Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dinamika Hubungan Mahasiswa-Dosen dalam Pembelajaran Online

13 Desember 2023   09:55 Diperbarui: 14 Desember 2023   02:02 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hai, Sobat Pembaca! Pernah nggak sih kalian mengalami momen di mana sedang asyik-asyiknya belajar online, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganggu jadwal belajar kita? Nah, ini cerita dari kami, yang mungkin juga pernah kalian rasakan.

Di zaman sekarang, belajar online udah jadi hal yang lumrah, ya kan? Dari bangun tidur, tinggal buka laptop atau HP, kita udah bisa masuk 'kelas'. Praktis memang, tapi nggak selalu mulus loh jalannya. Salah satu masalah yang sering kita temui, terutama di masa pandemi ini, adalah ketika dosen kita terlambat masuk ke Zoom.

Bayangin deh, kalian udah siap dengan segelas kopi hangat, catatan sudah terbuka, tapi yang ditunggu-tunggu nggak kunjung muncul. Lima menit, sepuluh menit, bahkan bisa lebih. Kita jadi bertanya-tanya, "Dosen kita kemana ya? Ada apa nih?" Kegiatan belajar yang seharusnya dimulai tepat waktu, akhirnya jadi molor dan yang paling bikin repot, bisa menabrak jadwal kelas selanjutnya.

Situasi seperti ini pasti bikin kita semua dilema. Di satu sisi, kita nggak enak hati harus mengingatkan dosen yang mungkin saja sedang menghadapi masalah teknis atau kesibukan lain. Tapi di sisi lain, kita juga nggak mau ketinggalan materi dan mengganggu jadwal belajar kita yang lain.

Nah, dari situasi kayak gini, banyak pelajaran yang bisa kita ambil loh. Mulai dari pentingnya komunikasi yang efektif, kesabaran, sampai cara kita menghadapi situasi yang tak terduga dalam dunia pembelajaran online. Yuk, kita bahas lebih lanjut tentang ini!

Konteks Cerita

Nah, Sobat Pembaca, mari kita masuk ke cerita spesifik yang mungkin bisa bikin kita semua mengangguk setuju. Ada satu kejadian yang terjadi di kelas online kita, yang bikin situasi jadi agak... ya, bisa dibilang, unik.

Jadi, gini ceritanya. Pada suatu hari, seperti biasa, kita semua sudah siap di depan layar masing-masing, menunggu dosen masuk ke ruang Zoom. Tapi, beda dengan hari-hari lain, dosen kita kali ini benar-benar telat. Lima menit berlalu, sepuluh menit, bahkan hampir setengah jam, tapi ruangan Zoom masih sepi. Kita semua mulai bertanya-tanya, saling kirim chat di grup, "Dosen kita kenapa ya?"

Akhirnya, setelah penantian yang cukup lama, dosen kita masuk. Tapi, bukan awal yang menyenangkan, karena jadwal kita jadi molor dan tumpang tindih dengan mata kuliah selanjutnya. Yang lebih 'seru', di ruang Zoom itu juga sudah ada dosen yang mau mengajar di jam berikutnya, menunggu dengan sabar.

Di sinilah drama kecil kita mulai. Salah satu teman kita, yang kebetulan jadi Penanggung Jawab Mata Kuliah (PJMK), coba mengingatkan dosen yang terlambat itu bahwa waktu sudah hampir habis. Niatnya baik, hanya ingin memastikan semua berjalan lancar dan menghormati dosen selanjutnya.

Tapi, apa daya, reaksi yang muncul nggak seperti yang kita harapkan. Dosen kita, yang biasanya ramah dan pengertian, kali ini terlihat... gimana ya, agak tersinggung gitu. Beliau merasa seperti kita nggak menghargai usahanya yang sudah berusaha menyusun materi dan mengajar, meski terlambat.

Situasi ini bikin suasana jadi agak canggung. Kita, sebagai mahasiswa, hanya ingin mengingatkan dengan sopan, tapi malah dikhawatirkan jadi menimbulkan kesan yang nggak enak. "Lho, kok bisa ya? Padahal niat kita baik, hanya ingin mengingatkan saja."

Nah, dari situasi kayak begini, kita bisa belajar banyak hal tentang komunikasi, menghormati waktu, dan juga, yang penting, bagaimana cara menyampaikan sesuatu dengan cara yang tepat. Tapi, tentu saja, ada lebih banyak lagi yang bisa kita gali dari cerita ini. Yuk, kita bahas lebih dalam lagi!

Ego dan Gengsi dalam Profesi Akademik

Sekarang, Sobat Pembaca, mari kita coba pahami lebih dalam tentang apa yang terjadi di balik layar, lewat kacamata psikologi. Saat kita bicara tentang 'perasaan tersinggung' yang muncul dari dosen kita, ini bukan cuma tentang emosi sementara. Ada lebih banyak hal yang terlibat, terutama yang berkaitan dengan ego dan gengsi dalam profesi akademik.

Pertama, mari kita ngobrol tentang 'ego'. Ego ini bisa dibilang seperti jendela melihat diri kita sendiri. Dalam konteks akademik, terutama bagi seorang dosen, ego ini bisa terkait erat dengan profesionalisme dan cara mereka dilihat oleh mahasiswa. 

Bayangkan, saat seorang dosen yang biasanya dihormati dan dianggap sebagai sumber ilmu, tiba-tiba mendapat 'peringatan' dari mahasiswa, bisa jadi ini kayak kaca yang tiba-tiba retak. Ada bagian dari diri mereka yang mungkin merasa, "Wah, kok saya bisa diingatkan sama mahasiswa?"

Kemudian, ada juga 'gengsi'. Gengsi ini berkaitan dengan status sosial dan bagaimana seseorang ingin dilihat oleh orang lain. Dalam dunia akademis yang seringkali menekankan pada hierarki dan otoritas, gengsi ini nggak bisa dianggap enteng. 

Seorang dosen mungkin merasa bahwa posisi dan pengalamannya memberi mereka 'wewenang' tertentu, yang seharusnya tidak dipertanyakan, apalagi oleh mahasiswa.

Jadi, saat mahasiswa mencoba mengingatkan dosen tentang waktu, meskipun dengan niat baik, ini bisa menyentuh ego dan gengsi tersebut. Dosen mungkin merasa bahwa otoritas dan kompetensinya dipertanyakan, yang pada akhirnya memunculkan reaksi defensif atau merasa tersinggung.

Tapi, tentu saja, ini bukan berarti dosen kita tidak bisa menerima masukan atau kritik. Ini lebih ke cara kita sebagai mahasiswa menyampaikan pengingat itu dan bagaimana dosen memprosesnya. Dalam situasi kayak gini, penting banget untuk kita semua, baik sebagai dosen maupun mahasiswa, untuk memahami dinamika psikologis yang terjadi dan bagaimana kita bisa saling berkomunikasi dengan lebih efektif dan empati.

Nah, dari analisis ini, kita bisa mulai melihat gambaran yang lebih besar tentang bagaimana ego dan gengsi mempengaruhi dinamika dalam kelas online kita. Tapi, ini baru permulaan, Sobat Pembaca. Masih banyak aspek lain yang bisa kita bahas untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif. Yuk, lanjut ke pembahasan berikutnya!

Dinamika Kekuasaan dalam Hubungan Dosen-Mahasiswa

Sobat Pembaca, kita sudah ngobrol tentang ego dan gengsi, tapi ada lagi nih satu hal penting dalam psikologi yang perlu kita bahas: dinamika kekuasaan antara dosen dan mahasiswa. 

Di dunia pendidikan, khususnya di perguruan tinggi, ada semacam 'aturan tak tertulis' tentang peran dan posisi dosen serta mahasiswa.

Dosen, di mata kita, seringkali dianggap sebagai figur otoritatif, yang punya pengetahuan dan pengalaman lebih. Mereka ini seperti nahkoda kapal yang mengarahkan kita, para mahasiswa, dalam perjalanan mencari ilmu. Sementara kita, sebagai mahasiswa, biasanya berada di posisi yang lebih 'menerima', mengikuti arahan dan belajar dari pengalaman serta kebijaksanaan dosen.

Nah, dalam hierarki tradisional ini, dosen biasanya memiliki 'wewenang' lebih dalam hal mengatur jalannya kelas, termasuk waktu dan materi pelajaran. 

Jadi, saat mahasiswa mencoba mengingatkan atau, dalam kasus kita, 'mengatur' dosen terkait waktu, ini bisa dianggap sebagai pembalikan peran yang tidak biasa. Dosen mungkin merasa posisi otoritatif mereka sedikit 'digoyang', dan ini bisa memicu reaksi defensif.

Bagaimana reaksi dosen terhadap pengingat dari mahasiswa ini sebenarnya menarik untuk dipelajari. Ini bisa menunjukkan seberapa fleksibel atau kaku hierarki dan peran dalam setting akademis kita. Ada dosen yang mungkin merespons dengan pengertian dan fleksibilitas, mengakui bahwa mahasiswa juga punya suara dan kepentingan. Tapi, ada juga yang mungkin merasa posisinya terancam dan bereaksi dengan cara yang lebih defensif.

Poin penting di sini adalah bahwa dinamika kekuasaan ini perlu ditangani dengan hati-hati. Baik dosen maupun mahasiswa harus memahami batasan dan ruang mereka masing-masing. Sebagai mahasiswa, kita perlu menghormati wewenang dan pengalaman dosen, tapi di sisi lain, dosen juga harus terbuka untuk menerima masukan dan mengakui bahwa pendapat mahasiswa itu penting.

Dari sini, kita bisa belajar bahwa komunikasi dan saling menghormati itu kunci utama dalam hubungan dosen-mahasiswa. Mengerti posisi kita dan bagaimana kita menyampaikan pesan, serta bagaimana menerima pesan dari orang lain, itu sangat penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang harmonis dan produktif.

Jadi, Sobat Pembaca, yuk kita sama-sama belajar dan mengambil pelajaran dari dinamika ini. Kita lanjut ke pembahasan selanjutnya ya, untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap!

Kekuatan Komunikasi dalam Konteks Online

Sobat Pembaca yang budiman, kita sudah bicara tentang ego, gengsi, dan dinamika kekuasaan. Sekarang, mari kita bahas satu lagi: kekuatan komunikasi dalam konteks online, yang seringkali bikin kita salah paham dan mengalami berbagai respons emosional.

Dalam kelas online, kita semua kayaknya udah familiar ya dengan "Silakan unmute", "Kamu putus-putus", atau "Maaf, sinyal saya jelek". Di balik semua itu, ada satu hal penting: komunikasi online itu beda, Sobat! Kita nggak hanya berbicara tentang kata-kata yang kita dengar, tapi juga ekspresi wajah, intonasi, bahkan jeda dan keheningan yang terjadi saat sinyal lag.

Nah, dalam situasi kita tadi, saat mahasiswa mencoba mengingatkan dosen, bisa jadi cara kita menyampaikan pesan itu terdengar berbeda di telinga dosen. Mungkin yang kita maksud sopan dan pengertian, tapi karena keterbatasan komunikasi online, pesan itu bisa jadi terkesan kurang ajar atau tidak hormat.

Ini bukan cuma tentang kata-kata yang kita pilih, tapi juga tentang bagaimana kita menyampaikannya. 

Dalam Zoom, kita kehilangan banyak petunjuk nonverbal yang biasanya membantu kita menginterpretasikan pesan. Mimik wajah yang kurang terlihat, intonasi yang terpotong-potong, atau bahkan delay sedetik dua detik bisa mengubah keseluruhan makna sebuah pesan.

Dan tentu saja, ini juga mempengaruhi bagaimana kita sebagai penerima pesan bereaksi. Kita mungkin merasa tersinggung, sedih, atau bahkan marah karena misinterpretasi ini. Itu sebabnya, penting banget untuk kita, baik sebagai dosen maupun mahasiswa, untuk lebih sabar dan berusaha memahami konteks di balik setiap komunikasi.

Dalam konteks akademik online, hal ini jadi tantangan tersendiri. Kita harus lebih aktif memastikan bahwa pesan kita terkirim dengan jelas dan diterima dengan benar. Dan di sisi lain, sebagai penerima, kita juga perlu membuka diri lebih lebar untuk menginterpretasikan pesan dengan berbagai kemungkinan konteks yang ada.

Jadi, pelajaran dari sini, Sobat Pembaca: komunikasi online itu nggak cuma soal ngomong dan dengerin. Ada seni di dalamnya, yang perlu kita pelajari dan praktikkan, supaya kita bisa menghindari salah paham dan membangun lingkungan pembelajaran yang lebih kondusif dan menyenangkan.

Teori Dissonansi Kognitif

Sobat Pembaca, sekarang kita akan menyelam lebih dalam ke dalam teori psikologi yang bisa membantu kita memahami situasi ini. Salah satunya adalah 'Teori Dissonansi Kognitif'. Pernah dengar tentang ini? Kalau belum, tenang saja, kita akan bahas bersama.

Teori Dissonansi Kognitif, yang pertama kali diperkenalkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957, menjelaskan tentang konflik internal yang kita alami ketika ada ketidaksesuaian antara apa yang kita percayai dengan apa yang kita lakukan. Dalam konteks situasi kita, ini bisa menjelaskan reaksi dosen saat dihadapkan pada kesalahan mereka sendiri.

Bayangkan, Sobat. Seorang dosen yang mungkin sudah bertahun-tahun mengajar, dengan segudang pengetahuan dan pengalaman, tiba-tiba diingatkan oleh mahasiswa tentang sesuatu yang mendasar seperti manajemen waktu. Di satu sisi, sebagai akademisi, mereka tentu tahu pentingnya menghormati waktu dan keberlangsungan kelas. Namun, di sisi lain, mereka juga manusia yang bisa melakukan kesalahan, seperti terlambat dalam situasi ini.

Saat dissonansi ini terjadi, yaitu antara pemahaman mereka tentang profesionalisme dan realita di mana mereka terlambat, ini menciptakan konflik internal. Dalam usaha untuk mengurangi ketidaknyamanan dari dissonansi ini, mereka mungkin bereaksi dengan cara yang defensif. Mereka mungkin mencari pembenaran, seperti mengatakan mereka terlambat karena alasan yang valid, atau bahkan merespons negatif terhadap mahasiswa yang mengingatkan mereka.

Ini bukan berarti dosen tersebut 'jelek' atau 'tidak kompeten'. Justru, ini menunjukkan sisi manusiawi mereka yang berusaha mengatasi konflik internal. Dalam psikologi, ini adalah mekanisme pertahanan diri yang normal.

Untuk kita, sebagai mahasiswa, memahami teori ini bisa membantu kita dalam berinteraksi dengan dosen. Kita jadi bisa lebih empati, memahami bahwa terkadang reaksi yang kita dapat bukan soal kita, tapi lebih tentang bagaimana mereka menghadapi dissonansi internal mereka sendiri.

Dengan memahami ini, kita bisa belajar bagaimana mengkomunikasikan hal-hal yang sensitif dengan cara yang lebih mempertimbangkan perasaan dan situasi orang lain. Dan untuk dosen, ini juga bisa jadi pengingat bahwa merespons dengan terbuka dan reflektif terhadap masukan, meski mungkin menantang, adalah bagian penting dari proses belajar dan mengajar.

Jadi, teori dissonansi kognitif ini bukan hanya teori belaka, tapi sesuatu yang sangat nyata dan bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari kita, termasuk dalam situasi kelas online. Mari kita simpan pemahaman ini dan gunakan untuk memperbaiki cara kita berkomunikasi dan berinteraksi, ya, Sobat Pembaca! Sekarang, kita lanjut ke pembahasan teori lain yang juga nggak kalah menarik!

Konsep Penghargaan dan Pengakuan

Sobat Pembaca, setelah kita mengulik tentang dissonansi kognitif, sekarang kita beralih ke konsep yang sama pentingnya dalam memahami perilaku manusia, khususnya dalam konteks akademis kita: penghargaan dan pengakuan. Ini adalah dua hal yang, percaya atau tidak, sangat mempengaruhi bagaimana kita berperilaku, termasuk para dosen di dunia pendidikan.

Penghargaan dan pengakuan ini sebenarnya kebutuhan dasar manusia, Sobat. Menurut Abraham Maslow dalam teorinya tentang hierarki kebutuhan, penghargaan ini berada di tingkat yang cukup tinggi, yang mencakup kebutuhan akan rasa percaya diri, pengakuan dari orang lain, serta rasa dihargai dan dihormati.

Nah, dalam setting akademis, dosen seringkali mendapatkan penghargaan dan pengakuan ini melalui rasa hormat dari mahasiswanya, prestasi akademik, atau kontribusi mereka dalam pendidikan. Jadi, bisa dibayangkan, ketika ada situasi di mana mereka merasa tidak dihargai atau diakui, misalnya saat mahasiswa mengingatkan mereka tentang waktu, ini bisa mempengaruhi bagaimana mereka merespons.

Ini bukan berarti dosen kita egois atau hanya mencari pengakuan, lho. Tapi, ini menunjukkan bahwa seperti kita semua, mereka juga manusia yang memiliki kebutuhan emosional. Saat kebutuhan ini tidak terpenuhi, atau bahkan terancam, mungkin mereka akan merespons dengan cara yang tidak kita harapkan, seperti menjadi defensif atau tersinggung.

Dari sini, kita bisa belajar untuk lebih peka terhadap kebutuhan emosional orang lain, termasuk dosen kita. Mungkin, dengan pendekatan yang lebih menghargai dan mengakui usaha mereka, kita bisa membantu menciptakan lingkungan belajar yang lebih harmonis dan saling mendukung.

Misalnya, ketika perlu mengingatkan dosen tentang waktu, kita bisa menyampaikannya dengan cara yang lebih menghormati dan mengakui usaha mereka. Kata-kata seperti, "Terima kasih atas materi yang menarik hari ini, Pak/Bu. Kami hanya ingin mengingatkan bahwa waktu sudah hampir habis untuk menghormati sesi berikutnya," bisa jadi cara yang lebih baik dibandingkan dengan peringatan langsung yang mungkin terdengar kurang menghormati.

Dengan memahami pentingnya penghargaan dan pengakuan dalam perilaku manusia, kita bisa membuka pintu untuk komunikasi yang lebih baik dan hubungan yang lebih positif, baik dalam dunia akademis maupun di luar sana. Sekarang, mari kita lanjutkan perjalanan kita ke pembahasan berikutnya, Sobat Pembaca!

Studi Kasus dan Contoh Nyata

Mari kita kembali ke situasi yang kita hadapi di kelas online. Di sini, kita punya seorang dosen yang terlambat masuk Zoom dan reaksi yang timbul ketika mahasiswa mencoba mengingatkan. Menggunakan teori dissonansi kognitif dan konsep penghargaan serta pengakuan, kita bisa menganalisis ini lebih dalam.

Saat dosen kita terlambat dan akhirnya masuk ke kelas, mereka mungkin mengalami dissonansi kognitif. Sebagai akademisi, mereka tahu pentingnya waktu dan disiplin, tetapi pada saat yang sama, mereka terlambat. Ketika diingatkan oleh mahasiswa, dissonansi ini menjadi lebih nyata. Mereka mungkin merasa, "Saya sebagai dosen seharusnya memberi contoh yang baik, tapi saya malah terlambat." Saat ego dan gengsi mereka terguncang, reaksi defensif muncul sebagai cara untuk mengurangi ketidaknyamanan internal tersebut.

Selanjutnya, konsep penghargaan dan pengakuan juga berperan. Sebagai dosen, mereka biasa mendapatkan rasa hormat dan pengakuan dari mahasiswa. Ketika mahasiswa, yang biasanya berperan sebagai penerima dalam dinamika kekuasaan ini, mengambil inisiatif untuk mengingatkan, ini bisa dirasakan sebagai pengurangan penghargaan yang biasa mereka terima. Ini bukan soal mereka tidak ingin diingatkan, tapi lebih kepada bagaimana mereka diingatkan.

Sekarang, mari kita bandingkan dengan contoh lain dalam pembelajaran online. Misalnya, ada studi kasus tentang seorang dosen yang menerima umpan balik positif dari mahasiswa setelah mengubah cara penyampaiannya berdasarkan saran. Di sini, dosen tersebut mungkin juga mengalami dissonansi kognitif awalnya, tetapi memilih untuk merespons dengan cara yang berbeda. Mereka mengakui kesalahannya dan menggunakan umpan balik tersebut untuk perbaikan. Ini menunjukkan fleksibilitas dalam mengatasi dissonansi kognitif dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan pengakuan dan penghargaan, tidak hanya bagi diri mereka sendiri tetapi juga bagi mahasiswa.

Dalam contoh lain, kita bisa melihat kasus di mana dosen secara rutin meminta umpan balik dari mahasiswa tentang cara mengajar mereka. Ini menciptakan lingkungan yang lebih terbuka dan kolaboratif, di mana mahasiswa merasa dihargai dan dosen mendapatkan pengakuan tidak hanya sebagai pemberi materi tetapi juga sebagai pembelajar. Ini mengurangi potensi dissonansi kognitif dan memperkuat penghargaan dan pengakuan dalam hubungan dosen-mahasiswa.

Dari kedua studi kasus ini, kita bisa belajar bahwa pentingnya responsivitas dan adaptasi dalam dunia pendidikan, terutama dalam konteks online. Dosen yang responsif terhadap umpan balik dan terbuka untuk perubahan tidak hanya menunjukkan profesionalisme tetapi juga menghargai kontribusi mahasiswa dalam proses belajar mengajar. Ini menciptakan atmosfer belajar yang saling menghormati dan mendukung.

Kesimpulannya, dalam situasi kita dan studi kasus lain, kita melihat bahwa respons dosen terhadap masukan atau situasi yang tidak terduga sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka mengatasi dissonansi kognitif dan kebutuhan mereka akan penghargaan serta pengakuan. Memahami dinamika ini dapat membantu kita semua, baik dosen maupun mahasiswa, dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih produktif dan harmonis.

Di masa depan, kita bisa berharap untuk melihat lebih banyak inisiatif dan strategi yang ditujukan untuk meningkatkan komunikasi dan pengakuan di lingkungan akademis. Ini bisa berupa sesi umpan balik teratur, pelatihan komunikasi efektif untuk dosen dan mahasiswa, atau bahkan sesi refleksi bersama tentang bagaimana kursus atau kelas dapat ditingkatkan. Semua ini bertujuan untuk tidak hanya mengatasi masalah dissonansi kognitif dan kebutuhan pengakuan tetapi juga untuk memperkuat hubungan dosen-mahasiswa sebagai mitra dalam proses belajar mengajar.

Melalui pendekatan ini, kita bisa mengharapkan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan dinamis, di mana semua pihak merasa dihargai dan berkontribusi. Ini, pada gilirannya, akan memfasilitasi pertumbuhan dan pembelajaran yang lebih efektif untuk semua yang terlibat, menjadikan pengalaman pendidikan kita lebih kaya dan lebih berarti.

Strategi Komunikasi Efektif

Halo, Sobat Pembaca! Sudah kita ulas panjang lebar tentang dinamika di kelas online dan berbagai permasalahannya. Sekarang, mari kita bahas solusi dan rekomendasinya. Pertama-tama, kita mulai dari strategi komunikasi efektif. Ini penting banget, loh, karena cara kita menyampaikan sesuatu bisa berdampak besar pada hasil akhir.

  • Menggunakan Bahasa yang Tepat: Kalau misalnya kita perlu mengingatkan dosen tentang waktu, pilihlah kata-kata yang sopan dan menghormati. Misalnya, "Pak/Bu, maaf mengganggu, tapi saya ingin mengingatkan bahwa waktu kita tinggal 10 menit lagi." Ini kedengarannya lebih menghormati dibandingkan, "Pak/Bu, waktunya sudah hampir habis."
  • Intonasi dan Ekspresi Wajah yang Ramah: Saat kita berbicara, tidak hanya kata-kata yang penting, tapi juga cara kita mengatakannya. Pastikan intonasi kita lembut dan wajah menunjukkan sikap hormat. Ingat, dalam Zoom, ekspresi wajah kita bisa jadi lebih penting karena kontak fisik yang terbatas.
  • Memahami Konteks: Sebelum mengingatkan, coba pahami situasi dosen juga. Mungkin mereka sedang menghadapi hari yang berat atau ada masalah teknis. Dengan memahami konteks, kita bisa lebih empati dalam berkomunikasi.

Pengembangan Kesadaran Profesional

Selanjutnya, mari kita bicara tentang pengembangan kesadaran profesional, khususnya bagi para dosen. Kita semua manusia dan belajar sepanjang hayat, termasuk dalam hal menerima feedback.

  • Pelatihan Feedback: Para dosen bisa mengikuti pelatihan tentang cara menerima dan memberikan feedback. Dengan begitu, mereka bisa lebih terbuka terhadap masukan dan melihatnya sebagai kesempatan untuk tumbuh.
  • Sesi Refleksi Bersama: Adakan sesi di mana dosen dan mahasiswa bisa berbagi pengalaman dan perasaan tentang kelas. Ini bisa memperkuat hubungan dan saling pengertian antara dosen dan mahasiswa.
  • Pembelajaran Berkelanjutan: Dosen juga manusia yang terus belajar. Mereka bisa mengikuti kursus atau workshop tentang komunikasi efektif, manajemen waktu, atau topik lain yang relevan dengan pekerjaan mereka.

Pendekatan Psikologis dalam Manajemen Waktu

Terakhir, kita bicara soal manajemen waktu. Ini bukan cuma penting buat mahasiswa, tapi juga buat dosen, agar kelas bisa berjalan lancar dan sesuai jadwal.

  • Prioritas dan Perencanaan: Dosen bisa dibantu untuk membuat perencanaan yang baik tentang materi ajar dan waktu yang diperlukan. Dengan demikian, mereka bisa lebih efisien saat mengajar.
  • Teknik Pomodoro: Ini adalah teknik manajemen waktu yang membagi waktu kerja menjadi beberapa sesi. Mungkin dosen bisa menerapkannya saat mengajar, misalnya 25 menit mengajar, diikuti dengan 5 menit istirahat atau diskusi.
  • Memanfaatkan Teknologi: Ada banyak tools dan aplikasi yang bisa membantu dosen dalam mengelola waktu. Misalnya, timer atau pengingat di laptop yang bisa membantu mereka tetap on track.

Nah, Sobat Pembaca, itulah beberapa solusi dan rekomendasi yang bisa kita terapkan untuk mengatasi masalah-masalah yang kita hadapi di kelas online. 

Ingat ya, komunikasi itu kunci. Baik sebagai mahasiswa maupun dosen, kita perlu saling menghormati dan berusaha untuk saling memahami. Dengan demikian, pengalaman belajar kita bisa jadi lebih menyenangkan dan produktif. Mari kita terus belajar dan tumbuh bersama!

Kesimpulan

Sobat Pembaca yang setia, kita sudah bersama-sama menelusuri perjalanan panjang dari awal masalah di kelas online hingga solusi dan rekomendasinya. Mari kita simpulkan apa saja yang telah kita pelajari.

  • Dinamika Psikologis: Kita telah melihat bagaimana ego, gengsi, dan dissonansi kognitif mempengaruhi interaksi di kelas online, terutama saat ada dosen yang terlambat dan reaksi mereka saat diingatkan oleh mahasiswa.
  • Komunikasi Efektif: Kita memahami pentingnya menggunakan bahasa, intonasi, dan ekspresi yang tepat dalam berkomunikasi, terutama dalam konteks online di mana banyak petunjuk nonverbal hilang.
  • Pentingnya Feedback: Bagaimana feedback, baik diterima maupun diberikan, merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran dan pertumbuhan profesional, terutama untuk para dosen.
  • Manajemen Waktu: Kita juga mengeksplorasi bagaimana teknik manajemen waktu bisa membantu dosen dalam menjalankan kelas lebih efisien dan efektif.

Pentingnya Kesadaran dan Pendidikan

Perjalanan ini juga membuka mata kita tentang pentingnya kesadaran dan pendidikan mengenai dinamika psikologis dalam konteks akademik. Kita tidak hanya berbicara tentang transfer ilmu pengetahuan, tapi juga tentang bagaimana kita berinteraksi, berkomunikasi, dan saling memahami satu sama lain dalam proses tersebut.

Terakhir, ini adalah seruan untuk aksi, tidak hanya bagi dosen tapi juga bagi institusi pendidikan. Mari kita adopsi pendekatan yang lebih reflektif dan adaptif dalam pendidikan. Ini berarti terbuka terhadap feedback, mau belajar dari kesalahan, dan berusaha untuk terus berkembang. Institusi pendidikan bisa mendukung ini melalui pelatihan, workshop, dan sumber daya lain yang membantu baik dosen maupun mahasiswa dalam mengembangkan keterampilan ini.

Pendidikan itu bukan hanya tentang materi ajar, tapi juga tentang bagaimana kita belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik, lebih empati, dan lebih mampu beradaptasi dengan berbagai situasi. Mari kita sama-sama menerapkan pelajaran yang telah kita pelajari untuk menciptakan lingkungan akademis yang lebih kolaboratif, inklusif, dan produktif.

Terima kasih, Sobat Pembaca, telah bersama kita dalam perjalanan ini. Semoga apa yang kita bagi bersama hari ini bisa menjadi langkah awal untuk perubahan yang lebih baik dalam dunia pendidikan. Mari kita terus belajar dan tumbuh bersama!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun