Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi Mungkin Secara Matematis Mustahil

3 September 2024   06:00 Diperbarui: 3 September 2024   06:22 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jadi, apa yang membuat IRV ini menarik? Salah satu keunggulannya adalah kemampuannya untuk mengurangi polarisasi dalam politik. Dalam sistem FPTP, kandidat sering kali merasa terdorong untuk mengutamakan basis pemilih yang paling setia, bahkan jika itu berarti mengambil sikap yang sangat ekstrem. Tetapi dalam sistem IRV, kandidat perlu memperhatikan preferensi pemilih yang mungkin menempatkan mereka di urutan kedua atau ketiga. Dengan demikian, IRV mendorong kandidat untuk lebih moderat, mencari kesepakatan, dan mungkin mencoba meraih dukungan yang lebih luas di luar basis pemilih utama mereka.

Bayangkan situasi di mana IRV digunakan. Kandidat yang memulai sebagai favorit mungkin tidak selalu menang, jika dia tidak cukup populer di kalangan pendukung kandidat lainnya. Ini membuat pemilihan lebih kompetitif dan hasilnya bisa lebih representatif terhadap keinginan mayoritas.

Namun, seperti semua sistem, IRV juga memiliki tantangan tersendiri. Untuk menggambarkan potensi masalah, mari kita bayangkan sebuah pemilihan hipotetis dengan tiga kandidat legendaris: Einstein, Curie, dan Bohr. Katakanlah Einstein memiliki dukungan kuat dari sekelompok kecil ilmuwan, Curie didukung oleh komunitas medis, dan Bohr oleh fisikawan kuantum.

Di babak pertama, Einstein mendapat 35% suara, Curie 33%, dan Bohr 32%. Tidak ada yang mendapatkan mayoritas, sehingga Bohr dieliminasi. Suara Bohr kemudian dipindahkan ke pilihan kedua dari para pemilih Bohr. Ternyata sebagian besar pemilih Bohr lebih memilih Curie sebagai kandidat kedua mereka daripada Einstein, sehingga Curie akhirnya memenangkan pemilihan dengan 65% suara. Di sini, meskipun Einstein memulai dengan perolehan suara terbanyak, akhirnya Curie yang menang karena IRV lebih baik menangkap preferensi keseluruhan dari mayoritas pemilih.

Namun, apa yang terjadi jika para pemilih Bohr sangat terpecah antara Einstein dan Curie? Mungkin saja dalam beberapa kasus, preferensi kedua tidak cukup kuat untuk memberikan keunggulan yang jelas bagi salah satu kandidat, sehingga hasilnya tetap bisa menciptakan kontroversi.

Meskipun IRV tidak sempurna dan memiliki kelemahan tersendiri, ia menawarkan solusi yang lebih baik dibandingkan FPTP dalam hal representasi yang lebih adil. Dengan mendorong kandidat untuk mencari dukungan yang lebih luas dan mengurangi efek spoiler, IRV bisa menjadi cara yang lebih baik untuk mencerminkan keinginan sebenarnya dari mayoritas pemilih.

Sejarah dan Teori Matematika dalam Pemilihan

Mungkin Anda pernah mendengar nama Condorcet dalam diskusi tentang teori pemilihan sosial. Tapi siapa sebenarnya Condorcet, dan apa kontribusinya yang membuat namanya begitu dikenal dalam konteks ini? Untuk memahami lebih dalam tentang masalah pemilihan dan bagaimana kita sampai pada berbagai sistem yang ada saat ini, kita perlu kembali ke masa lalu, ke akar dari teori pemilihan sosial.

Marie Jean Antoine Nicolas de Caritat, Marquis de Condorcet, atau lebih dikenal sebagai Condorcet, adalah seorang filsuf dan matematikawan Perancis abad ke-18. Ia memberikan kontribusi besar dalam bidang matematika sosial, terutama dalam pengembangan teori pemilihan. Condorcet mengajukan konsep metode pemilihan Condorcet, yang pada dasarnya mencoba mencari kandidat yang, ketika dibandingkan langsung dengan setiap kandidat lainnya, akan memenangkan setiap perbandingan satu lawan satu. Jadi, jika ada tiga kandidat---A, B, dan C---Condorcet akan menganggap kandidat A sebagai pemenang jika A mengalahkan B dalam satu lawan satu, dan A juga mengalahkan C dalam satu lawan satu.

Tetapi di sinilah masalahnya muncul: Condorcet Paradox. Dalam kasus tertentu, bisa terjadi siklus yang aneh di mana tidak ada kandidat yang dapat mengalahkan semua lawannya secara konsisten. Misalnya, A bisa mengalahkan B, B bisa mengalahkan C, tetapi C justru mengalahkan A. Ini menciptakan lingkaran yang tidak ada akhirnya dan membuat tidak mungkin menentukan pemenang yang jelas. Kondisi inilah yang dikenal sebagai Condorcet Paradox, dan ini menunjukkan ketidaksempurnaan dalam logika sistem pemilihan.

Dampak dari Condorcet Paradox ini sangat signifikan dalam pemilihan. Ia menunjukkan bahwa dalam pemilihan dengan lebih dari dua kandidat, sangat mungkin tidak ada satu kandidat pun yang secara jelas lebih disukai oleh mayoritas. Ini tentu saja membuat pemilihan menjadi lebih rumit, terutama dalam konteks demokrasi modern di mana kita sering berhadapan dengan banyak kandidat.

Setelah Condorcet, teori pemilihan terus berkembang. Salah satu matematikawan lainnya yang perlu disebutkan adalah Jean-Charles de Borda. Borda mengusulkan sistem pemilihan yang dikenal dengan Borda Count, di mana pemilih memberi peringkat pada semua kandidat, dan poin diberikan berdasarkan peringkat. Kandidat dengan jumlah poin tertinggi dianggap sebagai pemenang. Sistem ini menghindari beberapa masalah yang dihadapi dalam metode Condorcet, tetapi tetap saja, ia tidak sepenuhnya bebas dari kelemahan---terutama ketika pemilih memiliki strategi yang mungkin tidak sepenuhnya jujur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun