Pernah nggak sih, kamu ketemu sama orang yang bilang, "Gue pengen sukses kayak lo," tapi pas dikasih tahu gimana caranya, tiba-tiba mereka jadi nggak mau melakukan apa pun? Rasanya gemas, kan? Apalagi kalau kamu sendiri tahu betapa kerasnya kamu harus bekerja untuk mencapai titik itu. Ya, fenomena seperti ini sering banget kita temui. Banyak orang pengen sukses, tapi nggak siap untuk menjalani proses yang penuh dengan kerja keras, tantangan, bahkan pengorbanan.
Mereka ini punya cita-cita tinggi, tapi mentalnya seperti orang yang malas. Bukannya mulai berusaha, mereka justru sibuk mencari-cari alasan. Mereka seolah punya jawaban untuk setiap saran yang diberikan. Misalnya, ketika disuruh bekerja lebih keras atau lebih fokus, tiba-tiba mereka jadi pintar berdebat, menyampaikan berbagai alasan kreatif kenapa mereka nggak bisa atau nggak mau melakukannya. Sering kali, alasan-alasan ini terdengar masuk akal, bahkan kadang kita sendiri sampai hampir percaya.
Salah satu alasan klasik yang sering muncul adalah, "Gue nggak perlu capek-capek kayak lo, gue bisa sukses dengan cara yang lebih gampang." Ini sering kita dengar terutama di era sekarang, di mana kesuksesan sering kali ditampilkan secara instan di media sosial---orang kaya, punya bisnis sukses, hidup mewah, tapi jarang kita lihat usaha keras di balik layar. Jadi, bagi sebagian orang, muncullah ilusi bahwa sukses bisa diraih tanpa harus melewati proses yang sulit. Mereka melihat hasil akhir tapi nggak tertarik untuk tahu perjuangan di balik itu.
Ada juga alasan yang lebih filosofis, seperti, "Gue nggak mau kerja keras karena gue percaya kerja keras itu overrated." Mereka percaya bahwa mereka bisa menemukan cara lain yang lebih 'pintar' atau lebih efisien untuk sukses, tanpa harus melalui proses yang melelahkan. Mereka sering bilang, "Kerja keras itu cuma buat orang yang nggak tahu cara kerja cerdas." Padahal, kenyataannya, kerja cerdas dan kerja keras sering kali harus berjalan beriringan. Bukannya saling menggantikan, keduanya justru saling melengkapi.
Tidak hanya itu, ada juga yang mengaitkan kemalasan mereka dengan kesehatan mental. Pernah dengar alasan seperti, "Gue nggak mau stress gara-gara kerja, gue nggak mau ngorbanin kesehatan mental gue untuk sukses"? Alasan ini tentu valid dalam konteks tertentu, tapi sering kali digunakan secara berlebihan oleh mereka yang sebenarnya cuma ingin menghindari kerja keras. Mereka takut menghadapi tantangan dan tekanan yang datang dari proses menuju sukses, dan akhirnya menjadikan 'kesehatan mental' sebagai tameng untuk membenarkan kemalasan.
Dan nggak jarang, orang-orang ini juga pandai menyalahkan lingkungan atau keadaan. "Gue nggak bisa kerja keras karena situasi gue nggak mendukung," atau, "Gue nggak punya kesempatan seperti lo." Ini adalah alasan yang sering kita dengar dari mereka yang menganggap sukses adalah soal keberuntungan semata, tanpa mengakui bahwa ada faktor usaha yang lebih besar. Mereka merasa kalau mereka nggak diberi kesempatan emas sejak awal, ya nggak ada gunanya berusaha.
Dengan begitu banyak alasan kreatif, mereka terus menghindari usaha yang sebenarnya diperlukan untuk mencapai sukses. Setiap kali ada tantangan, alih-alih mengambil langkah untuk menghadapinya, mereka malah mundur dengan serangkaian justifikasi yang tampak masuk akal di permukaan.
Pada akhirnya, masalahnya bukan tentang mereka nggak tahu apa yang harus dilakukan. Sering kali, mereka tahu persis langkah-langkah apa yang diperlukan. Masalahnya adalah mereka nggak mau melakukan langkah-langkah tersebut karena terlalu fokus mencari jalan pintas atau alasan untuk tetap di zona nyaman. Dan di sinilah perbedaan besar antara orang yang benar-benar ingin sukses dan orang yang hanya suka bermimpi tentang sukses tanpa mau berkorban apa-apa.
Obsesi dengan Hasil, Bukan Proses
Di era digital ini, kita sering disuguhkan gambaran kesuksesan yang terlihat sempurna. Lihat saja di media sosial---ada orang yang tiba-tiba sukses besar, beli mobil mewah, rumah besar, jalan-jalan ke luar negeri, dan semua itu kelihatan seolah datang dengan mudah. Apa yang jarang kita lihat adalah proses di balik layar, di mana mereka harus melewati tahun-tahun penuh kerja keras, belajar dari kegagalan, dan berkorban banyak hal.
Budaya modern sering kali menekankan hasil akhir: kesuksesan, uang, ketenaran, dan kebahagiaan. Kita lebih tertarik dengan apa yang didapatkan, bukan dengan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Hal ini menciptakan persepsi bahwa sukses bisa datang tanpa kerja keras. Orang-orang jadi terobsesi dengan hasil, tapi malas melalui proses yang panjang dan melelahkan. Mereka ingin segala sesuatu serba cepat, serba instan.