Lebih lanjut, penelitian ini menyarankan bahwa interaksi kita dalam kehidupan nyata cenderung lebih homogen dibandingkan dengan yang kita alami secara online.Â
Dalam konteks politik Indonesia, hal ini bisa berarti bahwa diskusi dan pertukaran pikiran yang terjadi di media sosial mungkin memberikan pandangan yang lebih luas dan beragam dibandingkan dengan yang kita temukan dalam interaksi sehari-hari.
Mengingat ini, peran media sosial dalam politik Indonesia menjelang pemilu 2024 mungkin lebih kompleks daripada yang awalnya kita pikirkan. Media sosial tidak hanya sekadar alat kampanye atau platform penyebaran informasi, tetapi juga sebagai medan di mana pemahaman politik dapat diperluas dan ditantang.Â
Kesadaran ini penting untuk mendekati media sosial dengan cara yang lebih kritis dan terbuka, memungkinkan kita untuk mendapatkan perspektif yang lebih beragam dan mendalam tentang lanskap politik yang terus berkembang di Indonesia.
Evolusi Otak Manusia
Dalam memahami interaksi antara psikologi manusia dan media sosial, terutama dalam konteks politik, kita harus mempertimbangkan evolusi otak manusia. Otak manusia, yang telah berevolusi selama ribuan tahun, tidak dirancang untuk menghadapi gempuran informasi yang disajikan oleh media sosial di era modern.
Pada dasarnya, otak manusia adalah mesin pemroses sosial yang canggih. Ia berevolusi untuk berinteraksi dalam kelompok-kelompok kecil dan menghadapi tantangan serta informasi yang relatif terbatas.Â
Dalam konteks ini, otak kita cenderung mencari pola, membangun hubungan sosial, dan mempertahankan kohesi kelompok. Namun, ketika dihadapkan pada media sosial, dengan aliran informasi yang tidak terbatas dan seringkali kontradiktif, otak kita dihadapkan pada tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Salah satu aspek penting dari psikologi manusia dalam konteks media sosial adalah konfirmasi bias. Kita cenderung mencari, memahami, dan mengingat informasi yang mengkonfirmasi keyakinan atau prasangka yang sudah ada.Â
Dalam konteks media sosial, ini bisa berarti kita lebih cenderung untuk berinteraksi dengan konten yang sesuai dengan pandangan politik kita, sementara mengabaikan atau menolak informasi yang bertentangan.
Selain itu, efek echo chamber di media sosial dapat memperkuat konfirmasi bias ini. Kita sering kali dikelilingi oleh pendapat yang serupa, yang menimbulkan ilusi bahwa pandangan kita adalah pandangan mayoritas atau 'benar', sementara pandangan yang berbeda dianggap tidak valid atau jarang. Ini dapat menyebabkan polarisasi pendapat, di mana perbedaan pandangan menjadi semakin tajam dan sulit untuk menjembatani.
Namun, penting juga untuk mengakui bahwa media sosial tidak selalu memperkuat bias dan polarisasi. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian terbaru, media sosial juga bisa mengekspos kita pada berbagai pandangan, yang sebenarnya bisa membantu dalam memperluas pemahaman kita tentang isu politik.Â