Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Sukses Tanpa Kerja Keras, Realita atau Ilusi?

23 September 2024   10:54 Diperbarui: 23 September 2024   14:25 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Klaim bahwa kita bisa sukses tanpa kerja keras sering kali menjadi semacam rationalization---atau pembenaran---untuk menghindari usaha. Orang-orang yang mengusung konsep ini cenderung mencari jalan pintas, berharap ada cara ajaib untuk meraih sukses tanpa harus melewati proses yang penuh perjuangan. Padahal, sukses sejati biasanya justru lahir dari tantangan, kegagalan, dan kelelahan yang kita atasi dalam perjalanan.

Jadi, apakah mungkin sukses tanpa lelah? Mungkin saja, tapi sangat jarang. Sebagian besar kesuksesan datang dari usaha nyata yang sering kali tidak nyaman dan tidak mudah. Menormalkan capek bukan berarti meromantisasi kerja keras yang tidak sehat, tetapi menyadari bahwa setiap pencapaian besar membutuhkan proses yang tidak selalu menyenangkan.

Peran Tekanan Sosial dan Media Sosial

Klaim seperti "Sukses tanpa kelelahan" semakin diperkuat oleh media sosial. Kita sering melihat postingan dari orang-orang yang tampak sukses dengan gaya hidup yang nyaman---jalan-jalan, kerja dari pantai, tanpa terlihat mengalami stres atau kesulitan. Gambar-gambar ini menciptakan ilusi bahwa kesuksesan bisa datang dengan cara yang mudah, tanpa proses panjang atau pengorbanan. Tapi sayangnya, yang jarang diperlihatkan adalah perjuangan di balik layar.

Media sosial mempengaruhi cara kita memandang sukses dengan menampilkan highlight reel---momen-momen terbaik yang sering kali menyembunyikan realita kerja keras yang ada di belakangnya. Ini menciptakan tekanan sosial untuk terlihat sukses tanpa harus terlihat bekerja keras. Banyak dari kita mulai merasa bahwa kalau kita nggak sukses dengan cara yang mudah, berarti ada yang salah. Padahal, kenyataan jarang sesederhana itu.

Tekanan dari media sosial juga membuat kita percaya bahwa sukses harus datang cepat, atau kalau tidak, kita tertinggal. Kita melihat orang-orang muda yang tampaknya sudah mencapai banyak hal dalam hidup mereka, sementara kita masih berjuang di langkah-langkah awal. Akibatnya, kita mulai mencari cara untuk menghindari proses panjang itu, berharap bisa sampai ke tujuan tanpa harus melewati jalannya.

Ilusi tentang sukses yang instan dan tanpa usaha besar ini sangat berbahaya. Bukan hanya karena itu tidak realistis, tetapi juga karena itu menciptakan rasa putus asa bagi mereka yang menjalani prosesnya dengan benar. Mereka yang bekerja keras, mengalami tantangan dan kegagalan, bisa merasa bahwa mereka melakukan sesuatu yang salah hanya karena kesuksesan mereka tidak datang secepat yang terlihat di media sosial.

Pada akhirnya, tekanan sosial dari media sosial sering kali memperkuat keinginan untuk sukses tanpa kerja keras. Tapi, realitanya, setiap sukses besar yang kita lihat, baik di dunia nyata maupun dunia maya, pasti ada kerja keras di baliknya. Mungkin kita nggak melihatnya langsung, tapi mereka yang benar-benar sukses pasti melalui masa-masa sulit, lelah, dan penuh tantangan.

Berpikir Kritis vs. Berpikir Alasan

Ada orang yang menggunakan kepintarannya bukan untuk mencapai tujuan, tapi untuk mencari alasan agar bisa menghindari usaha. Alih-alih berpikir kritis dalam menghadapi tantangan, mereka memanipulasi argumen untuk membuat diri mereka tampak benar meskipun tidak melakukan apa pun. Inilah yang membedakan antara berpikir kritis dan berpikir alasan. Orang yang berpikir kritis akan menganalisis masalah dan mencari solusi yang konstruktif. Sedangkan, orang yang berpikir alasan akan mencari celah untuk menghindari tanggung jawab.

Contohnya, ketika disuruh bekerja lebih keras, mereka bisa bilang, "Banyak orang sukses yang nggak harus kerja sampai capek. Kita harus kerja cerdas, bukan kerja keras." Sekilas, argumen ini terdengar logis. Tapi sebenarnya, itu hanya pembenaran untuk kemalasan. Mereka fokus pada justifikasi daripada solusi. Kepintaran mereka digunakan untuk menghindari realita bahwa kesuksesan membutuhkan upaya nyata.

Saya pernah ketemu seseorang yang terus berdebat tentang kenapa dia nggak perlu melakukan hal-hal yang sudah terbukti membawa hasil. Dia sangat cerdas dalam memutarbalikkan argumen, sampai seolah-olah yang salah adalah mereka yang bekerja keras. Namun, ketika sampai pada eksekusi, dia tidak melakukan apa pun. Orang seperti ini menggunakan kepintarannya untuk "memenangkan" debat, bukan untuk mencapai sesuatu yang konkret.

Debat Tanpa Aksi

Ada banyak contoh di mana orang malas sering berdebat tentang kenapa mereka tidak mau melakukan sesuatu. Mereka memiliki kemampuan luar biasa untuk memutarbalikkan fakta, sehingga membuat alasan mereka terlihat masuk akal. Misalnya, ketika disuruh belajar atau bekerja lebih giat, mereka akan bilang, "Nggak semua orang harus kerja keras untuk sukses. Banyak kok yang bisa sukses dengan cara lebih santai."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun