Mohon tunggu...
Kundiharto
Kundiharto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Psychology Student

Deep interest in the fields of Information Technology, Psychology, Marketing, Management, and Entrepreneurship

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meraih Ketenangan dalam Ketidakpastian: Belajar dari The Wisdom of Insecurity

28 November 2023   16:17 Diperbarui: 28 November 2023   16:25 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oke, teman-teman, kita masih dalam perjalanan diskusi buku "The Wisdom of Insecurity" karya Wat. Sekarang kita masuk ke poin yang kedua dalam tiga hal penting yang ada di buku ini. Dan poin ini, oh boy, ini seringkali bikin kita semua mengangguk-angguk setuju.

Jadi, begini, hidup itu kayak dua sisi koin yang berlawanan, seperti Batman dan Joker. Ada kebahagiaan di satu sisi, tapi pasti ada rasa sakit di sisi lainnya. Gak ada yang namanya "kita bisa bahagia selamanya" dalam dunia ini, teman-teman. Makanya, buat ngerasain kebahagiaan, kita juga harus ngerasain rasa sakit.

Contohnya, coba bayangin hubungan asmara. Kita pasti pengen hubungan itu penuh cinta dan bahagia terus, kan? Tapi, kenyataannya, ada saat-saat di mana kita juga harus ngerasain konflik, pertengkaran, atau bahkan putus cinta. Nah, itu bagian dari hidup, dan kita harus ngerasain rasa sakitnya biar bisa lebih menghargai momen bahagia.

Atau mungkin dalam pekerjaan. Kita pengen punya pekerjaan yang kita suka, tapi terkadang kita juga harus ngerasain pekerjaan yang kita benci. Kadang-kadang kita harus ngelakuin hal-hal yang nggak kita suka demi menghasilkan uang atau demi masa depan yang lebih baik. Dan, sialnya, kita harus ngerasain rasa sakit ini dulu biar bisa merasakan kebahagiaan di kemudian hari.

Nah, yang menarik di sini adalah perubahan sudut pandang kita mengenai perasaan positif dan negatif. Kita seringkali cenderung memberi label perasaan kita, misalnya, "Ini adalah perasaan positif, jadi saya senang," atau "Ini adalah perasaan negatif, jadi saya sedih." Tapi buku ini ngajarin kita buat melihatnya dengan sudut pandang yang berbeda.

Jadi, kita bisa lihat perasaan positif sebagai hadiah setelah kita ngerasain perasaan negatif. Misalnya, setelah kita ngerasain capek dan stres di kantor, akhirnya kita bisa merasakan kepuasan dan kebahagiaan saat pekerjaan selesai dengan baik. Ini kayak makanan pedas yang bikin kita nggak tahan, tapi setelah itu, kita bisa merasakan nikmatnya makanan manis dengan lebih intense.

Jadi, teman-teman, pesan yang bisa kita ambil dari sini adalah, kita harusnya lebih terbuka terhadap perasaan kita, baik positif maupun negatif. Kita nggak bisa menghindar dari rasa sakit dalam hidup, tapi rasa sakit itu juga yang akan membuat kita lebih bisa menikmati momen kebahagiaan. Jadi, jangan takut ngerasain perasaan negatif, karena itu juga bagian dari perjalanan hidup kita yang penuh warna.

Fokus pada saat ini untuk menikmati hidup

Oke, teman-teman, kita lanjut lagi pembahasan buku "The Wisdom of Insecurity" karya Wat. Sekarang kita sudah sampai pada poin yang terakhir, tapi nggak kalah pentingnya, loh!

Jadi begini, hidup itu kayak sungai yang panjang dan kuat. Nah, kadang-kadang kita suka melawan arus, kan? Misalnya, kita sibuk mikirin masa depan atau meratapi masa lalu. Ini kayaknya semua pernah kita lakuin, ya? Kita mikir, "Ah, kalo aja dulu aku gak gitu, masa depan aku bisa lebih bagus." Atau, "Masa depanku pasti susah, gimana ya caranya biar lebih gampang?"

Tapi, sialnya, hidup nggak bekerja kayak gitu, gengs. Kita nggak bisa mengubah masa lalu, dan masa depan juga nggak bisa kita kontrol sepenuhnya. Jadi, lebih baik kita fokus pada saat ini, momen ini, di mana kita bisa nikmatin apa yang ada di depan mata kita.

Contohnya, bayangin kita lagi makan makanan enak. Biasanya, kan, kita suka mikir, "Wah, makanan ini enak banget! Ntar aku foto dulu buat posting di media sosial, biar temen-temen iri." Nah, sekarang coba kita ubah cara pandangnya. Daripada mikirin foto, kita coba benar-benar menikmati makanan itu. Rasa rasanya, tekstur teksturnya, semuanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun