Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Echo Chamber dan Bubble Filter dalam Pemilu 2024

4 Desember 2023   07:12 Diperbarui: 6 Desember 2023   08:45 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di ambang Pemilu 2024, Indonesia berada dalam pusaran dinamika sosial dan politik yang kompleks. Gelombang opini, harapan, dan ketidakpastian menderu bak ombak di lautan politik Nusantara. 

Belum lagi di tengah hiruk-pikuk ini, media sosial tidak hanya menjadi sebuah panggung bagi aktor politik, tetapi juga ladang subur bagi persebaran opini dan polarisasi. Ia bagaikan angin, kadang menerbangkan layang-layang harapan, kadang menghantam keras bak badai ke arah yang tak terduga.

Media sosial, dengan segala kemegahan dan kelemahannya, telah mengubah cara kita berinteraksi dengan politik. Ia bukan sekadar alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga menjadi medium yang mengubah informasi itu sendiri, seringkali memuat lebih banyak nuansa daripada yang dapat disampaikan dalam debat tatap muka.

Satu sisi, media sosial membuka pintu bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan, memberi ruang bagi mereka yang tak sempat terdengar di panggung politik tradisional. 

Namun, di sisi lain, ia juga menjadi katalis bagi polarisasi, memperkuat dinding pemisah antara satu pandangan dengan pandangan lain.

Bukankah ironis, di era di mana informasi begitu melimpah, kita justru terkurung dalam gelembung masing-masing? Algoritma media sosial, yang dirancang untuk menyajikan konten yang sejalan dengan minat kita, sering kali tidak lebih dari sebuah cermin yang memantulkan kembali pandangan kita sendiri. 

Dalam dunia yang ideal, kita mengharapkan media sosial menjadi jembatan yang menghubungkan perbedaan. Namun, kenyataannya sering kali berkebalikan. Ia menjadi tembok yang memisahkan, bukan jembatan yang menghubungkan.

Menjelang Pemilu 2024, kita dihadapkan pada tantangan untuk memahami dan mengatasi dampak media sosial terhadap politik kita. Tantangan ini tidak sederhana, sebab ia berkaitan dengan cara kita memahami informasi, membentuk opini, dan akhirnya, menentukan pilihan. 

Media sosial, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap politik Indonesia, sebuah kekuatan yang harus kita navigasi dengan hati-hati dalam perjalanan demokrasi kita.

Media Sosial dan Persepsi Politik di Indonesia

Di tengah pusaran politik Indonesia yang dinamis, media sosial telah tumbuh menjadi sebuah entitas yang tak terelakkan dalam membentuk lanskap politik. 

Platform ini bukan hanya sebuah jendela bagi publik untuk mengintip dunia politik, tetapi juga sebagai alat yang ampuh untuk membentuk, bahkan mengubah, persepsi politik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun