Belakangan ini, kita semua pasti merasakan perubahan yang cepat di sekitar kita—baik itu dari segi kebijakan pemerintah maupun kondisi ekonomi yang tidak menentu. Salah satu yang cukup mengganggu adalah kemunculan kebijakan baru yang seolah tidak mempertimbangkan kelas menengah, kelompok yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi kita. Saya sering berpikir, bagaimana mungkin kita bisa mencapai visi "Indonesia Emas" jika kelas menengah—yang diprediksi akan menjadi kunci—dibiarkan terpuruk dalam kesulitan?
Bayangkan sejenak, kita adalah bagian dari kelas menengah, menghadapi stagnasi gaji, naiknya pajak, dan inflasi yang terus melambung. Rasanya seperti berjuang tanpa arah, bukan? Jika pemerintah terus mengabaikan peran dan kebutuhan kita, dampaknya bisa sangat serius. Kita mungkin tidak hanya melihat penurunan daya beli, tetapi juga peningkatan ketidakpuasan yang bisa berujung pada masalah sosial yang lebih besar di masa depan.
Potret Kelas Menengah Indonesia Saat Ini
Jika kita berbicara tentang kelas menengah, mungkin sebagian dari kita langsung terbayang kehidupan yang "cukup," dengan gaji stabil, rumah yang layak, dan tabungan untuk masa depan. Tapi kenyataannya, potret kelas menengah di Indonesia saat ini tidak seindah itu. Stagnasi gaji dan beban pajak yang semakin berat membuat banyak dari kita terjebak di zona yang tidak nyaman.
Bayangkan ini: gaji yang Anda terima hampir tidak naik dari tahun ke tahun, sementara harga kebutuhan sehari-hari terus melonjak. Saya pribadi merasa dampaknya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya kebutuhan pokok yang naik harganya, tetapi juga biaya pendidikan anak, biaya kesehatan, dan bahkan pajak yang seakan tidak ada habisnya. Rasanya semakin sulit menabung, apalagi berbicara soal investasi untuk masa depan. Jika kita merasakan ini, maka bukan tidak mungkin seluruh lapisan kelas menengah mengalami hal serupa.
Kelas menengah adalah kelompok yang paling terdampak inflasi, dan daya beli kita terus tergerus. Menurut saya, fenomena ini sudah berlangsung lama, tapi baru benar-benar terasa signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kenaikan harga bahan pokok dan kebutuhan lainnya semakin menyempitkan ruang gerak finansial. Kita tidak bisa lagi membeli barang-barang konsumtif seperti dulu, karena fokus utama sudah berpindah pada bertahan hidup di tengah kenaikan harga.
Apa yang lebih ironi lagi adalah fakta bahwa kelas menengah selama ini menjadi motor penggerak bagi sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Kita sering kali menjadi konsumen setia bagi produk-produk UMKM lokal, sekaligus berperan sebagai pelaku bisnis kecil-kecilan di sektor ini. Namun, meskipun kontribusi kita jelas terlihat, perhatian dari pemerintah sering kali terasa minim. Bantuan atau insentif yang diberikan lebih banyak difokuskan pada usaha besar atau kelompok masyarakat yang berada di garis kemiskinan. Kita yang berada di "tengah" ini, seolah terabaikan.
Dalam hati saya, saya merasa bahwa perhatian yang layak terhadap kelas menengah tidak hanya soal dukungan finansial. Ini tentang bagaimana pemerintah bisa menciptakan kebijakan yang memihak pada kita—bukan malah menambah beban dengan pajak yang lebih tinggi atau kurangnya akses terhadap pembiayaan yang terjangkau. Saatnya kita bicara, bahwa kelas menengah juga butuh perhatian.
Data dan Statistik Terkini
Untuk memperkuat gambaran tentang kondisi kelas menengah saat ini, mari kita lihat beberapa data terbaru. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan drastis dalam beberapa tahun terakhir. Dari 57,3 juta orang pada tahun 2019, angka ini turun menjadi 47,8 juta jiwa pada tahun 2024. Penurunan ini jelas bukan angka yang kecil, dan tentu saja mencerminkan berbagai tantangan yang dihadapi oleh kelas menengah. Saya merasa data ini hanya mengkonfirmasi apa yang kita rasakan setiap hari—bahwa semakin banyak dari kita yang jatuh ke dalam jurang ketidakpastian ekonomi.
Lebih menarik lagi, meskipun jumlah kelas menengah menurun, kontribusi kita terhadap perekonomian nasional tetap sangat besar. Data menunjukkan bahwa kelas menengah menyumbang sekitar 81,49% dari total konsumsi nasional. Artinya, meskipun kita mengalami banyak kesulitan, daya konsumsi kita masih menjadi pilar penting dalam menjaga perekonomian Indonesia tetap berjalan. Ini bukti nyata bahwa kelas menengah tidak bisa dianggap remeh.
Dari pengalaman saya pribadi, menjadi bagian dari kelas menengah memang sering kali terasa seperti berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kita berusaha untuk terus maju dan berkontribusi dalam segala aspek, baik sebagai konsumen maupun pelaku bisnis. Di sisi lain, tekanan dari kondisi ekonomi yang tidak menentu sering kali membuat kita merasa tidak cukup mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah. Jika terus seperti ini, apakah kita masih bisa bertahan dalam jangka panjang? Saya merasa ini adalah pertanyaan yang harus dijawab oleh para pembuat kebijakan.
Data penurunan jumlah kelas menengah juga membuka diskusi lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Banyak dari kita mungkin merasa bahwa kenaikan harga dan stagnasi pendapatan adalah tantangan yang paling jelas, tapi sebenarnya lebih dari itu. Kelas menengah juga menghadapi tantangan dalam hal akses terhadap pembiayaan, perlindungan sosial, dan jaminan masa depan yang lebih stabil. Jika kita tidak mulai memperhatikan dan memperjuangkan hak kita sebagai kelas menengah, tidak menutup kemungkinan bahwa angka-angka ini akan terus menurun.
Kita sering kali lupa bahwa kelas menengah adalah kelompok yang paling dinamis dalam masyarakat. Kelas menengah bukan hanya konsumen terbesar, tetapi juga inovator, pelaku bisnis kecil, dan bahkan penggerak utama perubahan sosial. Tanpa kelas menengah yang kuat, ekonomi kita akan kehilangan fondasi yang penting. Oleh karena itu, melalui artikel ini, saya berharap kita semua bisa mulai lebih sadar akan pentingnya peran kelas menengah dalam perekonomian nasional. Kita harus bersuara dan mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang benar-benar mendukung kita—tidak hanya untuk bertahan, tapi juga untuk berkembang.
Pada akhirnya, saya percaya bahwa kelas menengah adalah kunci menuju masa depan yang lebih baik bagi Indonesia. Dengan dukungan yang tepat, kita bisa terus mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan bahwa visi "Indonesia Emas" benar-benar bisa tercapai. Tetapi untuk itu, kita membutuhkan kebijakan yang memihak dan mendukung pertumbuhan kelas menengah secara berkelanjutan.
Kebijakan yang Abai Terhadap Kelas Menengah
Sebagai bagian dari kelas menengah, rasanya semakin hari semakin berat menghadapi berbagai kebijakan pemerintah yang seolah mengabaikan kebutuhan kita. Salah satu kebijakan yang paling terasa dampaknya adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Bagi banyak orang, kenaikan ini mungkin terlihat kecil, tetapi bagi kelas menengah, hal ini berdampak besar. Bayangkan setiap kali Anda membeli kebutuhan sehari-hari atau layanan yang penting, pajak yang Anda bayar terus meningkat. Saya merasakannya setiap kali berbelanja, harga barang-barang yang sebelumnya masih terjangkau, kini semakin mahal karena pajak yang terus bertambah. Bukan hanya itu, kita juga harus memperhitungkan kenaikan biaya lain yang mungkin akan berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari.
Tidak berhenti di sana, kenaikan biaya pendidikan juga menjadi salah satu masalah serius yang dihadapi kelas menengah. Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) hingga 500% di beberapa perguruan tinggi benar-benar memukul keluarga kelas menengah. Banyak dari kita yang berharap bisa memberikan pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak, tetapi biaya pendidikan yang semakin mahal membuat mimpi itu semakin jauh dari jangkauan. Bagi saya pribadi, ini adalah salah satu kekhawatiran terbesar, karena pendidikan adalah investasi penting untuk masa depan anak-anak kita. Namun, dengan kenaikan biaya yang begitu tinggi, tidak sedikit keluarga yang harus mengorbankan tabungan masa depan demi bisa membiayai pendidikan anak mereka.
Kemudian, ada juga kenaikan pajak bahan bakar kendaraan dan tarif tol. Sebagai pengguna kendaraan pribadi yang sering bepergian, saya bisa merasakan langsung dampaknya. Kenaikan pajak bahan bakar bukan hanya membebani pengeluaran harian, tetapi juga mempengaruhi biaya transportasi secara keseluruhan. Tidak hanya itu, tarif tol yang terus naik juga semakin memperberat beban, terutama bagi kita yang harus sering menggunakan jalan tol untuk bekerja atau berbisnis. Rasanya seperti setiap aspek kehidupan kita sebagai kelas menengah terus dikikis oleh kebijakan-kebijakan yang tidak mempertimbangkan kebutuhan dan keterbatasan kita.
Di satu sisi, kita adalah kelompok yang dianggap cukup mampu untuk menanggung kenaikan pajak dan biaya. Namun di sisi lain, kita sebenarnya berada dalam posisi yang rentan, di mana sedikit kenaikan pada pengeluaran harian bisa berdampak besar pada kestabilan keuangan jangka panjang. Kebijakan seperti ini, alih-alih membantu kelas menengah, justru semakin membebani kita dan mempersempit ruang gerak ekonomi.
Kebijakan Kosmetik Pemerintah
Satu hal yang selalu mengusik pikiran saya adalah bagaimana pemerintah sering kali menangani masalah kelas menengah dengan kebijakan kosmetik. Alih-alih mencari solusi jangka panjang, pemerintah cenderung memilih jalan pintas dengan memberikan subsidi atau bantuan sosial (Bansos) yang sifatnya sementara. Subsidi bahan bakar, misalnya, hanya memberikan sedikit kelonggaran bagi kita dalam jangka pendek, tapi tidak menyelesaikan masalah utama yang ada.
Saat mendapatkan bantuan, mungkin kita merasa sedikit lega. Namun, kita juga tahu bahwa bantuan ini tidak akan bertahan lama, dan ketika habis, kita kembali ke posisi awal—terjebak dalam beban ekonomi yang terus meningkat. Saya merasa bahwa kebijakan semacam ini hanya memberikan solusi jangka pendek, seolah-olah menambal luka tanpa menyembuhkannya. Pada akhirnya, kita hanya diberi janji manis yang tidak benar-benar membantu dalam menghadapi tantangan ekonomi yang semakin kompleks.
Selain itu, Bansos sering kali lebih difokuskan pada kelompok masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, sementara kelas menengah jarang sekali mendapat perhatian. Kita di kelas menengah sering kali terjebak dalam posisi yang membingungkan. Di satu sisi, kita tidak tergolong miskin sehingga tidak memenuhi syarat untuk bantuan sosial. Namun di sisi lain, kita juga tidak cukup kaya untuk bisa dengan mudah menghadapi kenaikan pajak, biaya pendidikan, dan biaya hidup lainnya. Kondisi ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara kelas menengah dengan kelompok lain dalam masyarakat.
Menurut saya, pemerintah perlu berhenti mengandalkan kebijakan kosmetik seperti subsidi dan Bansos untuk menangani masalah kelas menengah. Ini hanya akan memberikan efek sementara, tanpa pernah benar-benar mengatasi akar permasalahan yang dihadapi. Alih-alih fokus pada solusi jangka pendek, pemerintah seharusnya mulai memikirkan kebijakan yang bisa memberikan dampak jangka panjang bagi kita. Kebijakan yang lebih memihak pada kelas menengah, seperti pengurangan beban pajak, dukungan untuk pendidikan yang lebih terjangkau, serta akses terhadap pembiayaan yang lebih mudah, akan jauh lebih efektif dalam membantu kita menghadapi tantangan ekonomi.
Pada akhirnya, saya percaya bahwa kelas menengah bukanlah kelompok yang meminta bantuan, tetapi kita membutuhkan dukungan yang lebih adil dan kebijakan yang lebih berpihak. Jika terus menerus diabaikan, kelas menengah bisa saja mengalami penurunan yang signifikan, dan ini tentu akan berdampak pada perekonomian secara keseluruhan. Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk memperbaiki situasi ini sebelum terlambat, karena tanpa kelas menengah yang kuat, ekonomi kita tidak akan bisa tumbuh dengan baik.
Dampak Pengabaian Kelas Menengah
Kita semua tahu bahwa kelas menengah memainkan peran penting dalam roda perekonomian. Namun, ketika kelas menengah terus diabaikan, dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh individu-individu dalam kelompok ini, tetapi juga oleh seluruh perekonomian nasional. Salah satu dampak yang paling jelas adalah penurunan daya beli. Ketika pajak meningkat, biaya pendidikan membengkak, dan harga-harga kebutuhan sehari-hari terus naik, daya beli kita sebagai kelas menengah semakin tergerus. Pada akhirnya, ini berdampak langsung pada sektor ekonomi yang bergantung pada konsumsi kelas menengah, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Bayangkan, kelas menengah adalah konsumen utama dari banyak produk dan layanan yang disediakan oleh UMKM. Ketika daya beli kita turun, otomatis konsumsi terhadap produk-produk UMKM juga menurun. Saya merasakannya sendiri, ketika saya harus lebih ketat mengelola pengeluaran harian, yang dulu bisa membeli produk lokal secara rutin, kini harus berpikir ulang apakah itu benar-benar kebutuhan atau bisa ditunda. Dalam skala besar, penurunan konsumsi ini jelas akan berdampak signifikan pada pendapatan UMKM. Bagi mereka yang sudah berjuang untuk bertahan di tengah ketatnya persaingan, ini bisa menjadi pukulan telak.
Penurunan daya beli kelas menengah juga memperparah ketimpangan sosial. Saat ini, kita melihat bagaimana kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin semakin melebar. Kelas menengah yang seharusnya menjadi penghubung antara kedua kelompok ini justru semakin terjepit. Akibatnya, jurang antara si kaya dan si miskin semakin dalam, dan ini menciptakan ketidakstabilan sosial yang berbahaya. Saya sering mendengar keluhan dari teman-teman sesama kelas menengah tentang bagaimana mereka merasa terjebak dalam situasi di mana kebutuhan hidup semakin tinggi, namun penghasilan tidak mengalami peningkatan yang sepadan.
Ketimpangan sosial yang semakin lebar bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga bisa berujung pada masalah sosial yang lebih serius. Ketidakpuasan dari masyarakat kelas menengah bisa memicu gejolak sosial dan protes. Kita tentu tidak ingin melihat situasi seperti ini terjadi di Indonesia, namun jika pengabaian terhadap kelas menengah terus berlangsung, ini adalah ancaman nyata yang bisa kita hadapi.
Analog "Titanik" untuk Kelas Menengah
Situasi yang dihadapi kelas menengah saat ini bisa dianalogikan dengan nasib para penumpang Titanic. Kelas menengah yang dulunya menikmati stabilitas ekonomi, kini seperti penumpang kapal besar yang mulai karam, mencari jalan untuk bertahan di tengah tantangan ekonomi yang semakin berat. Seperti halnya penumpang Titanic yang terjebak dalam situasi darurat tanpa peringatan sebelumnya, kelas menengah juga menghadapi berbagai kebijakan yang terasa mendadak dan tidak selalu bisa diantisipasi. Kenaikan pajak, biaya hidup, dan tekanan finansial lainnya datang seperti ombak besar yang menghantam kapal kita.
Banyak dari kita yang mungkin tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti sekarang. Dahulu, dengan penghasilan yang stabil, kita bisa merencanakan masa depan dengan lebih tenang—membeli rumah, menabung untuk pendidikan anak, bahkan menyisihkan untuk liburan tahunan. Namun, kini, semua itu terasa seperti kemewahan yang sulit dicapai. Di atas Titanic, penumpang kelas menengah terpaksa harus berjuang mencari sekoci yang terbatas jumlahnya, hanya untuk menyelamatkan diri. Demikian pula dengan kita yang kini berusaha mencari celah di tengah ekonomi yang semakin ketat, berusaha mencari cara untuk bertahan tanpa ada dukungan yang memadai dari kebijakan pemerintah.
Kita tidak bisa terus-menerus berharap bahwa situasi ini akan membaik dengan sendirinya. Seperti penumpang Titanic yang membutuhkan tindakan cepat untuk menyelamatkan diri, kelas menengah juga memerlukan kebijakan yang lebih konkret dan nyata untuk mengatasi tantangan ini. Pemerintah harus menyadari bahwa jika kelas menengah terus dibiarkan terombang-ambing tanpa solusi, kapal ekonomi Indonesia bisa karam.
Namun, yang paling penting adalah kesadaran bahwa kelas menengah bukanlah penumpang yang bisa diabaikan begitu saja. Kita adalah bagian dari mesin utama yang menjaga perekonomian tetap berjalan. Jika kita tenggelam, maka seluruh sistem ekonomi juga berisiko runtuh. Pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk menghindari skenario Titanic ini, di mana kelas menengah terpaksa berjuang sendiri tanpa dukungan yang jelas. Kita butuh kebijakan yang tidak hanya memperbaiki masalah sementara, tetapi juga memberikan solusi jangka panjang yang bisa menstabilkan perekonomian dan mengangkat kembali daya beli kelas menengah.
Pada akhirnya, situasi kelas menengah saat ini sangat mencerminkan bagaimana sebuah kapal besar bisa terancam karam jika tidak ada tindakan yang tepat dan cepat. Namun, masih ada harapan. Selama pemerintah dan para pemangku kebijakan menyadari pentingnya peran kita dalam perekonomian, ada kesempatan untuk membalikkan keadaan dan menyelamatkan "kapal" ini sebelum benar-benar tenggelam.
Peran Kelas Menengah dalam Indonesia Emas
Kelas menengah di Indonesia memiliki peran yang tak tergantikan dalam struktur ekonomi nasional. Bagi banyak dari kita yang hidup sebagai bagian dari kelas menengah, kita mungkin sering merasa diabaikan atau dianggap tidak penting oleh kebijakan pemerintah. Namun, kenyataannya, kita adalah pilar ekonomi yang menopang banyak sektor, khususnya UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. UMKM ini mempekerjakan jutaan orang, menyediakan produk dan jasa yang vital, serta menjaga keseimbangan ekonomi lokal dan nasional.
Ketika saya berpikir tentang peran kelas menengah dalam perekonomian, saya teringat bagaimana keluarga saya sering mendukung usaha-usaha kecil lokal. Dari membeli makanan di warung, hingga memilih pakaian dari butik UMKM. Kelas menengah seperti kita tidak hanya konsumtif, tetapi juga berkontribusi besar dalam perputaran ekonomi. Kami adalah motor konsumsi yang mendorong pertumbuhan dan perputaran uang di pasar domestik. Dengan daya beli yang kuat, kelas menengah mampu menjaga kestabilan ekonomi, bahkan di saat krisis.
Namun, pentingnya kelas menengah bukan hanya soal konsumsi. Lebih dari itu, kelas menengah menjadi penyeimbang antara kelompok kaya dan miskin, mengisi celah yang memungkinkan ekonomi bergerak secara lebih stabil. Ketika ada ketimpangan yang terlalu besar antara kedua kelompok tersebut, kelas menengahlah yang menjaga ekonomi agar tetap dinamis.
Selain itu, peran kelas menengah sangat penting dalam mencapai visi "Indonesia Emas 2045". Visi ini bukan sekadar janji atau target nasional, melainkan gambaran tentang Indonesia yang sejahtera dan maju pada 2045, tepat di 100 tahun kemerdekaan kita. Kelas menengah yang produktif dan stabil adalah kunci untuk mewujudkan visi ini. Jika kelas menengah diberdayakan dengan kebijakan yang tepat, kita dapat memastikan bahwa perekonomian Indonesia tidak hanya tumbuh, tetapi juga inklusif dan berkelanjutan.
Potensi Kelas Menengah
Bicara soal potensi, kelas menengah Indonesia memiliki kekuatan yang sangat besar. Dengan sumber daya dan akses yang dimiliki, kita bisa menjadi agen perubahan yang signifikan, baik secara ekonomi maupun sosial. Namun, potensi ini tidak akan pernah terwujud jika kelas menengah terus diabaikan atau dibebani dengan kebijakan yang tidak proporsional.
Saya pribadi merasakan bahwa kelas menengah adalah kelompok yang paling dinamis dan inovatif. Banyak dari kita yang berani membuka usaha kecil-kecilan, menciptakan produk baru, atau berpartisipasi dalam ekonomi digital. Bahkan, di tengah tekanan ekonomi seperti sekarang, banyak teman dan kolega saya yang terus berusaha mencari peluang untuk berkembang. Di sinilah pentingnya dukungan kebijakan yang tepat, karena potensi kita sebagai penggerak ekonomi dapat lebih optimal jika diberi kesempatan yang layak.
Selain itu, kelas menengah juga memiliki peran yang besar dalam perubahan sosial. Kita adalah kelompok yang paling banyak terlibat dalam pendidikan anak-anak, memastikan generasi berikutnya memiliki akses terhadap pendidikan yang lebih baik. Kelas menengah juga merupakan konsumen informasi yang aktif, sering terlibat dalam diskusi tentang isu-isu sosial dan politik yang berdampak pada kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, kelas menengah memiliki kekuatan untuk mempengaruhi arah perubahan sosial yang lebih baik, baik melalui tindakan langsung maupun partisipasi dalam pengambilan keputusan publik.
Bayangkan, jika pemerintah dan pemangku kebijakan benar-benar memperhatikan kelas menengah dan memberikan kebijakan yang mendukung, bukan tidak mungkin kita bisa menjadi tulang punggung bagi Indonesia Emas. Dengan daya beli yang kuat, semangat wirausaha yang tinggi, serta kontribusi dalam perubahan sosial, kelas menengah dapat mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan sosial secara lebih signifikan.
Namun, semua potensi ini tidak akan terwujud tanpa dukungan yang konkret. Kelas menengah perlu diberikan insentif, baik dalam bentuk kebijakan perpajakan yang lebih adil, akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang terjangkau, serta dukungan terhadap UMKM dan sektor-sektor kreatif. Dengan dukungan tersebut, kelas menengah dapat berkembang menjadi agen perubahan yang tidak hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga bagi seluruh bangsa.
Di masa depan, kelas menengah akan memainkan peran yang semakin penting dalam peta ekonomi global. Kita bisa menjadi contoh bagi negara-negara berkembang lainnya, menunjukkan bahwa dengan dukungan yang tepat, kelas menengah mampu membawa bangsa menuju kemajuan yang berkelanjutan. Indonesia Emas bukan hanya tentang pencapaian ekonomi, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa menciptakan masyarakat yang seimbang, adil, dan inklusif, di mana kelas menengah memiliki peran yang sentral dalam setiap aspek kehidupan.
Pada akhirnya, kelas menengah tidak hanya menjadi konsumen atau pekerja yang mendukung roda ekonomi. Kita adalah kelompok yang punya suara, punya potensi besar, dan jika diberdayakan dengan benar, bisa membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah dan sejahtera. Indonesia Emas 2045 bukan hanya impian, tetapi bisa menjadi kenyataan jika kelas menengah diakui sebagai pilar utama dalam mewujudkan visi tersebut.
Kebijakan yang Lebih Inklusif
Ketika kita berbicara tentang kebijakan yang inklusif, fokus utamanya adalah bagaimana pemerintah dapat merancang kebijakan yang merangkul semua kalangan, khususnya kelas menengah. Saat ini, kelas menengah seringkali berada di persimpangan; di satu sisi mereka tidak tergolong sebagai kelompok yang rentan atau miskin, tetapi di sisi lain mereka belum benar-benar dianggap "mapan." Ini membuat posisi kelas menengah sangat rentan terhadap kebijakan ekonomi yang tidak adil, seperti kenaikan pajak atau penurunan daya beli akibat inflasi.
Salah satu solusi yang perlu dipertimbangkan pemerintah adalah reformasi pajak yang lebih adil. Sebagai bagian dari kelas menengah, saya dan mungkin banyak dari kita merasa beban pajak yang kian meningkat tidak selalu diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan. Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) misalnya, seringkali dirasakan sebagai beban tambahan yang memberatkan, terutama ketika pendapatan riil tidak mengalami peningkatan yang signifikan.
Pemerintah harus mempertimbangkan reformasi pajak yang lebih ramah terhadap kelas menengah. Mungkin ada baiknya meninjau kembali skala tarif pajak penghasilan agar lebih proporsional. Dalam skenario ideal, pajak yang dibayarkan oleh kelas menengah harus diimbangi dengan peningkatan kualitas layanan publik, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan, yang menjadi kebutuhan utama keluarga kelas menengah.
Selain itu, standar kemiskinan dan klasifikasi kelas menengah harus disesuaikan dengan kondisi aktual. Banyak dari kita yang mungkin sudah merasa "terjepit" karena pendapatan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi masih dianggap sebagai kelas menengah oleh standar pemerintah. Penyesuaian yang lebih realistis ini akan memberikan gambaran yang lebih akurat tentang kondisi ekonomi masyarakat, sehingga kebijakan yang diambil juga lebih tepat sasaran.
Kebijakan inklusif lainnya yang perlu diprioritaskan adalah peningkatan upah riil. Sebagai tenaga kerja yang berkontribusi besar terhadap produktivitas nasional, kelas menengah seharusnya mendapatkan perlindungan dari stagnasi upah yang tidak sebanding dengan inflasi. Dengan peningkatan upah riil, kelas menengah akan memiliki daya beli yang lebih kuat, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Pentingnya Kebijakan Jangka Panjang
Salah satu kelemahan utama dalam kebijakan ekonomi saat ini adalah kecenderungan untuk fokus pada solusi jangka pendek. Misalnya, subsidi dan bantuan sosial (Bansos) yang sering kali hanya menjadi pereda sementara tanpa menyentuh akar masalah. Subsidi ini, meskipun penting untuk membantu masyarakat rentan, tidak akan cukup untuk membangun kesejahteraan jangka panjang bagi kelas menengah.
Pemerintah harus mulai berfokus pada kebijakan yang memiliki dampak jangka panjang. Salah satu contohnya adalah investasi dalam sektor pendidikan dan kesehatan. Kelas menengah sangat bergantung pada kedua sektor ini untuk menjaga kualitas hidup mereka. Saya pribadi merasakan betapa mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan yang sering kali tidak sebanding dengan pendapatan. Jika pemerintah dapat mengalokasikan lebih banyak dana untuk membuat pendidikan dan layanan kesehatan yang lebih terjangkau dan berkualitas, itu akan sangat membantu kelas menengah dalam mengatasi tantangan ekonomi mereka.
Selain itu, investasi infrastruktur yang lebih inklusif juga sangat penting. Infrastruktur yang baik, seperti transportasi umum yang terjangkau, perumahan yang layak, dan akses ke air bersih, akan meningkatkan kualitas hidup kelas menengah. Banyak dari kita yang masih harus bergantung pada kendaraan pribadi karena kurangnya transportasi umum yang memadai. Ini jelas meningkatkan biaya hidup, belum lagi polusi yang dihasilkan dari meningkatnya jumlah kendaraan di jalan.
Saya percaya, jika pemerintah dapat merancang kebijakan yang lebih berfokus pada jangka panjang, kelas menengah akan memiliki landasan yang lebih kuat untuk berkembang dan berkontribusi lebih signifikan terhadap perekonomian nasional. Ini bukan hanya soal memberikan bantuan atau subsidi, melainkan menciptakan ekosistem di mana kelas menengah dapat berkembang secara mandiri dan berkelanjutan.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kebijakan jangka panjang ini harus konsisten. Tidak jarang, kebijakan yang baik dimulai tetapi tidak dilanjutkan karena perubahan rezim politik atau prioritas anggaran yang berubah-ubah. Konsistensi dan komitmen pemerintah sangat dibutuhkan agar kebijakan yang dirancang untuk kelas menengah dapat memberikan dampak yang nyata dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, saya yakin bahwa kelas menengah memiliki potensi besar untuk membawa Indonesia menuju visi "Indonesia Emas 2045." Namun, potensi ini hanya dapat terwujud jika pemerintah memberikan perhatian yang cukup melalui kebijakan yang inklusif dan berjangka panjang. Kelas menengah bukanlah kelompok yang bisa diabaikan begitu saja. Mereka adalah pilar ekonomi yang akan menentukan masa depan bangsa ini. Jika pemerintah dapat memberikan solusi yang tepat, kita semua, sebagai bagian dari kelas menengah, akan siap untuk berkontribusi lebih besar bagi kemajuan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H