasi sulit, saya mulai menyadari bahwa harapan tersebut sering kali tidak realistis. Kenapa? Karena setiap karyawan memiliki kebutuhan dan kepentingannya sendiri. 

Loyalitas dan pemahaman memang ideal, tapi pada kenyataannya, ketika bisnis sedang terpuruk dan hak-hak mereka seperti gaji mulai terlambat, tidak semua karyawan akan tetap loyal. Mereka mungkin berempati pada situasi saya, tetapi pada akhirnya, mereka juga harus memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Di sinilah sering terjadi benturan antara apa yang kita harapkan sebagai pemilik bisnis dan kenyataan di lapangan. Saya ingat saat pertama kali bisnis saya mengalami penurunan, saya mengira karyawan saya akan mengerti dan tetap setia bekerja. Namun, satu demi satu, saya melihat penurunan motivasi mereka. 

Mereka masih hadir di kantor, tetapi produktivitas menurun, sikap berubah, dan beberapa dari mereka bahkan mulai mencari pekerjaan lain. Hal ini tidak sepenuhnya salah mereka, karena mereka pun memiliki keluarga untuk dihidupi dan tagihan yang harus dibayar.

Makanya tidak adil untuk berharap semua karyawan akan tetap loyal dalam situasi krisis. Loyalitas karyawan bersifat terbatas, dan hanya beberapa orang tertentu saja yang mungkin tetap bertahan dan berjuang bersama Anda. Harapan bahwa semua karyawan akan memahami dan mendukung Anda dalam masa sulit bukanlah sesuatu yang bisa Anda andalkan sepenuhnya.

Keterkaitan dengan Kebutuhan Dasar Piramida Maslow

Ketika berbicara soal perilaku manusia, termasuk karyawan dalam sebuah bisnis, salah satu konsep paling mendasar yang sering dijadikan acuan adalah Piramida Maslow. 

Dalam teori ini, Maslow menggambarkan bahwa kebutuhan manusia terbagi ke dalam beberapa tingkatan, dimulai dari kebutuhan paling dasar hingga kebutuhan tertinggi yang disebut aktualisasi diri.

Di level paling dasar, ada kebutuhan fisiologis, seperti makanan, air, dan tempat tinggal. Ini adalah hal-hal yang kita butuhkan untuk bertahan hidup. Lalu ada kebutuhan akan keamanan, seperti keamanan pekerjaan dan finansial. Di atasnya ada kebutuhan akan cinta dan afeksi, rasa penghargaan, dan yang tertinggi adalah aktualisasi diri---dimana seseorang merasa sudah mencapai potensi penuh dalam hidupnya.

Bicara soal karyawan dalam sebuah bisnis, kebutuhan fisiologis dan keamanan adalah yang paling mendesak. Ketika bisnis saya mulai goyah dan keterlambatan gaji terjadi, harus disadari bahwa ini bukan sekadar soal uang. Ini tentang kebutuhan dasar mereka. 

Ketika gaji terlambat, karyawan saya tidak hanya melihat uang yang mereka butuhkan untuk membayar tagihan, tetapi juga ancaman langsung terhadap kemampuan mereka untuk makan, membayar sewa rumah, atau mendukung keluarga.

Hal ini sangat berkaitan dengan Piramida Maslow. Ketika kebutuhan dasar seperti itu terganggu, otomatis fokus mereka berpindah dari pekerjaan atau loyalitas kepada perusahaan ke "Bagaimana saya bisa memenuhi kebutuhan saya sekarang?" 

Dalam kondisi seperti ini, sangat sulit mengharapkan mereka tetap bekerja dengan produktif atau memberikan dedikasi yang sama seperti saat keadaan normal. Pikiran mereka akan dipenuhi oleh kecemasan mengenai apakah mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka dan keluarga mereka.

Dan ini memberikan saya pemahaman baru. Dalam bisnis, jika kita tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar karyawan, seperti gaji yang tepat waktu, maka kita juga tidak bisa berharap mereka bekerja dengan semangat atau loyal. Bahkan jika kita menjanjikan mereka bahwa gaji akan dibayarkan nanti, ancaman terhadap kebutuhan mereka yang mendasar sudah cukup untuk memicu rasa tidak aman dan kecemasan yang besar.

Saya pernah berpikir bahwa karyawan yang setia akan memahami situasi sulit ini dan tetap bekerja dengan baik meski ada keterlambatan. Namun, pada kenyataannya, ketika kebutuhan dasar mereka tersentuh, sangat sedikit dari mereka yang bisa melakukannya. Dan ini bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena secara psikologis, kebutuhan tersebut mendominasi perhatian mereka. Loyalitas dan dedikasi terhadap perusahaan akan memudar ketika kebutuhan dasar mereka tidak terpenuhi.

Dampak Keterlambatan Gaji terhadap Kinerja

Satu hal yang pasti saya sadari setelah melewati berbagai dinamika bisnis adalah bahwa keterlambatan gaji memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada sekadar masalah finansial. Ketika hak-hak dasar karyawan seperti gaji tertunda, hal ini berdampak langsung pada motivasi dan kinerja mereka. Tidak hanya karena mereka bergantung pada penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga karena keterlambatan tersebut menimbulkan ketidakpastian yang besar dalam hidup mereka.

Karyawan yang sebelumnya penuh semangat dan termotivasi perlahan mulai kehilangan fokus. Saya pernah melihat bagaimana performa beberapa karyawan yang biasanya sangat andal menurun drastis hanya karena ketidakpastian finansial yang dihadapi. 

Saat gaji mereka tertunda, karyawan tidak lagi memiliki rasa aman. Kecemasan tentang cara membayar tagihan, membeli bahan makanan, atau membiayai pendidikan anak mulai mengambil alih pikiran mereka, yang tentunya menggeser fokus dari pekerjaan.

Dalam situasi ini, penurunan kualitas kerja terjadi secara alami. Saya melihat bagaimana keterlambatan gaji membuat beberapa karyawan cenderung mengurangi effort mereka dalam pekerjaan. Mereka mulai datang terlambat, sering absen, atau hanya melakukan pekerjaan dengan standar minimum. Kinerja yang semula solid dan konsisten berubah menjadi tidak stabil dan sulit diprediksi. Ini adalah respons alami terhadap ketidakpastian yang mereka rasakan, dan ini semakin memperburuk produktivitas di perusahaan.

Yang lebih parah lagi, penurunan kinerja ini menciptakan siklus negatif yang semakin memperburuk kondisi perusahaan. Saat produktivitas turun, bisnis pun mulai kehilangan efisiensinya. 

Layanan kepada pelanggan mungkin terpengaruh, proyek-proyek tertunda, dan secara keseluruhan, perusahaan mulai kehilangan momentum untuk bangkit. Dengan begitu, perusahaan semakin kesulitan untuk menghasilkan pendapatan yang cukup untuk keluar dari masalah finansialnya, yang pada akhirnya memperpanjang atau bahkan memperparah keterlambatan gaji karyawan.

Ini menjadi semacam lingkaran setan yang sulit diputus. Karyawan tidak termotivasi karena hak-hak mereka terlambat, performa perusahaan menurun karena kurangnya produktivitas, dan pada akhirnya, masalah keuangan semakin parah. Siklus ini, jika tidak segera diatasi, bisa mempercepat kejatuhan bisnis.

Dari pengalaman pribadi saya, salah satu pelajaran paling berharga yang saya dapatkan adalah pentingnya menjaga hak-hak dasar karyawan, bahkan di saat-saat terburuk sekalipun. Ketika gaji tertunda, bukan hanya motivasi yang hilang, tetapi juga kepercayaan dan loyalitas. Dan tanpa itu, sangat sulit untuk memutarbalikkan keadaan perusahaan yang sedang terpuruk.

Pentingnya Realisme dan Pemahaman Terhadap Karyawan

Salah satu hal terpenting yang harus dipahami sebagai pemilik bisnis adalah karyawan bukanlah robot. Mereka adalah individu yang memiliki kebutuhan, emosi, dan batas toleransi terhadap ketidakpastian. Ini berarti, di saat bisnis sedang mengalami masa sulit, kita tidak bisa berharap mereka akan selalu mampu bertahan dengan pengertian penuh, apalagi jika kebutuhan dasar mereka terganggu.

Karyawan, sama seperti kita, memiliki tanggung jawab terhadap diri sendiri dan keluarga mereka. Dalam situasi bisnis yang normal, mungkin mereka bisa memberikan loyalitas dan komitmen yang penuh. Namun, ketika krisis melanda, dan mereka dihadapkan pada ketidakpastian finansial seperti keterlambatan gaji, batas toleransi mereka mulai diuji. Kita sebagai pemilik bisnis tidak bisa memaksakan harapan bahwa semua karyawan akan memahami dan tetap bekerja dengan kinerja optimal.

Ada satu pengalaman yang selalu membekas di pikiran saya. Saat itu, bisnis saya mengalami kesulitan besar, dan saya harus menghadapi kenyataan bahwa saya tidak mampu membayar gaji karyawan tepat waktu. 

Saya berharap mereka akan tetap setia dan memberikan waktu kepada saya untuk memperbaiki keadaan perusahaan. Namun, tidak semua karyawan merespons seperti yang saya harapkan. 

Beberapa tetap bekerja dengan baik, tetapi sebagian besar mulai mencari peluang di tempat lain. Mereka tidak bisa lagi bergantung pada perusahaan yang gagal memenuhi kebutuhan dasar mereka. 

Dari sini, saya belajar bahwa tidak semua karyawan memiliki kemampuan atau keinginan untuk memahami kondisi perusahaan, dan kita tidak bisa menyalahkan mereka.

Sebagai pemilik bisnis, kita sering kali memiliki harapan tinggi terhadap loyalitas dan pengorbanan karyawan. Kita berpikir bahwa mereka akan tetap setia karena kita telah membangun hubungan kerja yang baik selama ini. Namun, realitasnya, kesetiaan memiliki batas, terutama ketika kebutuhan dasar seperti gaji dan keamanan kerja tidak terpenuhi. Misalnya, ada seorang karyawan yang selama bertahun-tahun sangat berdedikasi. Namun, ketika situasi finansial perusahaan memburuk dan gaji mulai tertunda, dia harus memutuskan untuk mencari pekerjaan lain karena dia harus menghidupi keluarganya. Ini bukan tentang kurangnya kesetiaan, melainkan tentang prioritas hidup yang tak bisa diabaikan.

Pemahaman yang realistis adalah kunci di sini. Karyawan akan tetap memberikan yang terbaik selama mereka merasa aman dan kebutuhan mereka terpenuhi. Namun, di saat krisis, ekspektasi kita harus disesuaikan dengan kenyataan bahwa mereka juga manusia dengan kebutuhan dan tanggung jawab di luar pekerjaan. Harapan bahwa mereka akan selalu ada untuk kita tanpa kompromi, tanpa mengingat situasi mereka sendiri, adalah sesuatu yang tidak adil dan tidak realistis.

Sebagai pemilik bisnis, penting untuk memahami bahwa harapan terhadap karyawan harus bersifat fleksibel. Beberapa karyawan mungkin akan tetap loyal dalam krisis, tapi banyak yang tidak. Dan itu bukan kesalahan mereka. Ini adalah bagian dari dinamika bisnis yang harus kita terima dan antisipasi dengan lebih realistis.

Fokus pada Karyawan yang Tetap Mau Berjuang

Di tengah kesulitan yang dihadapi sebuah perusahaan, penting untuk mengidentifikasi karyawan yang tetap termotivasi meskipun keadaan sulit. Mereka adalah individu yang menunjukkan dedikasi dan komitmen, bersedia berjuang bersama perusahaan, dan menjadi pilar kekuatan yang dapat membantu memperbaiki situasi. Ketika banyak karyawan mungkin mulai merasa putus asa dan kehilangan motivasi, ada segelintir orang yang tetap berdiri teguh dan siap berkontribusi.

Karyawan yang tetap berjuang ini bukan hanya sekadar pekerja; mereka adalah aset berharga bagi perusahaan. Mereka memahami tantangan yang dihadapi dan siap berkorban untuk mencari solusi bersama. Sebagai pemilik bisnis, kita harus memberi perhatian khusus kepada mereka, memperkuat hubungan dengan cara memberikan pengakuan atas dedikasi mereka. Sederhana seperti mengucapkan terima kasih atau memberikan penghargaan kecil bisa berdampak besar pada motivasi mereka.

Namun, penting juga untuk menyadari bahwa tidak semua keputusan dari beberapa karyawan untuk keluar dari perusahaan berasal dari ketidaksetiaan. Ada karyawan yang memilih untuk resign demi mengurangi beban operasional perusahaan atau bisa juga mereka yang mencari lingkungan yang lebih stabil. Tindakan ini bisa jadi adalah keputusan yang bijak, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga demi kepentingan perusahaan. 

Karyawan-karyawan ini perlu dipahami dan dihargai, meskipun mereka memilih untuk pergi. Mereka patut diperhatikan karena keputusan mereka sering kali diambil setelah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk kesehatan mental dan stabilitas finansial mereka sendiri.

Dalam pengalaman saya, ada beberapa karyawan yang memilih untuk resign bukan karena mereka tidak setia, tetapi karena mereka merasa bahwa tetap tinggal hanya akan memperburuk situasi bagi perusahaan dan  mereka sendiri. Bisa saja mereka adalah orang-orang yang memiliki integritas tinggi dan merasa lebih baik untuk mencari peluang lain, di mana mereka bisa berkontribusi tanpa merasa tertekan oleh situasi yang tidak menentu.

Dengan mengenali dan memperkuat hubungan dengan karyawan yang tetap mau berjuang, kita bisa membangun tim yang solid di saat-saat sulit. Mereka adalah orang-orang yang akan membantu memulihkan perusahaan dan menciptakan suasana positif di tempat kerja. 

Di sisi lain, menghargai keputusan karyawan yang memilih untuk pergi juga penting. Ini menciptakan rasa saling menghormati dan memahami, yang dapat meninggalkan kesan positif dan mungkin suatu hari nanti mereka akan kembali ketika situasi sudah lebih baik.

Akhirnya, fokus pada karyawan yang tetap berjuang dan memahami keputusan karyawan yang resign adalah dua sisi dari koin yang sama. Dalam dunia bisnis yang penuh tantangan, kita perlu mengadopsi pendekatan yang seimbang dan empatik, untuk memastikan bahwa kita tidak hanya memperjuangkan keberlangsungan perusahaan, tetapi juga menghargai individu yang berkontribusi dalam perjalanan tersebut.

Tetaplah Obyektif dan Rasional

Dalam menghadapi situasi bisnis yang terpuruk, penting untuk diingat bahwa kita tidak bisa berharap terlalu banyak dari karyawan. Mereka bukanlah mesin yang selalu siap berfungsi dengan optimal tanpa mempertimbangkan kondisi yang ada. 

Sebaliknya, mereka adalah manusia dengan kebutuhan, emosi, dan batas toleransi yang harus dipahami dengan baik. Harapan bahwa setiap karyawan akan tetap loyal dan memahami kondisi perusahaan dalam saat-saat sulit sering kali tidak realistis.

Sebaliknya, kita perlu fokus pada karyawan yang tetap mau berjuang meskipun dalam keadaan sulit. Mereka adalah aset terbaik yang kita miliki, dan memperkuat hubungan dengan mereka akan menjadi langkah krusial dalam proses pemulihan. Menghargai dedikasi mereka dan memberikan dukungan yang mereka butuhkan adalah cara untuk membangun tim yang solid dan saling menguatkan.

Penting juga bagi kita untuk bersikap obyektif dan rasional dalam upaya menyelamatkan bisnis di masa sulit. Keputusan yang diambil harus didasarkan pada analisis yang cermat terhadap situasi, dengan mempertimbangkan baik kebutuhan karyawan yang berjuang maupun mereka yang memilih untuk resign demi kesejahteraan diri. Dengan demikian, kita dapat menciptakan strategi yang tidak hanya fokus pada keberlangsungan perusahaan, tetapi juga menjaga hubungan yang baik dengan seluruh karyawan.

Melalui pendekatan yang empatik dan realistis, kita tidak hanya bisa memulihkan bisnis yang terpuruk, tetapi juga membangun fondasi yang lebih kuat untuk masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun